Gunung Penglai
Gunung Penglai (Hanzi Tradisional: 蓬莱山; Pinyin: Pénglái shān) atau juga dikenal dengan nama Penghu (Hanzi Tradisional: 蓬壶山; Pinyin: Pénghú) merupakan sebuah wilayah legendaris dalam mitologi Tionghoa, yaitu salah satu dari tiga gunung atau pulau ilahi yang terletak di Laut Timur, bersama dengan Fāngzhàng (方丈) dan Yíngzhōu (瀛州), tempat tinggal para manusia abadi.[1][2] Penglai dan Kunlun merupakan surga Taois yang paling terkenal.[3] Dalam mitologi Jepang, tempat ini dikenal dengan nama Hōrai.[4] LokasiShan Hai Jing menyebutkan gunung ini terdapat pada sebuah pulau di ujung timur Laut Bohai, bersama dua pulau lain yaitu Fāngzhàng (方丈) dan Yíngzhōu (瀛州). Pulau-pulau tersebut tidak terlalu jauh dari kediaman manusia, tetapi angin akan menghebus tiap kapal yang datang mendekat sehingga tidak ada yang berhasil mencapainya.[2] Delapan Dewa tinggal di ketiga pulau tersebut.[3] Pulau-pulau tersebut berada di atas punggung kura-kura raksasa sehingga dapat berpindah tempat. Legenda menyebutkan bahwa awalnya jumlah pulau-pulau tersebut ada lima, tetapi sesosok raksasa membawa kura-kura yang mengangkut dua pulau yang lain sehingga akhirnya tenggelam.[3] Dua pulau yang lain bernama Dàiyú (岱輿) dan Yuánjiāo (員嬌). Beberapa teori telah dikemukakan selama bertahun-tahun mengenai lokasi "asli" tempat-tempat tersebut, termasuk Jepang, Jejudo, Semenanjung Korea bagian selatan, dan Taiwan. Tempat bernama Penglai di Shandong memang benar-benar ada, tetapi kaitannya dengan Pulau Penglai adalah bahwa tempat tersebut merupakan tempat keberangkatan menuju pulau tersebut, dan bukanlah pulau itu sendiri. Beberapa nasionalis Tiongkok berusaha mengidentifikasikan Gunung Penglai dengan Kepulauan Ryukyu dan Pulau Kyushu untuk mengklaim bahwa semua pulau di Laut China Timur adalah miliki Tiongkok.[5] Mitologi TiongkokMitologi Tiongkok sering kali mengemukakan bahwa gunung ini merupakan tempat tinggal Delapan Dewa -atau setidaknya tempat mereka menuju untuk mengadakan perjamuan- dan Anqi Sheng. Segala sesuatu di gunung tersebut terlihat putih, sementara istana-istananya terbuat dari emas dan platinum, serta berbagai permata tumbuh di pepohonan.[2][3] Tempat ini tidak mengenal penderitaan maupun musim salju. Mangkuk-mangkuk nasi dan gelas-gelas arak tidak pernah menjadi kosong, seberapapun orang makan atau minum darinya. Selain itu, terdapat buah-buahan ajaib yang tumbuh di Penglai yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit, menganugerahkan kemudaan abadi, bahkan dapat menghidupkan kembali orang yang sudah mati.[6] Qin Shi Huang sendiri dalam mencari obat keabadian telah melakukan berbagai cara untuk menemukan pulau tempat gunung Penglai berada, tetapi gagal. Legenda menyebutkan bahwa Xu Fu, pejabat istana yang ia kirim untuk menemukan pulau tersebut, malah menemukan Jepang dan memberi nama "Penglai" pada Gunung Fuji.[7] Mitologi JepangPenyebutan Gunung Hōrai dalam karya Lafcadio Hearn yang berjudul Kwaidan: Stories and Studies of Strange Things tampak berbeda dari penggambaran Gunung Penglai dalam mitologi Tiongkok. Versi yang ditulis oleh Hearn tidak benar-benar menampilkan pandangan orang Jepang pada periode Meiji dan Tokugawa, menolak sebagian besar kisah-kisah fantastik dan ajaib dari Hōrai. Hōrai ditulis tidak lepas dari penderitaan dan kematian, serta musim dinginnya sangat membekukan. Tidak ada buah-buahan ajaib yang dapat menyembuhkan segala penyakit, memberi kemudaan abadi, atau membangkitkan orang mati; tidak ada pula mangkuk nasi atau gelas arak yang tidak pernah menjadi kosong. Tulisan Hearn lebih fokus pada atmosfer tempat tersebut yang tidak terbentuk dari udara melainkan "triliun dari triliun" jiwa. Jika seseorang bernapas dengan atmosfer ini, ia akan memiliki wawasan dan pengetahuan dari jiwa-jiwa kuno tersebut.[8] Kaidan menyebutkan bahwa masyarakat Jepang menganggap tempat semacam itu hanyalah sebuah fantasi. "Hōrai" juga disebut Shinkiro atau "khayalan-Pandangan yang tidak dapat diraba". Namun, penggunaan Gunung Hōrai dalam literatur dan kesenian Jepang pada periode Tokugawa (1615–1868) menampilkan cara pandang yang sengat berbeda dibandingkan interpretasi Hearn yang dipengaruhi gaya Victoria. Penghuni Gunung Hōrai adalah peri-peri kecil yang tidak mengenal kejahatan besar sehingga hati mereka tidak pernah menjadi tua.[6] Lihat pula
Referensi
|