Ipik Asmasoebrata
Ipik Asmasoebrata (16 Juni 1922 – 28 Agustus 2003)[1] adalah politikus Indonesia yang merupakan mantan Pejuang Kemerdekaan Indonesia (Angkatan '45) yang berasal dari Tanjungsari, Sumedang. Semasa hidup, Ia aktif mengembangkan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), menjadi Wakil Ketua Komisi I MPR, sekaligus menjadi juru bicara Fraksi PDI di MPR/DPR.[2] Ia juga pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Olahraga Berkuda (Pordasi).[3][4] Ia memiliki dua anak yang aktif di dunia politik Indonesia karena sempat menjadi pengurus PDI versi Soerjadi sekaligus Anggota DPRD DKI Jakarta periode 1992-1997 yaitu Alex Asmasoebrata dan (Alm) Neneng Amalia Dendawacana dan kakek dari mantan pembalap perempuan Indonesia, Alexandra Asmasoebrata.[4][5] Semasa menjadi Anggota DPR RI, ia pernah melakukan kritik dengan mengatakan perlu pendekatan terhadap pemberantasan korupsi yang ada di pemerintahan Indonesia yang, menurutnya, terjadi hanya di sebagian pegawai pemerintahan.[6] Selain itu, ia pernah mengkritik sistem bagi untung di era awal berdirinya RCTI pada tahun 1988.[7] Selain itu, ia juga dikenal sebagai mentor politik salah satu Anggota DPRD DKI Jakarta dari PDI Perjuangan, Panji Virgianto. Riwayat HidupMasa Pra-KemerdekaanMembangun Koperasi di Tanjungsari bersama R. Hasan Nata PermanaMenurut Ajip Rosidi (2010), ketika R. Hasan Nata Permana (salah satu tokoh Masyumi dari Ciamis) diangkat menjadi Camat di Tanjungsari, Sumedang pada tahun 1942, ia bersama-sama membangun koperasi di Tanjungsari yang berkonsep pertokoan.[8] Selain itu, ia juga menjadi anggota dari Jawa Hokokai.[9] Masa KemerdekaanIa pertama kali aktif di dunia politik ketika masuk menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI) pada tahun 1952.[10] Setelah tidak aktif dalam kegiatan fisik, ia menjadi pengusaha (terutama pengusaha tembakau) di daerahnya (Tanjungsari, Sumedang) dan mengembangkan pacuan kuda di Tanjungsari, Sumedang. Selain membangun pacuan kuda, ia juga pernah menjadi Direktur Pabrik Rokok Nasional (Parona) di Tanjungsari, Sumedang (yang terletak di Desa Gudang, Tanjungsari) serta menjadi direktur pada perusahan ekspor dan impor CV. Mataram dan CV. S. Sriwenda di Jakarta. Kemudian ia pindah ke Jakarta dan menjadi pengusaha ekspor impor sebelum memutuskan terjun ke dunia politik melalui PDI pada akhir dekade 1970-an. Konon, ia pernah berhubungan dekat dengan Soeharto pada awal masa pemerintahan Soeharto. Selain itu, ia juga membimbing anaknya secara tidak langsung (terutama Alex Asmasoebrata) untuk terjun ke dunia balap mobil dengan mencari sponsor sendiri dalam membalap.[3][4][10][11] Anggota MPR RI (1980 hingga 1982)Ia dilantik sebagai Anggota MPR RI pengganti antar waktu almarhum dr.H.R. Soewondo (yang merupakan ayah dari Siswono Yudo Husodo dan Meilono Soewondo) pada tahun 1980.[12] Anggota DPR RI (1982 hingga 1992)Mendukung Penembakan MisteriusMenurut buku yang ditulis Andi Widjajanto yaitu "Negara, Intel, dan Ketakutan" (2006), ia termasuk salah satu tokoh yang mendukung penembakan misterius pada tahun 1983 bersama dengan A.R. Fachruddin, Amirmachmud, dan Ali Moertopo.[13] Mengundurkan diri dari Ketua DPD PDI DKI Jakarta dan mendukung pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia periode 1993-1998Ketika terpilih kembali sebagai Anggota DPR RI untuk Periode 1987-1992, ia termasuk ke dalam jajaran anggota dan pengurus DPD PDI se-Indonesia yang menyatakan memilih untuk menjadi Anggota DPR RI dibandingkan menjadi Ketua DPD PDI (sebelumnya ia menjabat sebagai Ketua DPD PDI DKI Jakarta). Ia beralasan lebih memilih menjadi Anggota DPR RI dibandingkan menjadi Ketua DPD PDI DKI Jakarta adalah lebih karena masalah kecapekan saja.[14] Pada tahun 1989, ia pernah membuat heboh DPR RI dengan membagikan selebaran yang berisi mendukung pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia periode 1993-1998 meskipun hal ini terlalu cepat 3 tahun.[10] Sebelumnya, ia pernah berkomentar mengenai hasil kunjungan Presiden Soeharto ke Moskwa (yang saat itu masih menjadi Ibukota Uni Soviet) yang intinya mendukung ucapan presiden untuk menyingkirkan golongan-golongan yang menghambat pembangunan secara inkonstitusional.[15] Tindakan yang ia lakukan ini didasarkan setelah ia mendengarkan perkataan Soeharto yang akan "menggebuk" siapapun yang akan menggantikan dirinya secara inkonstitusional. Selain terhadap kepemimpinan Soeharto, Ia juga pernah mengatakan hal ini ketika dua Gubernur Jakarta (Tjokropranolo dan R. Soeprapto) akan habis masa jabatannya meskipun pada akhirnya mereka diganti.[10] Tanggapannya terkait korupsiIa juga pernah berpendapat, bahwa opini korupsi di Indonesia yang tinggi sebenarnya hanya terjadi sebagian kecil saja di tingkat pegawai pemerintahan sehingga tidak perlu dibesar-besarkan.[6] Dunia penyiaranIa termasuk salah satu Anggota DPR RI yang ikut mengawal lahirnya RCTI termasuk beberapa kebijakan terkait pemasangan dekoder hingga akhir masa jabatannya pada 1992.[7] Riwayat Organisasi
Karier Politik
Referensi
|