Share to:

 

Keberhasilan pelestarian bahasa Ibrani

Keberhasilan pelestarian bahasa Ibrani bertitik pangkal di Eropa dan Palestina menjelang penghujung abad ke-19 menuju permulaan abad ke-20 sewaktu berubahnya kedudukan kemasyarakatan penggunaan bahasa Ibrani yang sebelumnya merupakan bahasa keramat di tengah kalangan beragama Yahudi, menjadi bahasa lisan dan tulisan yang memperantarai kehidupan sehari-hari di Israel. Perubahan yang terjadi melalui serentetan peristiwa penentu perubahan bangsa tersebut berawal ketika berbagai perkumpulan berketurunan Yahudi di setiap penjuru dunia mulai menginjakkan kaki di tanah Palestina sejak paruh permulaan abad kesembilan belas, serta melakukan pertalian dan hidup berdampingan dengan perkumpulan-perkumpulan masyarakat Yahudi yang telah terlebih dahulu menempatinya. Pada ketika itu, golongan sepuh berketurunan Yahudi yang berkewarganegaraan Palestina (Kebanyakannya, lidah mereka lebih petah berbahasa Arab) bersama pendatang-pendatang berketurunan Yahudi di luar Israel—dengan bahasa-bahasa yang berbeda pula—bersepakat menjadikan bahasa Ibrani sebagai bahasa pergaulan—guna mengangkat nilai sejarah keyahudian yang diperjuangkan oleh setiap golongan masyarakat tersebut—yang menaungi masyarakat yang tergolong seketurunan.[1][2] Pada ketika itu pula, hal serupa juga berlaku bagi seantero benua Eropa, dimana kedudukan bahasa Ibrani telah dipandang oleh masyarakat di sana sebagai bahasa sarat keagamaan yang beralih kegunaan ke arah hal-hal yang sarat dengan nilai kesusastraan[3] dengan memegang peranan yang pokok dan amat diperlukan guna mengembangkan program pendidikan bersendikan rasa cinta terhadap nusa dan bangsa Yahudi.[4] Bahasa Ibrani—dengan ragam kebahasaan orang Israel—termasuk salah satu di antara tiga bahasa resmi sesuai kebijakan politik saat zaman pendudukan Inggris Raya di Palestina (Ketiga bahasa tersebut di antaranya bahasa Arab, bahasa Ibrani, dan bahasa Inggris), lalu setelah pembentukan negara Israel disahkan pada tahun 1948, negara tersebut mengakui dua bahasa yang memperoleh kedudukan resmi, yaitu bahasa Arab dan bahasa Ibrani. Pada bulan Juli 2018, pertimbangan yang telah diberlakukan oleh pemerintah Israel adalah meliputi kedudukan bahasa Ibrani yang dijadikan sebagai satu-satunya bahasa resmi di negara tersebut, serta menempatkan bahasa Arab pada kedudukan yang cukup istimewa..[5] Bukan serta-merta didasari oleh runtunan perubahan dalam perkembangan bahasa Ibrani saja, terlebih-lebih berkemungkinan pada adanya pemutakhiran sikap dan pola pikir masyarakat berbangsa Yahudi serta gerakan politiknya yang telah berhasil membangkitkan warisan leluhur sebangsanya, yaitu bahasa Ibrani. Sehingga, tonggak utama bagi adicita yang dijunjung oleh para penduduk tetap di sana dikenal dengan istilah Zionisme[6] beserta kebijakan-kebijakan pemerintah Israel yang bermaksud memperkukuh jati diri keyahudian penduduk tetap di Israel.

Riwayat perjalanan mengenai upaya pengembalian bahasa Ibrani menjadi alat pertuturan yang saling memperantarai penduduk negara tersebut cukup tergolong lain daripada yang lain; masih belum ada contoh sedikitpun yang menunjukkan suatu bahasa bukan buatan yang penutur jatinya hampir terbilang punah malah tak terduga-duga berlanjut dengan bertambahnya jumlah penutur jati bahasa tersebut hingga berjuta-juta di antara pemakai yang fasih berbahasa tersebut, bahkan belum ada bahasa mana pun yang sarat dengan nilai kesucian dalam beragama menjadi bahasa dalam suatu negeri (sebagai bahasa pertama mereka) yang berjumlah penutur sebanyak jutaan jiwa.

Alhasil, bahasa yang penggunaannya berhasil untuk kembali dihidupkan ini diriwayatkan bersamaan dengan kembali berkembangnya bahasa ini dari segi kebahasaan. Adapun terkait pernyataan tegas yang diungkapkan oleh pihak-pihak yang memprakarsai awal pengembalian bahasa Ibrani bahwa mereka ingin sekadar kembali merintis "jejak terakhir penggunaan bahasa Ibrani", hal yang paling disoroti dari kembali terciptanya bahasa ini adalah bahwa memang benar adanya dasar unsur-unsur kebahasaan yang dianggap pasti murni dan juga berandil besar bagi pengembalian bahasa ini; hal demikian dicontohkan secara nyata dengan masuknya ciri-ciri khas unsur kebahasaan yang mempunyai setiap peristiwa, kejadian dan hal-hal lain sebagainya, yang berasal dari sejarah peradaban pengguna-pengguna bahasa Ibrani itu sendiri, bahkan juga sekaligus berasal dari bahasa-bahasa yang bukan tergolong "Ibrani (Unsur-unsur kebahasaannya adalah yang dimaksudkan) yang memang lebih cenderung berasal dari Benua Eropa, Afrika Utara, peguyuban-peguyuban antar sesama orang Yahudi di Timur Tengah, dan pengguna bahasa Yiddi.

Referensi

  1. ^ Parfitt, Tudor (1972) 'The Use of Hebrew in Palestine 1800–1822.' Jurnal Kajian Semit, 17 (2). hlm. 237–252.
  2. ^ Tudor Parfitt; ”The Contribution of the Old Yusuf to the Revival of Hebrew“, Jurnal Kajian Semit, Vol. XXIX, Iss. 2, 1 Oktober 1984, hlm. 255–265, https://doi.org/10.1093/jss/XXIX.2.255
  3. ^ Parfitt, Tudor (1983) ”Ahad Ha-Am's Role in the Revival and Development of Hebrew.” In: Kornberg, J., (ed.), At the crossroads: essays on Ahad Ha-am. New York: State University of New York Press, hlm. 12–27.
  4. ^ Parfitt, Tudor (1995) ”Peretz Smolenskin, the Revival of Hebrew and Jewish Education.” In: Abramson, G. and Parfitt, T., (eds.), Jewish education and learning : published in honour of Dr. David Patterson on the occasion of his seventieth birthday. Chur, Switzerland: Harwood Academic Publishers, hlm. 1–11.
  5. ^ "Israeli Law Declares the Country the 'Nation-State of the Jewish People'" [Undang-Undang Negara Israel Mempermaklumkan Keberadaannya Sebagai ‘Negara Berbangsa Yahudi’]. Diakses tanggal 21-07-2018. 
  6. ^ Paul Johnson, A History of the Jews, hlm. 442. " Yet in all [of young David Ben-Gurion's] activity, three salient principles remained constant. First, Jews must make it their priority to return to the land; ‘the settlement of the land is the only true Zionism, all else being self-deception, empty verbiage and merely a pastime’. [Quoted in Encyclopaedia Judaica, iv 506.] Second, the structure of the new community must be designed to assist this process within a socialist framework. Third, the cultural binding of the Zionist society must be the Hebrew language.
Kembali kehalaman sebelumnya