Hak reproduksi dan seksualHak reproduksi dan seksual atau hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) merupakan hak yang tergolong ke dalam hak asasi manusia yang diatur oleh perangkat yang berhubungan dengan seksualitas.[1] Hak ini yang harus dijaga dan hormati bersama oleh setiap manusia. Setiap laki-laki maupun perempuan memiliki hak untuk menetukan keputusan dengan bebas dan bertanggung jawab mengenai beberapa hal seperti jumlah anak, jarak kelahiran antaranak, serta waktu penentuan kelahiran seorang anak, sehingga pada akhirnya dapat melahirkan anak secara sehat.[2][3][4] DefinisiHKSR oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) diartikan sebagai hak yang harus dimiliki oleh setiap manusia berkaitan dengan kesejahteraan fisik,mental, dan sosial secara keseluruhan serta memiliki kesehatan yang tidak hanya fisik dan bebas dari cacat, namun juga berkaitan dengan sistem reproduksi, serta fungsi, dan prosesnya. Selain itu hak reproduksi juga diartikan dengan setiap hak untuk menentukan keputusan dengan bebas dan bertanggung jawab mengenai beberapa hal seperti jumlah anak, jarak antar anak, serta waktu penetuan kelahiran seorang anak, sehingga pada akhirnya dapat melahirkan anak secara sehat.[5][6][7] Menurut pengertian yang dideklarasikan oleh Federasi Keluarga Berencana Internasional, hak seksual merupakan merupakan hak yang berhubungan dengan seksualitas yang berkontribusi pada kebebasan/kemerdekaan, kesetaraan privasi, otonomi, integritas, dan harga diri semua orang.[8][9] Mengenai cakupan hak reproduksi dan seksual terdiri dari beberapa hak yaitu untuk menerima informasi dan juga pendidikan mengenai Infeksi Menular Seksual (IMS) dan beberapa aspek seksualitas lainnya, serta hak kesehatan saat mengalamai menstruasi serta perlindungan dari praktik membahayakan seperti khitan pada perempuan.[3][10] Hak reproduksi menurut Komnas HAM dalam bukunya dituliskan sebagai hak-hak yang mencakup di dalamnya mengenai hak-hak manusia tertentu yang telah diakui oleh undang-undang nasional, dokumen-dokumen internasional mengenai HAM, serta dokumen kesepakatan yang dilakukan oleh PBB yang relevan. Hak ini didasarkan pada keseluruhan hak asasi pasangan dan juga perorangan untuk menentukan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak, dan waktu untuk melahirkan anak, serta informasi dan cara-cara yang yang dibutuhkan untuk melaksanakan hak tersebut. Terlepas dari hal tersebut juga mendapat kesamaan hak dan derajat kesehatan reproduksi dan seksual di mata hukum dan pemerintahan.[1][10] Sedangkan hak reproduksi perempuan juga diartikan sebagai hak yang dimiliki oleh perempuan karena memiliki fungsi reproduksi yang diberikan oleh Tuhan sehingga segala haknya harus terjamin untuk dipenuhi.[11] Berbicara tentang hak-hak reproduksi berarti berbicara tentang suatu spektrum yang luas, mencakup pembicaraan tentang relasi laki-laki dan perempuan, baik dalam ranah domestik maupun ranah publik. Namun, secara spesifik pembicaraan tentang hak-hak reproduksi terfokus pada masalah-masalah perkawinan, kehamilan, kelahiran, perawatan, dan pengasuhan anak. Termasuk di dalamnya juga pembahasan terkait aborsi, penyakit menular seksual termasuk HIV AIDS, Keluarga Berencana (KB), alat-alat kontrasepsi, serta perilaku seksual berisiko.[12] SejarahProklamasi TeheranProklamasi ini dilaksanakan di Teheran pada tanggal 22 April sampai 13 Mei 1968.[13] Konferensi Dunia tentang Perempuan di BeijingPertemuan ini dilakasanakan di Beijing pada tanggal 4 sampai 15 September pada tahun 1995. Pada konferensi ini terdapat kesepakatan yang disebut dengan Beijing Platform for Action.[14] Seluruh anggota PBB pada waktu itu menyepakati untuk melakukan adopsi pada BPFA yang menjadi resolusi dan merekomendasikan Majelis Umum dalam sesi kelima untuk mengesahkan BPFA.[1] Landasan aksi dari Konferensi Beijing 1995 tentang Perempuan menetapkan bahwa hak asasi manusia mencakup hak perempuan secara bebas dan tanpa paksaan, kekerasan, atau diskriminasi. Hal tersebut dimaksudkan agar perempuan memiliki kendali dan membuat keputusan mengenai seksualitas mereka sendiri, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi mereka sendiri. Paragraf ini juga telah ditafsirkan oleh beberapa negara.[15][16] Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (ICPD)Konferensi ini dilaksanakan di Kairo pada tahun 1994. Dalam konferensi ICPD hak reproduksi mulai mendapat perhatian secara spesifik. Di sini juga disepakati mengenai perubahan sudut pandang mengenai manajemen masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian subjek dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi untuk laki-laki maupun perempuan.[13] Subtansi dari konferensi ini juga menekankan bahwa kesehatan reproduksi merupakan bagian dari hak asasi manusia dan perlu pemberdayaan perempuan sebagai prioritas utama dalam pembangunan. Wujud dari pemenuhan hak ini ialah setiap individu maupun pasangan dapat memilih dan menentukan secara bebas dan juga bertanggung jawab mengenai jumlah, jarak, dan waktu memiliki anak. Selain itu kesehatan reproduksi maupun seksual perlu dipandang kembali dengan konteks yang lebih luas, tidak hanya dalam isu demografis dan KB atau kesehatan ibu. Kebijakan kependudukan dan program KB harus berdasarkan atas rasa sukarela, tidak ada pemaksaan-pemaksaan utamanya terhadap perempuan, yang bertentangan dengan hak asasi manusia. Selain itu juga tersedia pilihan-pilihan dan informasi yang cukup mengenai metode maupun alat kontrasepsi.[13] Deklarasi Tugas Manusia dan Tanggung Jawab (DHDR)Deklarasi ini ditulis untuk memperkuat pelaksanaan hak asasi manusia di bawah naungan UNESCO dan kepentingan Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia PBB dan diproklamasikan pada tahun 1998 untuk memperingati ulang tahun ke-50 Universal Deklarasi Hak Asasi Manusia (UDHR) di kota Valencia. Oleh karena itu, ia juga dikenal sebagai Deklarasi Valencia. Ini adalah langkah visioner dari Maria Perez Conchillo dan Juan Jose Borras Valls (presiden kongres) yang mengubah Asosiasi Dunia untuk Kesehatan Seksual atau World Association for Sexual Health (WAS) menjadi lebih dari sebuah organisasi advokasi yang memperjuangkan hak-hak seksual sebagai dasar untuk promosi kesehatan seksual dan bidang seksologi. Sebuah konferensi pers diadakan selama kongres untuk mempublikasikan adopsi Deklarasi Valencia dan mendapat perhatian di seluruh dunia. Deklarasi ini berdampak luas di dunia dalam pengakuan pentingnya hak seksual sebagai hak asasi manusia. Selain dampak yang luar biasa pada WHO, deklarasi ini memprovokasi IPPF untuk mengeluarkan deklarasi hak seksualnya sendiri pada tahun 2008.[butuh rujukan] Dasar hukumUU No. 39 Tahun 1999Dalam undang-undang ini diatur mengenai hak asasi manusia, seperti bentuk perlindungan. Hak reproduksi dan seksual termasuk ke dalam bagian dari HAM. Maka undang-undang ini mengakomodir mengenai hak seseorang untuk hidup, melanjutkan keturunan, memperoleh informasi, dan pengetahuan tanpa adanya diskriminasi dan berasarkan keadilan.[17] UU No. 10 Tahun 1992Hak reproduksi dan seksual diatur tepatnya pada pasal 18 dan 19. Dalam pasal 18 berbunyi "Setiap pasangan suami-istri (dapat menentukan pilihannya dalam merencanakan dan mengatur jumlah anak dan jarak antara kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun generasi mendatang." Dalam pasal lain juga diatur mengenai pengaturan kehamilan yang dilakukan secara bebas dan mandiri oleh pasangan suami istri secara bertanggung jawab. Undang-undang ini juga mengatur mengenai tata cara pengaturan kehamilan.[18] UU No. 36 Tahun 2009Pada pasal 72 diatur secara terperinci mengenai hak reproduksi seseorang dengan bunyi bahwa setiap orang memiliki hak untuk menjalani kehidupan reproduksi dan kehidupan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari paksaan dan atau kekerasan dengan pasangan yang sah. Selain itu dalam menentukan kehidupan reproduksinya dilakukan dengan bebas dari diskriminasi, paksaan, dan/atau kekerasan yang menghormati nilai-nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. Selanjutnya pada ayat tiga dijelaskan bahwa setiap pasangan berhak menentukan sendiri kapan dan berapa sering ingin bereproduksi sehat secara medis serta tidak bertentangan dengan norma agama. Serta pada ayat terakhir berhak memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.[19] PP No. 61 Tahun 2014Peraturan pemerintah ini mengatur mengenai kesehatan reproduksi yang menjadi hak setiap orang. Dalam pasal 3 dinyatakan mengenai hak reproduksi dan seksual dengan mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, aman, dan dapat dipertanggungjawabkan serta menjamin kesehatan seorang ibu dalam usia reproduksi agar mampu melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas. Selanjutnya juga diatur mengenai hak reproduksi bagi remaja dengan mendapatkan informasi, edukasi dan pelayanan lainnya sesuai kebutuhan mengenai reproduksi.[20] SeksualitasIstilah seks dan seksualitas sering kali dijadikan istilah yang sama bahkan dalam penggunaannya sering tidak dibedakan. Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan definisi sebagai berikut, seks adalah jenis kelamin, hal yang berhubungan dengan alat kelamin, seperti senggama. Sedangkan, seksualitas adalah ciri, sifat atau peranan seks, dorongan seks, atau kehidupan seks. Berdasarkan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa istilah seks dalam pemahamannya selalu dihubungkan dengan alat atau jenis kelamin. Hal tersebut dikarenakan istilah seks selalu dihubungkan dengan alat kelamin, maka ciri-ciri anatomi biologi mempunyai peranan penting untuk pembedaan jenis kelamin. Berdasarkan alat kelaminnya, manusia dibedakan dalam dua golongan atau dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan. Dengan ciri biologi alat kelamin penis, seseorang dimasukkan ke dalam kelompok laki-laki, sedangkan dengan ciri biologi alat kelamin vagina, seseorang dimasukkan ke dalam kelompok perempuan.[21][22] Seksualitas dipahami sebagai ciri yang mencakup keseluruhan aspeknya, maka seksualitas mempunyai arti yang lebih luas dari pada arti seks. Seksualitas dalam artinya yang luas tetapi mendasar dapat diterangkan sebagai segala sesuatu yang menentukan seseorang sebagai pria dan wanita. Arti ini mempunyai jangkauan yang lebih luas dari arti seks. Seks hanya merupakan sebagian kecil dari keseluruhan kenyataan seksualitas manusia. Karena seksualitas merupakan adanya dan cara manusia berada di dunia sebagai laki-laki atau perempuan, maka seksualitas menyangkut segala sesuatu dan keseluruhan yang menentukan seseorang sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.[21] Maka, dalam hal ini pengetahuan mengenai seksualitas sangat penting untuk diketahui. Dengan mengetahui tentang seksualitas mampu membentuk makna subjektif mengenai seksualitas, menuntun pola berpasangan seksual dan mengontrol perilaku seksual dari seseorang. Seorang individu yang kurang memahami penyakit menular seksual dan cara penularannya tentu membuatnya menjadi kurang bisa mengontrol perilaku seksual dan menjadi mudah tertular. Wanita yang menderita infeksipada sistem saluran reproduksi dan kurang memahami gejala yang ia alami mungkin akan membiarkan keluhan terjadi sampai keluhan itu berkembang lebih akut dan membawa dampak lebih buruk pada kesehatannya. Demikian juga wanita yang kurang tahu tentang kehamilan dan cara-cara pencegahannya dapat mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan/Direncanakan (KTD). Dengan demikian, informasi tentang seksualitas sangat penting untuk menjaga kesehatan seksual individu. Informasi seksual dapat diberikan melalui pendidikan keluarga, pendidikan agama di pesantren, atau tempat-tempat beribadah, pergaulan dengan teman, guru di sekolah, bacaan, serta media elektronik. Jenis materi yang disampaikan melalui berbagai media tersebut dapat berbeda, baik dalam substansi, intensitas, maupun daya pengaruhnya pada individu. Sering dikatakan bahwa penyimpangan seksual remaja dikarenakan terlalu dominannya pengaruh media massa dan elektronik terkait dengan kesehatan reproduksi dalam menyebarkan informasi seksual bebas, sementara keluarga, sekolah, atau pesantren kurang memberikan bekal pengetahuan seksual yang sebanding. Bagaimana memberikan informasi yang lengkap dan mendidik tentang seksualitas dengan maksud agar penyimpangan seksual dapat ditekan, juga risiko penularan Sexually Transmitted Diseases (STD) dan KTD dapat dicegah, merupakan tantangan besar dalam pendidikan kesehatan reproduksi.[21][22] MacamBerdasarkan ICPDR di Kairo ada 12 hak reproduksi yang ditetapkan yaitu:[1][23]
Pada Undang-Undang RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia mengatur prihal Hak Wanita salah satunya tentang jaminan hak reproduksi wanita, yaitu Pasal 49 ayat (3) menyebutkan:“Hak khusus yang melekat pada diri wanita dikarenakan fungsi reproduksinya, dijamin dan dilindungi oleh hukum.” Undang-undang mengakui bahwa setiap orang memiliki hak-hak reproduksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 72 UU Kesehatan. Hak-hak reproduksi adalah merupakan hak-hak asasi manusia, dan dijamin oleh undang-undang. Hak-hak reproduksi tersebut mencakup:[24]
Hak Reproduksi Laki-LakiIsu-isu internasional mengenai hak reproduksi yang berkaitan dengan laki-laki terdiri mengenai penyakit menular seksual,paparan dari racun dan juga kanker. Penyebab Pelanggaran Hak Reproduksi dan SeksualBudaya PatriarkiKonsep patriarki merupakan persepsi gender bahwa seorang laki-laki dan perempuan masing-masing memiliki sifat yang berbeda ,sehingga laki-laki lebih mendominasi dalam beberapa hal baik itu untuk penghargaan,penghormatan dan kewibawaan. Sedangkan para perempuan harus mendapatkan bagian untuk mengurus tugas dalam rumah tangga.Dalam patriarki perempuan ditakdirkan untuk menjaga eksistensi dari laki-laki serta mendampinginya dan menjaga wibawanya.[25] Maka perlu ada transformasi mengenai eksistensi gender dalam hal penyamaan dan penyetaraan antara laki-laki dan perempuan. Sejak dahulu perempuan ditempatkan pada kelas dua sedangkan laki-laki selalu pada tingkatan pertama dan paling atas.Praktik budaya patriarki hingga saat ini masih banyak berlangsung meskipun telah banyak gerakan feminis dan juga aktivis perempuan yang meluas. Diantara permasalahan yang muncul karena adanya budaya patriarki ialah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), pelecehan seksual,pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian.[25] Interpretasi Keagamaan yang Bias GenderPara kaum feminis berpendapat bahwa masih terdapat banyak doktrin agama yang didalamnya banyak membedakan peran gender bagi laki-laki dan perempuan. Beberapa tema pokok yang sering dikaitkan dengan ketidakadilan gender dalam agama ialah penafsiran yang dilakukan oleh para ulama yang mana menunjukan bahwa laki-laki merupakan pemimpin bagi perempuan dan para perempuan berada pada posisi subordinatif dan hal ini berpengaruh pada marginalisasi kepada perempuan dalam beberapa aspek seperti kepemimpinan,ekonomi maupun beban kerja.[26] Selain itu ada stereotype (pelabelan negatif) yang diatasnamakan agama bahwa perempuan yang berdandan dan berhias sehingga menarik perhatian lawan jenisnya dan terjadi kekerasan seksual maka yang disalahkan ialah pihak perempuannya yang padahal menjadi seorang korban. Padahal pihak laki-lakinya juga bersalah namun tidak mendapatkan pelabelan negatif seperti perempuan.Marginalisasi juga tampak pada perlakuan waris terhadap perempuan yang dianggap bias gender karena jatah pembagian warisan yang didapatkan hanya setengah dari kaum laki-laki sehingga mengakibatkan pemiskinan pada perempuan.[26] Kurangnya informasi dan Pelayanan Kesehatan Reproduksi dan SeksualHukum yang belum Memihak pada Hak Reproduksi dan SeksualHukum di Indonesia menjamin terpenuhinya HAM dengan adanya UU No.39 Tahun 1999. Selain itu dalam UU No. 7 tahun 1984 juga lebih spesifik mengatur tentang Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan. Undang-undang ini merupakan ratifikasi Convention on the Elimination of All From of Discrimination Against (CEDAW). Dalam undang - undang ini diatur mengenai penghapusan segala bentuk dari diskriminasi yang dilakukan terhadap perempuan baik itu kekerasan publik maupun domestik. Namun kenyataanya diskriminasi terhadap perempuan masih muncul dalam ketentuan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah.[27] Pada Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 pasal 76 yang isinya mengharuskan adanya izin suami saat perempuan melakukan abortus dalam keadaan gawat darurat saat kehamilan. Pada kondisi ini menunjukan perempuan tidak memiliki hak sepenuhnya atas reproduksinya. Sehingga pada saat yang sangat darurat harus tetap ada izin suami. Selanjutnya pada Undang-Undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 pada pasal 31 diterangkan bahwa laki-laki merupakan kepala keluarga dan perempuan ialah ibu rumah tangga. Sehingga perempuan peranya masih dibatasi pada ranah domestik saja dan tidak terlalu mendapat kesempatan pada ranah publik.[27] Adanya perbedaan secara kodrat mengenai laki-laki dan perempuan maka ada peraturan khusus yang ditambahkan kepada perempuan saat dalam ranah dunia kerja yang meliputi cuti hamil,haid dan melahirkan. Di Indonesia aturan mengenai cuti kehamilan berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 ialah selama 12 pekan dengan perincian 6 pekan sebelum saatnya melahirkan dan 6 pekan setelah melahirkan. Namun saat dibandingkan dengan konvensi ILO mengenai kehamilan pada nomor 183 tahun 2000 hak cuti yang diberikan kepada perempuan ialah minimal 14 pekan. Maka aturan cuti di Indonesia masih berada dibawah ketentuan tersebut.[28] Kuatnya Mitos mengenai Kesehatan Reproduksi dan SeksualMengenai mitos dalam seksualitas ada banyak yang salah kaprah dan menghasilkan informasinya yang keliru pada masyarakat. Adanya mitos mengenai hubungan seksual pertama kali tidak menyebabkan hamil telah menjadi keyakinan yang banyak dijadikan alasan anak muda untuk melakukan seks sebelum nikah. Padahal faktanya kehamilan tetap bisa terjadi pada hubungan seksual pertama kali. Hal ini juga didukung dengan mitos lain seperti kepercayaan bahwa mengkonsumsi nanas dan soda mampu mencegah kehamilan setelah melakukan hubungan seksual. Semua ini berdampak besar pada peningkatan pernikahan dibawah umur karena terjadi kehamilan dahulu.[29] Pelanggaran Hak Reproduksi dan SeksualPemerkosaanPemerkosaan menurut bahasa merupakan mencuri, memaksa, merampas, atau membawa pergi. Sedangkan menurut istilah ialah suatu usaha untuk melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.[30] Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah pernikahan.[30] Para perempuan terutama yang masih berusia remaja banyak yang kurang memahami mengenai pelanggaran hak reproduksi yang dilakukan kepadanya. Pada satu sisi remaja yang telah berpacaran banyak yang memahami bahwa tindakan yang dilakukan berdasarkan pada rasa cinta dan juga kasih sayang. Dalam berpacaran banyak laki-laki yang meminta untuk melakukan hubungan seksual terhadap pacarnya sebagai bukti cintanya. Perempuan yang tidak menginginkannya namun berhasil dipengaruhi atau dipaksa oleh pasangannya maka hal ini tergolongkan sebagai pelanggaran hak reproduksi wanita. Sekalipun hubungan seksual dilakukan dengan dasar suka masa suka namun belum terjadi pernikahan, maka sikap tersebut tetap banyak merugikan pihak perempuannya. Peristiwa ini terjadi karena minimnya informasi dan juga pemahaman yang yang diketahui dan didapatkan oleh perempuan mengenai seks bebas. Sehingga mereka setuju untuk melakukannya sekalipun sangat berbahaya. Akibat yang akan ditanggung dari perbuatan ini salah satunya yaitu terjadinya kehamilan diluar nikah. Kejadian ini semakin memburuk saat pasangannya justru tidak mau menikahinya dan tidak mau bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya. Mengkhitan Anak PerempuanKhitan perempuan dikenal dikenal juga dengan istilah sirkumsisi yang berasal dari bahasa latin yaitu circum berarti memutar dan caedere berarti memotong. Sedangkan istilah secara internasional adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female Genital Cutting (FGC). Istilah ini digunakan untuk menggambarkan satu macam operasi alat kelamin yang dilakukan pada anak-anak perempuan, gadis-gadis atau kaum perempuan.[31] Sunat perempuan ini tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di berbagai Negara lain. Sunat perempuan dilakukan hampir di 28 negara, terbanyak dilakukan di sebagian besar Negara Afrika, khususnya di Negara bagian Afrika Sahara, beberapa Negara Timur Tengah, serta sebagian kecil Negara di Asia, Pasifik, Amerika Latin, Amerika Utara,dan Eropa. Di Asia, praktik ini familiar di kalangan Negaranegara Muslim, seperti Malaysia, Philipina, termasuk Indonesia.[32] Di Indonesia, pelaksana sunat perempuan sangatlah bervariasi, mulai dari tenaga medis, baik perawat, bidan,maupun dokter, dukun bayi, maupun dukun/tukang sunat, dengan menggunakan alat-alat tradisional seperti pisau, sembilu, bambu, jarum, kaca, kuku hingga alat modern semacam gunting, scapula dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari usia pelaksanaannya, juga sangat bervariasi, dari mulai neonatus, anak usia 6-10 tahun, remaja, hingga dewasa. Praktik sirkumsisi perempuan tentunya dilakukan dengan beberapa alasan, mulai budaya, agama kesehatan dan lainnya. Ada beberapa faktor yang menjadi argumen pelaksanaan praktik sirkumsisi perempuan ini yang diantaranya yaitu psikoseksual. Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi/menghentikan masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami.[33] Dalam masyarakat muslim, sirkumsisi perempuan lebih dianggap sebagai bagian dari ajaran agama atau keberagamaan. Dalam hal ini ada dalil yang mendasari pelaksanaan praktik ini.Sedangkan di kalangan kaum feminis dan aktifis gender, sirkumsisi merupakan tindak kekerasan gender yang merugikan kaum perempuan. Hal ini dikarenakan sirkumsisi tidak memberi manfaat apa pun bagi perempuan yang disirkumsisi, bahkan akan memberikan efek negatif, baik secara psikis maupun medis. Ini kemudian menjadi sebuah kekerasan gender yang tidak perlu lagi dipraktekkan. Beberapa argumen yang sering dilontarkan terkait dengan dampak negatif sirkumsisi perempuan adalah adanya nyeri berat, syok, perdarahan,tetanus, sepsis, retensi urine, ulserasi pada daerah genital, dan perlukaan pada jaringan sekitarnya. Perdarahan masif dan infeksi bisa menjadi penyebab kematian. Penggunaan alat bersama untuk beberapa orang tanpa sterilisasi sesuai prosedur, dapat menjadi sumber infeksi dan media transmisi penularan penyakit, seperti HIV dan hepatitis.WHO telah memperingatkan tentang timbulnya peningkatan risiko kematian ibu dan bayi pada wanita yang disunat.[34] Maka sirkumsisi dapat dinyatakan sebagai suatu hal yang tidak mempunyai alasan pembenar dan telah menumbuhkan pemikiran bahwa hukum penyunatan terhadap alat genital perempuan merupakan cara-cara penghilangan hak dan kontrol perempuan atas tubuhnya sendiri dan pada akhirnya dilegitimasi oleh masyarakat sebagai suatu ritual yang wajib dilakukan. Sampai sekarang, negara belum mempunyai perangkat hukum yang melarang atau memberikan penjelasan tentang boleh atau tidaknya dilakukan praktek “penyunatan terhadap alat genital” perempuan, sehingga dapat dikatakan, ternyata masih ada diskriminasi terhadap perempuan dan hak- hak reproduksi yang dinyatakan merupakan hak asasi manusia dilanggar secara semena-mena. Pelanggaran terhadap hak-hak reproduksi yang kodrati (haid, hamil, melahirkan dan menyusui, dan keluarga berencana)Pelanggaran hak yang dialami oleh perempuan terkait hak reproduksi yang kodrati ini ialah tampak dalam dunia kerja atau bidang ketenagakerjaan. Tenaga kerja perempuan dipandang sebagi tenaga kerja murah. Ketiadaan keterampilan pada tenaga kerja perempuan berkaitan langsung dengan tingakat pendidikan yang diterima oleh kaum perempuan, yang tidak mendapat prioritas pendidikan, baik dari lingkungan keluarga, maupun dari lengkungan masyarakat. Dalam situasi seperti ini dengan mudah terjadi pelangggaran hak asasi manusia, tanpa mendapat perlawanan dari perempuan yang tereksploitasi tersebut, satu sama lain karena ketiadaan pengetahuan. Khususnya untuk menggunakan hak cuti pada waktu haid, bahkan dianulir oleh penguasa setempat. Ketika hamil atau melahirkan, sang produsen lebih suka memecat dari pada memberikan hak-hak mereka. Demikian juga ketika bayinya lahir. Biasanya perempuan dalam keadaan seperti itu diangggap tidak produktif, hanya meninggikan biaya produksi dan beribu-ribu alasan untuk menyingkirkan mereka dari pada memberikan dan melindungi hak asasi mereka. Hal ini juga berkaitan langsung dengan program keluarga berencana, yang di banyak negara tidak merupakan pilihan bagi kaum perempuan. Alat kontrasepsi atau cara-cara mengikuti program keluarga berencana, akses untuk memperoleh informasi, tidak diperoleh oleh mereka, bahkan program ini seolah-olah program paksaan, hanya karena dunia ketakutan terhadap tingkat perumbuhan penduduk yang tidak lagi mendukung daya tampung bumi.[35] AborsiMenurut Baharuddin Lopa di dalam Piagam Universal Hak Asasi Manusia yang dikenal dengan UDHR (Universal Declaration of Human Rights) juga diatur tentang hak kesehatan dan hidup manusia. Mengenai hak hidup dan keselamatan disebutkan dalam Pasal 3, bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, bebas merdeka dan keamanan (keselamatan) sebagai individu.Menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM, hak hidup atau melanjutkan kehidupan itu dibutuhkan manusia (janin maupun ibu) selain untuk melindungi diri dan martabat kemanusiaanya juga digunakan sebagai landasan moral dan keagamaan dalam bergaul atau berhubungan dengan sesama manusia dan Tuhan. Ketika janin sudah diberi hak hidup oleh Tuhan, kemudian diaborsi tidak dengan alasan ”demi melindungi hak keberlanjutan hidup ibunya”, maka apa yang diperbuatnya berkategori pelanggaran HAM.[36] Pasal yang melegalkan aborsi karena korban perkosaan ini secara filosofis bertujuan untuk melindungi wanita korban perkosaan dari gangguan psikologis maupun trauma sosial karena harus menanggung risiko kehamilan sendiri tanpa ada yang bertanggung jawab. Dengan alasan melindungi hak asasi wanita korban perkosaan, serta melindungi masa depannya. Sementara janin yang ada dalam kandungan wanita tersebut juga mempunyai hak untuk hidup, perlu dilindungi. Terjadi benturan antara kepentingan melindungi hak asasi janin yang akan tumbuh dalam rahim dengan hak ibu yang ingin terlepas dari beban psikologis dan sosial.Tindakan aborsi bagi korban perkosaan menurut PP No 61 Tahun 2014 harus memenuhi kriteria dan prosedur berupa pembuktian usia kehamilan melalui surat keterangan dokter, keterangan penyidik dan keterangan psikolog, konseling pra tindakan dan konseling pasca tindakan. Namun, dalam praktiknya perlu kesadaran dan pengawasan semua pihak, agar tidak terjadi praktik suap dan menyalahgunaan kewenangan bagi pihak yang berkompeten. Jadi aborsi hanya boleh dilakukan jika benar-benar dapat dibuktikan bahwa pemohon aborsi benar-benar korban perkosaan dan mendapat surat keterarangan dari dokter, penyidik dan psikolog. Menurut HAM, aborsi bagi korban perkosaan hanya boleh dilakukan untuk melindungi jiwa janin dan ibu, selain dari alasan tersebut dianggap sebagai pelanggaran HAM.Jadi dalam hal ini banyak perempuan yang melakukan aborsi namun dianggap sebagai tindakan pelanggaran HAM. Padahal saat ditelusuri lebih detail terutama perempuan korban pemerkosaan yang mengalami kehamilan perlu mendapatkan solusi dari beban fisik maupun mental yang ditanggungnya.[37] Pemaksaan Kontrasepsi dan DampaknyaSalah satu hak reproduksi dan seksual yang dimiliki oleh individu atau pasangan ialah menentukan kehamilan serta jumlah anak yang dimiliki beserta jaraknya.Maka untuk mengakodomodasi hak ini ada beberapa metode yang bisa ditempuh untuk melakukan hal ini. Salah satunya adalah dengan menggunakan alat kontrasepsi. Kebanyakan pemakaian alat kontrasepsi dilakukan pada pihak perempuan dengan perincian sebagai berikut pada 1997, dua pertiga (66,67%) perempuan menikah di Indonesia menggunakan kontrasepsi modern, 28,2 % menggunakan pil dan 35,6% menggunakan suntik. Metode lainnya adala IUD sebanyak 14,8%, implant sebanyak 11% dan sterilisasi atau MOW 5,5%, dan bagi pria, vasectomy atau MOP 0,7% dan kondom sebesar 1,3%.[38] Dari data tersebut tampak nyata bahwa perempuan memiliki andil dari kebijakan Keluarga berencana, dan dapat di lihat dari mayoritas alat kontrasepsi ditujukan pada perempuan sebagai pengguna. Padahal, dalam mekanisme kerja dari alat kontrasepsi tersebut banyak menimbulkan masalahan atau keluhan-keluhan yang diderita perempuan. Kontrasepsi pil oral kombinasi merupakan salah satu metode kontrasepsi yang mana penggunaannya dilakukan untuk menekan hormone ovarium (estrogen dan progesterone) selama siklus haid yang normal dan mencegah terjadinya ovulasi. Namun penggunaannya juga memiliki efek samping yang banyak bagi perempuan seperti muntah, sakit kepala/ pusing, payudara membesar dan nyeri, retensi cairan tubuh, berat badan bertambah.Tidak hanya itu ada risiko yang yang harus dialami perempuan saat melakukan kontrasepsi dengan pil. Diantaranya ialah sakit abdomen yang hebat dengan kemungkinan penyakit kandung empedu, Adenema hepar, bekuan darah, pancreatitis dan sakit dada yang hebat, nafas pendek atau hemeptoe, dengan kemungkinan yaitu bekuan darah didalam paru-paru, Miokard infark. Selanjutnya yaitu sakit kepala hebat dengan kemungkinan: stroke, hipertensi, migrane, masalah Vaskuler serta Sakit tungkai bawah atau betis yang hebat dengan kemungkinan: adanya bekuan darah di tungkai bawah[39][40] Kontrasepsi dengan suntik juga memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencegah ovulasi (primer) dan selain itu berakibat pada pengentalan lender serviks dan dan jumlahnya lebih berkurang sehingga merupakan barier terhadap spermatozoa. Selain itu, dalam mekanismenya juga membuat endometrium menjadi kurang layak untuk implatasi dari ovum yang telah dibuahi. Maka suntik ini juga ditujukan pada wanita.Metode ini juga memiliki efek samping yang tidak dapat dihindari yang diantaranya adalah gangguan haid,berat badan yang bertambah,sakit kepala, peningkatan jumlah insulin dan penurunan HDL-kolestrol.[39][41] Selanjutnya yaitu kontrasepsi dengan IUD (Intra Uterine Devices) yaitu mendorong timbulnya reaksi radang local yang non spesifik didalam uteri sehingga implatasi sel telur yang telah dibuahi terganggu. Efek samping dari metode ini adalah rasa sakit dan pendarahan, Embedding dan displacement, dimana IUD tertanam terlalu dalam di endometrioum atau mymoterium sehingga berbahaya dan harus dikeluarkan. Selain itu ada Infeksi yang dapat dipicu oleh bertambahnya volume dan darah haid yang disebabkan oleh pemasangan IUD, juga dapat dipicu oleh naiknya kuman-kuman melalui benang ekor IUD, terjadinya kehamilan ektopik.[39][41] Metode kontrasepsi yang lainnya ialah implan. Pemasangannya dilakukan pada bagian dalam lengan dengan menyobek kulit lengan bawah untuk menanam implant sepanjang 6–8 cm yang disebut dengan insersi implant. Seperti alat kontrasepsi lain, alat kontrasepsi ini hanya berisi progestin saja, sehingga mampu mencegah kehamilanmelalui pencegahan ovulasi, menurunkan jumlah lendir yang ada di serviks dan mengentalkannya sehingga menghabat pergerakan sperma, dan menghambat siklis endometrium. Namun efek samping yang selalu muncul adlah perubahan pola haidyang terjadi hampir pada 60% akseptor dalam tahun pertama setelah insersi. Efek lain yang paling sering terjadi adalah bertambah panjangnya hari hari pendarahan, adanya bercak (spoting), Selain itu akan juga muncul perubahan-perubahan minor seperti fungsi hepar, metabolism karbohidrat, pembekuan darah, tekanan darah, berat badan. Dalam pelaksanaan penggunaan metode kontrasepsi masih terdapat permasalahan akan pemenuhan hak reproduksi perempuan yang sering terabaikan. Beberapa permasalahan yang muncul ialah karena pengabaian hubungan gender dimana pemakaian kontrasepsi sering diasumsikan bahwa hal ini menjadi tindakan preventif yang harus dilakukan para perempuan dalam dinamika pelaksanaan kewajiban mereka terhadap pemenuhan hasrat seksual laki-laki yang selalu aktif dan wajib untuk dipenuhi oleh si istri sehingga perempuan atau istri memiliki peluang yang besar untuk hamil sebagai konsekuensi dari kegiatan seksualnya. Perempuan juga sering memiliki keterbatasan dalam keikutsertaan dalam memilih alat kontrasepsi sehingga dapat dilihat dari penjelasan bagaimana alat kontrasepsi hormonal (suntik dan pil) lebih mendominasi yang kemudian disusul oleh IUD dan implant dibanding kondom dan vasektomi sebagi alat kontrasepsi laki-laki. Hal ini banyak disebabkan oleh lemahnya informasi yang diberikan pada laki-laki terkait kewajibannya juga dalam ikut menjalankan pengendalian jumlah penduduk melalui penggunaan alat kontrasepsi, sekaligus pengetahuan bagi laki-laki atau suami terkait dampak pengggunaan alat kontrasepsi yang dimungkinkan menimpa para istri. Keterbatasan informasi juga dirasakan para perempuan dalam hak untuk mengakses informasi tentang beragam bentuk dan dampak dari alat kontrasepsi. Pelecehan SeksualPemaksaan Perkawinan dan KehamilanPranala luar
Daftar pustakaBuku
Jurnal
Referensi
|