Kalimantan (provinsi)
Provinsi Kalimantan[1] adalah nama salah satu provinsi di Indonesia pada masa dahulu yang dibentuk pada 14 Agustus 1950 yang beribu kota di Banjarmasin, dengan gubernur pertama dr. Moerdjani (m. 1950-1953) dan sebagai Kepala Daerah Provinsi adalah Mas Subarjo (m. 1950-1953). Dalam tahun 1945 wilayah provinsi ini disebut Provinsi Borneo.[2] Wilayah Provinsi [Administratif] Kalimantan terbagi menjadi 3 Karesidenan:
Pada tahun 1957, 3 Karesidenan di Provinsi Kalimantan dimekarkan menjadi tiga provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Namun Provinsi Kalimantan Selatan (bekas Kalimantan Induk) masih merayakan kelahiran provinsi tersebut sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan yang lahir terhitung sejak 14 Agustus 1950. SejarahPenguasaan MajapahitPada abad XIV wilayah Kalimantan ditaklukan Gajah Mada. Setiap negeri yang merupakan sebuah daerah aliran sungai pada masa itu dipimpin seorang yang bergelar Sakai. Majapahit menempatkan wakilnya Maharaja Suryanata (1365) yang menjadi raja Negara Dipa berkedudukan di Candi Agung (Amuntai). Kerajaan melayu Hindu, pada masa itu yang terbesar adalah Tanjungpura (Kalimantan Barat), Tanjungnegara (Negara Dipa, Kalimantan Selatan) dan Tanjung Kute (Kalimantan Timur). Ketiga kerajaan tersebut masih meninggalkan jejak-jejak sejarah seperti candi dan yupa. Pada masa perkembangan agama Islam beberapa Kerajaan Hindu berubah menjadi Kerajaan Islam yang berciri budaya Muslim Melayu. Sebelum munculnya agama Islam semua penduduk Kalimantan dikategorikan berbudaya Dayak yang terdiri dari orang Dayak, Melayu Hindu dan Jawa Hindu. Kesultanan Banjar selaku wakil Kesultanan Demak di Kalimantan mewarisi beberapa wilayah bekas taklukan Majapahit. Sejak abad ke-17, sebagian besar wilayah Kalimantan yaitu dari negeri Sambas sampai negeri Karasikan merupakan kerajaan bawahan dari Kesultanan Banjar, tetapi pada akhirnya menyusut menjadi sebagian kecil saja dari wilayah Kalimantan Selatan saat ini karena perjanjian dengan pihak Belanda. Kesultanan Banjar membagi wilayah Kalimantan menjadi wilayah-wilayah Kota Raja, Negara Agung, Manca Negara dan Pasisiran. Kota Martapura ibu kota Kesultanan Banjar sebagai ring pertama merupakan wilayah Kota Raja. Ring kedua daerah luar kota Martapura (Daerah Banjar) adalah wilayah Negara Agung (daerah inti kerajaan Banjar). Ring ketiga di luar daerah Banjar disebut daerah Manca Negara yaitu kawasan barat sampai daerah Kotawaringin dan di timur sampai daerah Paser. Ring terluar yaitu wilayah di sebelah barat Kotawaringin sampai ke negeri Sambas disebut Pasisir Barat, sedangkan Pasisir Timur adalah kawasan di sebelah utara negeri Paser sampai negeri Karasikan/Banjar Kulan/Maimbung, Sulu. Dalam Tractaat 13 Agustus 1787 antara VOC dengan Kesultanan Banjar yang terdiri atas 36 pasal bahawa kedudukan Kesultanan Banjar sebagai kerajaan pinjaman lebih diperinci lagi, sehingga wilayah Kesultanan Banjar tidak sebesar wilayah sebelumnya. Dalam Tractaat itu dijelaskan bahwa Kesultanan Banjar melepaskan negeri-negeri Paser dengan daerah takluknya; Pulau Laut beserta sekalian yang berwujud pada dekatnya; Tabanio beserta dengan pesisirnya, gunung-gunung serta separo dari Dusun, Tatas (Banjarmasin) dan Dayak-dayaknya dengan Mendawai, Sampit, Pembuang, Kotawaringin. Orang asing selain orang Eropa adalah orang yang bukan anak Banjar. Orang Cina, Bugis, Makassar, Mandar dan Bali dalam perjanjian itu dikelompokkan sebagai orang asing dan mereka tunduk pada Hukum Kompeni Belanda. Dengan demikian kalau orang asing ini melakukan kejahatan, mereka dihukum berdasarkan hukum Kompeni Belanda, meskipun tindakan mereka itu di dalam negeri Kesultanan Banjar. Khusus untuk orang Cina yang telah melakukan perniagaan dengan berniaga dengan orang Banjar dan dalam negeri Kesultanan Banjar. Sedangkan bangsa asing lainnya harus mendapat persetujuan dari Kompeni Belanda terlebih dahulu. Dalam Perjanjian Karang Intan pada masa pemerintahan Pangeran Nata Dilaga (Susuhunan Nata Alam) (1808-1825), Kesultanan Banjar menyerahkan beberapa wilayah taklukannya kepada Hindia Belanda diantaranya wilayah Berau, Kutai, Paser, Pagatan dan Kotawaringin.[5][6] Daerah lainnya yang diserahkan Sultan Banten kepada Belanda adalah Landak dan Sukadana (sebagian besar Kalbar). Wilayah inti Kesultanan Banjar saja yang belum jatuh dalam gengaman Belanda sampai tahun 1860. Selanjutnya pada abad ke-19, Belanda mengakui berdirinya kerajaan-kerajaan (daerah distrik) yang langsung diperintah kepala bumiputera yang tunduk di bawah kekuasaan Belanda (Indirect Bestuur). Penguasaan Hindia Belanda
Berikut adalah daftar nama-nama residen dan gubernur yang berkedudukan di Tatas/Banjarmasin:[7][8]
Suku Bangsa
Kegubernuran BorneoSejak tahun 1938, wilayah Kalimantan yang dikuasai oleh Hindia Belanda ditetapkan sebagai Kegubernuran Borneo. Pemerintahan administratif Kegubernuran Borneo dipimpin oleh seorang gubernur dengan ibu kota di Banjarmasin.[15] Dr. A. Haga menjadi Gubernur Borneo sejak tahun 1938 hingga 1942. Wakil Borneo-Belanda (Kalimantan) di Volksrad sebelum tahun 1935 ialah Pangeran Muhammad Ali. Ia kemudian digantikan anaknya yaitu Pangeran Muhammad Noor (1935-1939). Kemudian diganti lagi oleh Tadjuddin Noor (1939-1945). Penguasaan JepangPada tanggal 18 Maret 1942, Pangeran Musa Ardi Kesuma diberi kekuasaan sebagai Ridzie oleh pasukan Jepang. Kekuasaan ini meliputi pemerintahan sipil untuk wilayah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.[16] Penguasaan NICA dan Masa Republik Indonesia SerikatSetelah mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Maka dibentuklah Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Oktober 1946, yang menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, Sultan Hamid II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri atas 13 kerajaan sebagai swapraja. Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember 1946, dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari 1948.[17] Gubernur Borneo (dinamakan Kalimantan tahun 1950) dalam pemerintahan Pemerintah RI di Yogyakarta, yaitu Pangeran Muhammad Noor, mengirim Cilik Riwut dan Hasan Basry dalam misi perjuangan mempertahankan kemerdekaan untuk menghadapi kekuatan NICA. Pada tanggal 17 Mei 1949, Letkol Hasan Basry selaku Gubernur Tentara ALRI Wilayah IV Pertahanan Kalimantan memproklamirkan sebuah Proklamasi Kalimantan yang isinya bahwa "Daerah Kalimantan Selatan" (daerah-daerah di luar Daerah Istimewa Kalimantan Barat dan Daerah Istimewa Kalimantan Timur) tetap sebagai bagian tak terpisahkan dari Negara Republik Indonesia yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Pemerintah Gubernur Militer ini merupakan upaya tandingan terhadap terbentuknya Dewan Banjar yang didirikan Belanda. Pada masa Republik Indonesia Serikat, Kalimantan menjadi beberapa daerah yaitu:
Negara Kesatuan Republik IndonesiaMulai dari 1945-1957 gubernur mengepalai provinsi Kalimantan Pembentukan kembali provinsi Kalimantan tanggal 14 Agustus 1950 sesudah bubarnya RIS, diperingati sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan (dahulu bernama provinsi Kalimantan, salah satu provinsi pertama). Tahun 1957 Kalimantan dibagi menjadi 3 provinsi, yaitu Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Selanjutnya tahun 1958, tiga kabupaten yaitu Kabupaten Kapuas, Kabupaten Barito dan Kabupaten Kotawaringin membentuk provinsi Kalimantan Tengah sebagai pemekaran dari Kalimantan Selatan.
Catatan kaki
|