Share to:

 

Fikih jenazah

Fikih jenazah mencakup kewajiban muslim dalam pengurusan jenazah. Ketentuan dan kewajiban pengurusan jenazah dilakukan oleh orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal. Kewajiban ini secara umum meliputi kegiatan memandikan, mengafani, mensalati, dan mengubur jenazah. Secara umum, fikih jenazah ditetapkan sebagai fardu kifayah.[1]

Sesaat setelah kematian

Hal pertama yang harus dilakukan ketika seseorang telah dipastikan meninggal ialah menutup kedua matanya.[2] Sesaat setelah jenazah meninggal, tubuh jenazah harus ditutupi dengan kain atau pakaian yang bukan merupakan pakaian yang dikenakannya ketika meninggal. Pakaian jenazah harus diganti dengan pakaian lain. Bagian tubuh yang ditutupi adalah seluruh tubuh tanpa terkecuali. Pengecualian dilakukan ketika seseorang meninggal saat sedang melakukan haji atau umrah. Pada kondisi ini, tubuh jenazah ditutupi dengan kain ihram. Dua bagian tubuh yang tidak ditutupi ialah bagian wajah dan kepala dari jenazah.[3]

Pengurusan jenazah

Pengurusan jenazah di dalam Islam bersifat fardu kifayah. Seseorang tidak dianggap berdosa ketika tidak ikut mengurus jenazah karena telah diurus oleh orang lain. Dalam Islam, kepengurusan jenazah disesuaikan dengan kondisi saat kematian terjadi. Seorang muslim yang mati bukan dalam keadaan syahid, maka kewajiban pengurusnya meliputi kegiatan memandikan, mengafani, mensalati, dan mengubur jenazah.[4] Bagi mereka yang mengikuti salat jenazah diberi pahala oleh Allah. Sebaliknya, suatu masyarakat dianggap berdosa jika tidak melakukan salat jenazah sama sekali. Umumnya pengurusan jenazah di suatu masyarakat seluruhnya dilakukan oleh petugas keagamaan setempat.[5]

Sementara itu, seorang muslim yang mati dalam keadaan syahid, maka jenazahnya tidak dimandikan dan tidak disalati, tetapi hanya dikafani dan dikuburkan. Sedangkan pada jenazah yang meninggal ketika sedang ihram, maka jenazahnya tetap dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Pemandian jenazah yang meninggal saat ihram tidak dicampur dengan wewangian, sabun maupun kapur barus. Selain itu, pakaian ihramnya dijadikan sebagai kain kafan tanpa menutupi bagian kepala jenazah.[6]

Pengurusan jenazah juga berbeda pada bayi berdasarkan usia kelahirannya. Bayi yang meninggal setelah mencapai usia 6 bulan atau lebih, maka jenazahnya diurus seperti jenazah muslim dewasa. Sedangkan pada jenazah bayi yang meninggal sebelum berusia 6 bulan terdapat tiga ketentuan. Bila tubuh bayi belum berbentuk manusia sempurna, maka jenazahnya hanya dibungkus dan dikuburkan. Bila tubuh bayi sempurna tetapi tidak ada tanda-tanda kehidupan, jenazahnya dimandikan, tetapi tidak disalati, lalu dikuburkan. Sedangkan jenazah bayi yang berusia kurang dari 6 bulan dalam keadaan hidup dengan tubuh sempurna, maka pengurusan jenazahnya sama seperti pengurusan jenazah orang dewasa.[7]

Memandikan jenazah

Menentukan hukum pemandian jenazah

Empat imam mazhab yaitu Abu Hanifah, Abu Abdullah Muhammad asy-Syafi’i, Malik bin Anas dan Ahmad bin Hanbal, menetapkan hukum fardu kifayah dalam hal memandikan jenazah seseorang muslim. Sedangkan beberapa ahli fikih lainnya ada yang menetapkan hukum sunah kifayah dalam hal memandikan jenazah seorang muslim. Perbedaan ini didasari oleh hadis Nabi Muhammad mengenai penggunaan air dan bidara untuk memandikan jenazah. Hukum fardu kifayah diyakini oleh para ulama yang menggunakan hadis terhadap jenazah yang meninggal karena jatuh dari kendaraan. Sedangkan para ulama yang meyakini sunah kifayah menyatakan bahwa hadis ini merupakan penjelas mengenai bahan-bahan yang perlu disiapkan untuk memandikan jenazah.[8]

Pada kasus jenazah yang bagian tubuhnya terpisah-pisah akibat kecelakaan, maka para ulama juga berbeda pendapat. Para ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Maliki mewajibkan bagian tubuh yang diperoleh untuk dimandikan meskipun yang ditemukan hanya sebagian kecil dan jumlahnya sedikit. Sedangkan para ulama mazhab Hambali dan mazhab Maliki mengatakan bahwa cukup memandikan bagian yang ditemukan jika jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan yang hilang.[9]

Jenazah yang tidak dimandikan adalah jenazah yang syahid. Kriteria syahid ini terbagi menjadi delapan yang seluruhnya meninggal karena peperangan melawan orang kafir pada saat pertempuran. Pertama, orang yang dibunuh oleh orang kafir. Kedua, orang yang meninggal karena tidak sengaja terkena senjata seorang Muslim. Ketiga, orang yang meninggal karena terkena senjatanya sendiri. Keempat, orang yang meninggal karena jatuh dari kendaraan. Kelima, orang yang meninggal karena terinjak oleh kendaraannya. Keenam, orang yang meninggal karena terinjak kendaraan kaum Muslimin. Ketujuh, orang ditemukan meninggal dalam kondisi apapun dengan sebab yang tidak diketahui dan jenazahnya ditemukan setelah perang usai. Kedelapan, orang yang meninggal sebelum berakhirnya peperangan.[10]

Tata cara pemandian jenazah

Jenazah seorang muslim harus dimandikan oleh orang yang beragama Islam, berakal dan dewasa. Pemandi jenazah juga harus mengetahui niat dan tata cara memandikan jenazah sesuai dengan syariat Islam.[11] Orang yang memandikan jenazah juga harus memiliki jenis kelamin yang sama dengan jenazah. Jenazah laki-laki dimandikan oleh ayah, kakek, anak laki-laki, cucu laki-laki, saudara laki-laki, keponakan laki-laki, paman, atau sepupu laki-lakinya. Sedangkan jenazah perempuan dimandikan oleh perempuan ibu, nenek, anak perempuan, cucu, saudari, keponakan perempuan, bibi, atau sepupu perempuan. Jenazah juga boleh dimandikan oleh orang yang berstatus suami atau istrinya ketika masih hidup. Jenazah diutamakan dimandikan oleh orang yang dapat menjaga aib jenazah. Jenazah dimandikan di tempat yang sepi dan tidak dikerumuni orang serta langsung berada di bawah langit. Di dalam tempat pemandian hanya boleh ada orang yang memandikan dan wali dari jenazah.[12]

Langkah-langkah umum dalam memandikan jenazah sebagai berikut:[12]

  1. Tubuh jenazah dimandikan dengan menggunakan wewangian dan air dingin sambil ditutupi dengan kain. Pemandi tidak diperbolehkan memandang aurat jenazah dan hanya memegang tubuhnya dengan kain atau sarung tangan. Gunakan sebuah kain untuk istinja pada tangan dan sebuah lagi untuk anggota badan yang lain. Mayat dimandikan dengan posisi kaki lebih rendah dibandingkan kepala dan dada untuk diurut bagian perutnya dan dibersihkan kotorannya. Kotoran yang keluar disiram dengan air. Setelahnya, jenazah dibaringkan secara mendatar dan menghadap kiblat dengan posisi kepala dan dada tetap lebih tinggi dibandingkan kaki sehingga air dapat mengalir.
  2. Selanjutnya bagian dubur dan qubulnya dibersihkan dengan salah satu kain dilanjutkan dengan membasuh bagian kepala dan anggota badan lainnya mulai dari kanan. Tubuh jenazah dibasuh dengan siraman berjumlah ganjil. Bagian tubuh jenazah yang dapat dimasuki air karena berlubang harus ditutup tetapi tetap dibersihkan. Pada basuhan terakhir, air dicampur dengan kapur barus atau cendana. Setelah selesai, tubuh jenazah dikeringkan dengan handuk.

Setelah memandikan

Pendapat dari sebagian besar ulama ialah bahwa orang yang memandikan jenazah harus mandi setelah proses pemandian jenazah selesai. Ketetapan ini didasarkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyatakan perintah Nabi Muhammad untuk mandi setelah memandikan jenazah atau berwudu setelah mengusung jenazah.[13]

Mengafani jenazah

Setelah jenazah dimandikan, maka jenazah wajib dibungkus dengan kain kafan. Proses mengafani jenazah wajib dilakukan dengan ketentuan syariat Islam. Bagian yang dibungkus meliputi seluruh anggota badan termasuk bagian kepala. Kain kafan yang digunakan untuk membungkus jenazah berwarna putih.[14] Jumlah lapisan kain kafan diutamakan ganjil. Bagi jenazah laki-laki, tubuhnya dibungkus dengan 3 lapis kain kafan, sedangkan bagi jenazah perempuan sebanyak 5 lapis. Kain kafan diberi wewangian. Bahan kain kafan harus bagus tetapi tidak mewah dan boros dalam membelinya. Kain kafan diganti dengan pakaian jenazah pada kondisi syahid tanpa dibersihkan sama sekali. Pakaian hanya diganti ketika jenazah syahid dengan pakaian berbahan besi atau kulit. Kain kafan dibeli menggunakan harta dari orang yang meninggal sebelum pembagian warisan dilakukan. Beberapa bagian tubuh jenazah dianjurkan untuk ditutupi dengan kapas. Pada kain kafan diolesi kapur barus atau pewangi lainnya.[15]

Salat jenazah

Salat jenazah dapat dilakukan di rumah jenazah, masjid, musala atau di dekat kuburan jenazah. Syarat minimal yang harus dipenuhi agar salat jenazah dapat diadakan adalah jenazah telah suci dari hadas, seluruh auratnya tertutup dan posisi peserta salat telah menghadap kiblat. Tubuh jenazah diletakkan di sebelah orang yang mensalatkan. Hal ini dikecualikan pada salat gaib. Salah jenazah secara berjamaah sedikitnya dilakukan dalam tiga baris makmum dengan imam diutamakan merupakan keluarga terdekat dan tertua dari jenazah.[16]

Salat jenazah berbeda dengan salat lainnya. Pada salat jenazah, gerakan yang dilakukan hanyalah berdiri tegak. Salat jenazah diawali dengan gerakan takbir sebanyak empat kali. Perbedaan antara salat jenazah bagi jenazah laki-laki dan wanita hanya terletak pada posisi imam. Bagi jenazah laki-laki, imam akan berada di posisi samping kepala, sedangkan bagi wanita posisi imam di bagian pinggang.[17] Setelah takbir ketiga, para peserta salat mendoakan jenazah sebelum mengakhiri salat dengan salam.[18] Pada beberapa riwayat disebutkan bahwa takbir dapat dilakukan sebanyak empat, lima, enam atau tujuh kali.[19]

Dalam mazhab Syafi'i terdapat beberapa sunah dalam salat jenazah. Kegiatan salat jenazah diawali dengan takbir dan dilanjutkan dengan membaca surah Al-Fatihah. Kecepatan dalam membaca surah dipelankan. Setelah takbir dilakukan salawat kepada Nabi Muhammad dan dilanjutkan dengan pemanjatan doa yang ditujukan kepada jenazah. Setelahnya takbir dilanjutkan dan diakhiri dengan salam.[20] Dalam salat jenazah, peserta salat diperbolehkan menggunakan alas kaki.[21]

Mengusung dan mengiringi jenazah

Dalam hadis riwayat Imam Muslim, diketahui bahwa kegiatan mengusung dan mengiringi jenazah memperoleh pahala sebesar dua bukit. Pengiringan jenazah dilakukan dengan tidak tergesa-gesa dengan cara yang terhormat. Bagi para pengendara kendaraan dianjurkan berhenti berkendara hingga usungan jenazah melewatinya, Ini sebagai bentuk menghormati jenazah.[22] Saat memasuki pemakaman, para pengusung jenazah dianjurkan mengucapkan salam kepada ahli kubur. Pengantaran jenazah ke liang kuburnya tidak boleh sampai menginjak kuburan lain di sekitarnya serta tidak boleh menduduki kuburan lain.[23]

Menguburkan jenazah

Peristiwa pembunuhan, kematian serta penguburan jenazah yang pertama kali dalam Islam dikisahkan dalam Al-Qur'an Surat Al-Ma'idah [5]: 30-31. Kisah ini memberitahukan mengenai dua putra Nai Adam yaitu Qabil dan Habil. Dalam kisah ini, Qabil membunuh saudaranya. Setelah melakukan pembunuhan, Qabil kebingungan dalam menguburkan jenazah saudaranya. Secara tiba-tiba, ia melihat seekor burung gagak yang menguburkan jenazah burung gagak lain dengan menggali tanah lalu memasukkan tubuh gagak yang mati ke dalamnya. Qabil lalu melakukan hal yang sama terhadap jenazah saudaranya.[24]

Penguburan jenazah merupakan bagian akhir dari proses pengurusan jenazah. Hukum menguburkan jenazah menurut ijma ulama adalah fardu kifayah. Waktu penguburan jenazah dapat dilakukan kapan saja, tetapi hukum makruh diberikan pada penguburan di malam hari. Penguburan di malam hari hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa sesuai denga hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah. Hukum makruh juga ditetapkan pada penguburan jenazah bersamaan dengan matahari terbit, matahari berada di posisi puncaknya dan ketika matahari terbenam. Hukum atas ketiga waktu ini berubah menjadi mubah ketika dikhawatirkan tubuh jenazah akan membusuk jika tidak segera dikuburkan.[25]

Kuburan harus digali hingga ketika jenazah dikubur tidak tercium bau hingga ke luar kuburan. Selain itu, kuburan digali hingga tidak memungkinkan untuk digali oleh binatang buas. Pembuatan liang lahat dilakukan pada tanah yang keras. Sedangkan pada tanah berpasir atau lunak maka bagian yang digali hanya bagian tengahnya saja.[26] Pada jenazah perempuan, dianjurkan untuk menutupinya dengan kain putih saat penguburan. Permukaan tanah yang menutupi kuburan dianjurkan lebih tinggi sejengkal dibandingkan dengan permukaan tanah selain kuburan. Hal yang dilarang adalah menimbun tanah membentuk seperti bukit. Pada bagian atas kuburan tepat di sebelah posisi kepala mayat diletakkan batu atau kayu sebagai penanda. Bagian atas kuburan juga dianjurkan untuk ditaburi dengan kerikil dan disiram dengan air. Sebelum meninggalkan kuburan, para pengiring jenazah mendoakan kebaikan bagi jenazah di dalam kubur.[26]

Kewajiban lain

Melunasi utang jenazah

Syariat Islam mewajibkan pelunasan utang-utang jenazah menggunakan harta miliknya. Jenazah yang tidak memiliki harta ketika telah meninggal maka kewajiban pelunasan utangnya diberikan kepada orang lain. Utang ini dapat ditanggung oleh keluarga, kerabat, negara maupun muslim lainnya. Kewajiban ini pertama-tama dilakukan oleh keluarga dekat dari jenazah. Jika keluarga dekat tidak sanggup melunasinya, maka kewajiban berikutnya diberikan kepada kerabat jenzah. Jika kerabat tidak mampu melunasi utang jenazah, maka negara atau pemerintah memiliki kewajiban untuk membayarnya. Jika negara atau pemerintah tidak melakukan kewajibannya, maka utang jenzah dapat dibayarkan oleh muslim yang lainnya.[27]

Para tetangga dari keluarga yang sedang berduka atas kematian anggota keluarganya dianjurkan untuk memberi makan keluarga tersebut. Lama masa memberi makan ini paling sedikit tiga hari. Tujuan dari memberi makan ini adalah untuk mengurangi kesusahan dan kesedihan yang sedang dialami oleh keluarga yang meninggal.[23]

Berbuat baik kepada jenazah

Orang yang masih hidup dapat berbuat baik kepada jenazah dengan menyebutkan kebaikan semasa hidupnya serta tidak mencela dan menyebutkan keburukannya. Bagi anak-anak yang ditinggalkan, dianjurkan untuk mendoakan orang tuanya, memohonkan ampunan serta memenuhi seluruh janji semasa hidupnya dan tetap menjalin hubungan baik dengan para sahabatnya.[28]

Ziarah kubur

Para ulama berbeda pendapat terkait dengan ziarah kubur. Sebagian ulama melarang perempuan atau laki-laki maupun perempuan untuk ziarah kubur, sedangkan sebagian ulama lainnya membolehkan.[29] Ziarah kubur dilakukan guna mendoakan kebaikan dan ampunan terhadap orang yang dikubur. Ziarah kubur juga merupakan bentuk kasih sayang orang yang hidup kepada orang yang telah meninggal.[30] Dianjurkan untuk melakukan ziarah kubur di hari Jumat pada pagi hari. Posisi peziarah saat berada di dekat kuburan adalah membelakangi arah kiblat. Saat tiba di kuburan, peziarah dianjurkan mengucapkan salam yang ditujukan kepada orang yang dikubur. Selama ziarah kubur dilarang menusap kuburan dengan tangan, menunduk maupun mencium kuburan.[31]

Bidah

Bidah sebelum kematian

Terdapat beberapa pemikiran dan perbuatan yang dianggap bidah sebelum kematian di antaranya:[32]

  1. Meyakini bahwa setan dapat datang menemani orang yang sedang sekarat dalam wujud orang tua. Dalam keyakinan ini, setan datang untuk mengubah agama orang yang akan meninggal menjadi Yahudi atau Kristen.
  2. Meletakkan Al-Qur'an di sisi orang yang akan mengalami kematian, membacakan Surah Yasin, serta mentalqin dirinya dengan nama Nabi Muhammad dan para Ahlul Bait.
  3. Menghadapkan orang yang sekarat ke arah kiblat

Bidah setelah kematian

Terdapat beberapa pemikiran dan perbuatan yang dianggap bidah sebelum kematian di antaranya:[33]

  1. Meyakini bahwa jenazah orang-orang yang tidak maksum dan tidak syahid adalah najis. Sifat najis juga dinisbatkan kepada orang yang wajib dibunuh tetapi meninggal akibat mandi sebelum dijatuhi hukuman mati.
  2. Melarang wanita yang sedang haid, nifas atau junub untuk berada di dekat jenazah.
  3. Meyakini bahwa roh manusia yang meninggal tetap ada di tubuhnya hingga tujuh hari, sehingga harus menemani dan meninggalkan pekerjaan lain selama itu pula.
  4. Menyakini bahwa roh orang yang meninggal akan gentayangan di sekitar tempatnya meninggal.
  5. Menyalakan lilin di sekitar jenazah pada malam kematiannya hingga pagi hari.
  6. Meletakkan dahan dan ranting pohon yang masih muda ke dekat jenazah.
  7. Membacakan Al-Qur'an hingga masa memandikan di dekat orang yang meninggal.
  8. Mencukur rambut kemaluan dan memotong kuku jenazah.
  9. Memasukkan kapas di bagian anus, hidung dan tenggorokan.
  10. Meyakini bahwa mata anak Adam hanya dapat dipenuhi dengan tanah, sehingga menaburkan tanah ke mata jenazah.
  11. Berpuasa hingga jenazah dimakamkan.
  12. Mewajibkan menangis saat makan siang dan makan malam setelah seseorang meninggal.
  13. Meratapi kematian seseorang dengan merobek pakaiannya sendiri.

Bidah memandikan jenazah

Terdapat beberapa pemikiran dan perbuatan yang dianggap bidah ketika memandikan jenazah, di antaranya:[34]

  1. Menyajikan makanan dan minuman untuk jenazah setelah tiga hari dan tiga malam setelah kematiannya.
  2. Menyalakan lampu atau alat penerang ruangan selama tiga hari di tempat jenazah dimandikan, mulai dari matahari terbenam hingga matahari terbit.
  3. Pemandi mengucapkan zikir setiap membasuh anggota tubuh jenazah serta mengucapkannya dengan lantang.
  4. Membiarkan rambut terurai di bagian dada pada jenazah wanita.

Bidah saat mengkafani dan mengiringi jenazah

Terdapat beberapa kegiatan yang dianggap bidah selama masa setelah mengafani jenazah dan sebelum menguburkan jenazah. Bidah ini meliputi kegiatan berzikir atau bersalawat di sekitar jenazah. Ada pula kegiatan yang dianggap bidah karena dalil pendukungnya hanya masuk dalam kategori hadis daif, salah satunya adalah talqin mayit. Beberapa ulama yang menganggap talqin mayit sebagai bidah ialah Abu Zakaria Muhyuddin an-Nawawi, Ibnu ash-Shalah, Ibnu Hajar al-'Asqalani, dan Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah.[35] Sementara iitu, dalam riwayat Abu Dawud dari Aisyah dijelaskan bahwa orang yang sedang iktikaf tidak boleh mengiringi jenazah.[36]

Bidah saat mensalatkan jenazah

Terdapat beberapa pemikiran dan perbuatan yang dianggap bidah ketika mensalatkan jenazah, di antaranya:[37]

  1. Setiap hari setelah matahari terbenam mengadakan salat gaib untuk jenazah muslim di tempat yang jauh.
  2. Mengerjakan salat gaib untuk jenazah yang sudah disalatkan di tempatnya meninggal.
  3. Mengucapkan kalimat pujian kepada Allah dengan menyifatkan Maha Membinasakan dan Maha Hidup.
  4. Melepaskan alas kaki dan berdiri di atasnya pada saat salat jenazah, meskipun najis tidak menempel padanya.
  5. Posisi imam berdiri di sisi tengah dari tubuh jenazah laki-laki atau di dekat dada jenazah perempuan.
  6. Membaca doa iftitah, tidak membaca Surah Al-Fatihah dan tidak menyertakan satu surah lainnya serta tidak mengucapkan salam saat salat jenazah.
  7. Menanyakan dan menyerukan kesaksian mengenai kesalehan jenazah secara lantang.

Bidah pemakaman jenazah

Terdapat beberapa pemikiran dan perbuatan yang dianggap bidah selama pemakaman jenazah, di antaranya:[38]

  1. Menyembelih hewan ternak dan membagi-bagikan dagingnya kepada pengiring jenazah sebelum jenazah dikuburkan.
  2. Menuangkan darah hewan sembelihan ketika mencapai kuburan. Darah ini sebelumnya dikumpulkan di rumah duka.
  3. Berzikir di samping keranda jenazah sebelum jenazah dikuburkan.
  4. Mengumandangkan azan ketika jenazah dimasukkan ke dalam kuburan.
  5. Memulai menurunkan jenazah dari bagian kepala kuburan.
  6. Memberikan tanah yang dianggap dapat memberikan rasa aman bagi mayat di dalam kubur.
  7. Menaruh pasir di bagian bawah jenazah tanpa ada tujuan mendesak.
  8. Menaruh bantal atau pengalas kepala di bagian bawah kepala jenazah.
  9. Memercikan air ke jenazah saat sudah dimasukkan ke dalam kubur.
  10. Mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji'un disertai dengan menaburkan tanah ke kuburan memakai bagian punggung telapak tangan.

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ Respati, T., dan Rathomi, H.S., ed. (2020). Kopidpedia: Bunga Rampai Artikel Penyakit Virus Korona (COVID-19) (PDF). Bandung: Pusat Penerbitan Universitas (P2U) Unisba. hlm. 239. ISBN 978-602-5917-42-4. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-12-06. Diakses tanggal 2021-09-07. 
  2. ^ Abror 2019, hlm. 104.
  3. ^ Al-Albani 2014, hlm. 14.
  4. ^ El-Kaysi 2018, hlm. 26.
  5. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 70.
  6. ^ El-Kaysi 2018, hlm. 27.
  7. ^ El-Kaysi 2018, hlm. 28.
  8. ^ Abror 2019, hlm. 105-106.
  9. ^ Abror 2019, hlm. 106.
  10. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 72.
  11. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 69-70.
  12. ^ a b Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 71-72.
  13. ^ Najed, M. Nasri Hamang (2018). Makki, M., dan Nurhikmah, ed. Fikih Islam dan Metode Pemebelajarannya: Thaharah, Ibadah dan Keluarga Muslim (PDF). Pare-pare: Umpar Press. hlm. 24. ISBN 978-602-71761-5-7. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2021-09-07. Diakses tanggal 2021-09-07. 
  14. ^ Saenong, F.F., dkk. (2020). Iskandar, Syahrullah, ed. Fikih Pandemi: Beribadah di Tengah Wabah (PDF). Jakarta Selatan: Nuo Publishing. hlm. 57. ISBN 978-602-14770-2-1. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-09-10. Diakses tanggal 2021-09-10. 
  15. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 73.
  16. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 170-171.
  17. ^ Miswanto, A., dan Mujahidun (2014). Arofi, Z., dan Pratiwi, E. K., ed. Panduan Praktis Hidup Islami: Ibadah, Muamalah, dan Doa-Doa (PDF). Magelang: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Studi Islam (P3SI), Universitas Muhammadiyah Magelang. hlm. 24. ISBN 978-602-18110-3-0. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2021-10-09. Diakses tanggal 2021-09-10. 
  18. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 171.
  19. ^ 'Abdussalam 2005, hlm. 114.
  20. ^ 'Abdussalam 2005, hlm. 255.
  21. ^ 'Abdussalam 2005, hlm. 42.
  22. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 174.
  23. ^ a b Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 175.
  24. ^ Nurjan, Syarifan (2016). Setiawan, Wahyudi, ed. Psikologi Belajar (PDF) (edisi ke-2). Ponorogo: Wade Group. hlm. 14. ISBN 978-602-6802-30-9. Diarsipkan (PDF) dari versi asli tanggal 2022-12-12. Diakses tanggal 2021-09-07. 
  25. ^ Nurhayati, Purnama, dan Siregar 2020, hlm. 74.
  26. ^ a b Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 173.
  27. ^ Al-Albani 2014, hlm. 15.
  28. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 176.
  29. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 176-177.
  30. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 178.
  31. ^ Thaib dan Hasballah 2012, hlm. 177.
  32. ^ Al-Albani 2018, hlm. 488.
  33. ^ Al-Albani 2018, hlm. 489-490.
  34. ^ Al-Albani 2018, hlm. 492.
  35. ^ 'Abdussalam 2005, hlm. 120.
  36. ^ 'Abdussalam 2005, hlm. 165.
  37. ^ Al-Albani 2018, hlm. 497-498.
  38. ^ Al-Albani 2018, hlm. 498.

Daftar pustaka

Kembali kehalaman sebelumnya