Share to:

 

Jaranan Thek Ponorogo

Jaranan Thek juga disebut Reyog Thek atau Thik adalah kesenian Kuda Lumping yang berasal dari Ponorogo yang ada pada akhir abad ke 15, Jawa Timur. Disebut Thek karena menghasilkan suara “Thek” dari suara Topeng Barongan.[1]

Sejarah

Pertunjukan Reog Thek Dan Reog Dhadak Merak tahun 1924 (kiri : Barongan Thek)

Masyarakat Ponorogo sebagian menyebut kesenian Jaranan Thek dengan sebutan Reog Thek adapun juga disebut sentherewe, karena mahkota pada barongan Jaran Thek memiliki bentuk daun yang menjulang seperti daun Sente dan Rawe, dalam budaya Reog dadak merak sudah familiar akan sebutan Reog Waru yakni mahkota merak yang mirip dengan daun waru, maka dari itu dalam komunitas seniman yang mengasingkan diri menyebut diri sebagai Reog Senterewe yang berasal dari daun Sente dan rawe.

Keberadaan Jaranan Thek ada sekitar pada akhir abad ke 15 dan awal abad 16. Adapun sejarah dari kisah munculnya Jaran Thek di kedua masa tersebut sebagai berikut :

Abad 15 (Barongan Tanpo Lulang)

Warok Guno Seco dan Warok Suro Handoko merupakan orang yang tersingkirkan di Kadipaten Ponorogo yang diberi kewenangan untuk menjadi pejabat di daerah yang jauh dari Pusat Ponorogo. Sehingga Warok Guno Seco dan Warok Suro Handoko merasa dibuang membangkang dengan cara menampilkan Topeng Barongan Tanpo Lulang, yang menyimbolkan pemimpin Ponorogo tidak memiliki wibawa.[2]

Yang dimaksud Barongan Tanpo Lulang adalah, topeng reyog tanpa dilapisi kulit harimau.

Abad 16 (Barongan Nogo Baruk klinting)

Pada awal abad 16 sering terjadinya pertarungan antar komunitas Reog Ponorogo (dhahak merak) yang disebut tempuk , bagi grup reog yang kalah akan kehilangan perangkat Barongan dadak merak, Gemblak dan peralatan lainnya. Sehingga membuat malu bagi anggota komunitas Reog Ponorogo yang kalah, sehingga mengungsi ke wilayah pegunungan Ponorogo bagian timur mengikuti jejak Warok Guno Seco.

Komunitas Reog Ponorogo yang kalah melakukan pertunjukan seperti kesenian Reog Tanpo Lulang yang mudah dibuat, karena apabila ingin membuat barongan dhadhak merak harus berhadapan dengan harimau dan mengumpulkan bulu merak lagi. Sehingga para warok yang kalah tempuk membuat kesenian dengan cerita berdasarkan legenda telaga Ngebel, Naga Baruk Klinting. Meski topeng berbentuk menyerupai naga, tetap masih disebut macan atau singo barong.[3]

Hal ini dilakukan karena sebagian besar kesenian Reog telah beralih kepada kubu pemerintahan Batoro Katong, sehingga dibuatlah kesenian Reog yang mngeacu pada babad Telaga Ngebel, yang dimana letak geografis Telaga Ngebel berada diatas sedangkan Pemerintah Ponorogo berada dibawah yang menyimbolkan pengikut pemerintah Ponorogo begitu rendah.

Walau pun tanpa dilapisi kulit harimau, Jaranan Thek diiringi musik seadanya terbuat dari bambu yang menghasilkan suara seperti Gamelan Reog, Kemudian Kesenian Jaranan Thek diminati oleh masyarakat sekitar hingga menyebar ke arah timur seperti Tulungagung, Trenggalek dan sebagian Pacitan hingga mengisi acara pasar malam di Blitar dan Malang.

Jaranan Thek yang di daerah pegunungan ini kemudian disebut Senterewe, karena mahkota pada topeng Jaranan Thek ini seperti daun Talas yang menjulang keatas. Hingga pada lebih dikenal Senterewe di daerah Tulungagung sebagai jaranan kreasi karena mengolah gerak tari yang baru.

Dari Waktu ke Waktu

Masa Penjajahan

Dimasa Kolonial belanda, kelompok Jaranan Thek yang mulanya dari grup Reog yang kalah, sehingga selalu bersinggungan dengan Reog Dhadhak merak di era Kolonial Belanda hingga kemerdekaan sekalipun. Tak jarang kelompok Jaranan Thek mendapatkan intimidasi dan penghinaan dari anggota Reog Dhadhak Merak dengan sebutan Kesenian buangan. Sehingga hampir tidak pernah ada penampilan secara bersama kolaborasi antara Jaranan Thek dengan Reog Dhadhak Merak, adapun ketika pertunjukan budaya seperti bersih desa karena tidak pertemuan yang tidak disengaja.[4]

Akan demikian, Jaranan Thek memiliki penggemarnya sendiri di daerah pegunungan yang berbatasan dengan kota lain, sehingga jaran Thek diterima dan dipelajari oeh Masyarakan luar kota yang berbatasan dengan Ponorogo dengan mudah, bahkan Jaranan Thek Ponorogo sangat populer di Blitar dan Malang ketika pasar malam berlangsung.

Masa Kemerdekaan

Ketika Indonesia sudah Merdeka, Jaranan Thek di Ponorogo hidup secara mandiri hasil swadaya masyarakat, karena tidak ada bantuan dari Pemerintah Ponorogo sama sekali, hal itu karena Pemerintah menggelontorkan dana hanya untuk kesenian Reog Dhadhak Merak sebagai identitas Ponorogo. Meski kurang mendapat perhatian dari pemerintah, Kelompok Jaranan thek di Ponorogo selalu hadir memeriahkan kegiatan yang diadakan oleh pemerintah, seperti bersih desa maupun Grebeg suro, seperti kesenian Ponorogo lainnya seperti Unto, Kebo-keboan, Gajah-Gajahan, keling Dll.

Pada saat ini terdapat perubahan kreasi pada pakaian Bopo (pawang) pada kesenian kuda lumping umumnya yang mengenakan kaos lengan panjang, Tetapi Bopo pada Jaranan Thek Saat ini masih seperti dahulu, yakni menggunakan setelan Penadon komplit seperti halnya pada Reog Dhahak Merak. Keberadaan Jaranan Thek di Ponorogo dirasa meresahkan oleh seniman kuda Lumping di Luar Ponorogo, karena jaranan thek tetap menampilkan gerakan lama atau kawak yang rumit, selain itu harga pementasan jaranan thek dirasa merusak harga karena dianggap murah dari harga pentas jaranan di luar Ponorogo.

Namun, Seniman Jaranan Thek di Ponorogo tak begitu menghiraukan terkait masalah yang dikeluhkan seniman jaranan luar Ponorogo, karena bagi seniman jaranan thek Ponorogo sendiri hanya sebatas hobi untuk melestarikan kesenian leluhur bukan untuk menjadikan kesenian sebagai lahan bisnis.

Alur Cerita Pementasan

Jaranan Thek di Ponorogo tidak menceritakan tentang perebutan seorang puteri seperti halnya kesenian kuda lumping umumnya, tetapi menceritakan perburuan hewan-hewan di hutan Ponorogo yang akan digunakan sebagai santapan pada acara desa yang mengacu pada legenda terjadinya Telaga Ngebel, sebagai pengingat kepada penonton dan generasi selanjutnya bahwa manusia tidak boleh rakus, serakah, sombong dan acuh tak acuh.

Pada Pementasan Jaranan Thek, diawali dengan pembacaan mantra oleh para Bopo. setelah itu pasukan berkuda mengejar dan memburu pasukan babi. kemudian, Pasukan Berkuda menyerang barongan naga baruk klinting yang kemudian pasukan berkuda kalah.

barongan naga baruk klinting marah dan murka karena diganggu saat bertapa, sehingga lurah ngebel (kucingan) turun tangan dan mengalahkan baruk klinting.

Peralatan

Barongan Kucingan Klono sewandono atau Lurah Ngebel dalam Jaranan Thek

Sehingga peninggalan Jaran Thek dalam dua Periode tersebut menghasilkan 4 jenis topeng, yakni

a. Abad 15

  1. Barongan Singo barong berbentuk Harimau, memiliki bentuk kotak atau lonjong dengan warna merah, terkadang hitam.
  2. Barongan Klono Sewandono yang disebut kucingan dengan warna merah, terkadang hitam. Tidak jauh beda dengan topeng Klono Sewandono pada Reog, hanya saja pada bentuk ini mulut topeng dapat terbuka dan menutup.

b. Abad 17

  1. Barongan Singo Barong berbentuk Naga Baruk klinting memanjang dengan warna merah
  2. Barongan Kucingan berbentuk Naga baruk klinting pendek dengan warna merah, menggambarkan seorang Lurah Ngebel.

Dari 2 periode tersebut, yang sama-sama menampilkan pasukan Berkuda, Celeng, Bujang Ganong, Bopo Warok sebagai bomoh penggunakan penadon, hanya saja pada pementasan Jaran Thek tokoh Bujang Ganong tidaklah begitu penting seperti Reog. Sedangkan peralatan pakaian dan musik tidak jauh berbeda dengan pakaian dan musik reog ponorogo

Referensi

  1. ^ bantaisapijr, bantaisapijr (03 juni 2010). "Kesenian Khas Ponorogo di luar reyog". kaskus. Diakses tanggal 08 Juli 2021. 
  2. ^ Diyanto, nanang (23 mei 2016). "Jaranan Thik Ponorogo Dikembangkan oleh Pelarian Majapahit". Kompasiana. Diakses tanggal 08 juli 2021. 
  3. ^ Nugraheni, Whinda Kartika (20 april 2015). "BENTUK PENYAJIAN KESENIAN TARI JARANAN THIK DI DESA COPER, KECAMATAN JETIS KABUPATEN PONOROGO JAWA TIMUR" (PDF). UNY - BENTUK PENYAJIAN KESENIAN TARI JARANAN THIK DI DESA COPER, KECAMATAN JETIS KABUPATEN PONOROGO JAWA TIMUR.  line feed character di |title= pada posisi 44 (bantuan); line feed character di |journal= pada posisi 50 (bantuan);
  4. ^ Zamzam Fauzannafi, Muhammad (2005). Reog Ponorogo: Menari di antara Dominasi dan Keragaman. Kepel Press. 
Kembali kehalaman sebelumnya