Kebutaan moral
Gagasan kebutaan moral menjadi populer setelah peristiwa Perang Dunia II, khususnya Holokaus,[2] meskipun konsep kebutaan moral (dan lebih luas lagi seperti amoralitas) memiliki akar pada filsafat kuno.[3][4] Hal ini mengakibatkan lebih banyak penelitian oleh psikolog dan beberapa temuan mengejutkan (terutama oleh Stanley Milgram dan Philip Zimbardo) tentang tingkah laku manusia dalam konteks kepatuhan dan bias otoritas.[1] Kebutaan moral sering diidentifikasi sebagai problematika di berbagai bidang seperti organisasi bisnis dan sistem hukum.[5][6] RingkasanKebutaan moral adalah fenomena di mana orang dengan kemampuan penalaran moral yang memadai untuk sementara waktu tidak mampu melihat alasan yang menyebabkan mereka berperilaku dengan cara yang bertentangan dengan nilai-nilai moral mereka yang sebenarnya. Perilaku ini dapat dikarenakan oleh faktor situasional atau faktor lainnya. Gagasan kebutaan moral biasanya memerlukan hal seperti penyimpangan seseorang dari keyakinan moral intrinsik orang tersebut dan penyimpangan ini harus bersifat sementara dan tanpa disadari sehingga orang tersebut dalam keadaan tidak sadar pada saat melakukan perilaku tidak etis mereka.[1][7] Perhatian pada gagasan kebutaan moral meningkat setelah karya Hannah Arendt yang berjudul Eichmann in Jerusalem terbit. Sebuah Laporan mengenai Banalitas Kejahatan[2] yang dimulai pada Adolf Eichmann, seorang tentara Nazi Jerman-Austria yang bertanggung jawab atas deportasi orang-orang Yahudi ke kamp-kamp pemusnahan dan dengan demikian memainkan peran utama dalam Holokaus.[8] Ide mengenai kebutaan moral dan "banalitas kejahatan" juga mempengaruhi bidang psikologi dan mengakibatkan munculnya beberapa studi penting di tahun 70-an seperti studi kepatuhan oleh Stanley Milgram dan Eksperimen Penjara Stanford oleh Philip Zimbardo. Studi-studi ini melihat dampak otoritas pada kepatuhan dan perilaku individu.[1] Penelitian berikutnya meneliti kebutaan moral dalam konteks di luar kejahatan perang dan genosida. Gagasan ini kemudian diperluas untuk mempelajari perilaku orang di berbagai bidang seperti perilaku organisasi dan kesehatan mental untuk beberapa nama.[5][9][10] Asal usul dan teori awalAkar dalam filsafatAsal usul gagasan kebutaan moral terletak pada filsafat dan dapat dilacak kepada filsuf Yunani kuno seperti Socrates yang berbicara tentang intelektualisme moral, Plato yang berbicara tentang emosi yang dapat mengaburkan penilaian moral, dan Aristoteles yang pertama kali menggunakan istilah "etika" untuk bidang filsafat moral.[3] Pemimpin spiritual awal seperti Buddha dan Konfusius juga berbicara tentang perilaku moral dalam diskursus kedua tokoh tersebut meskipun mereka lebih preskriptif kepada sifat seseorang.[4] Kontribusi modern untuk penilaian moral datang dari filsuf Barat seperti Descartes, Locke, Hume, dan Kant sekitar abad 17 dan 18[11][12] dan filsuf yang lebih kontemporer seperti GE Moore, yang dalam bukunya Principia Ethica berbicara tentang "kebaikan yang tidak dapat ditentukan".[13] Etika normatif berupaya untuk menjabarkan mengenai benar atau salahnya suatu tindakan. Dua pemikiran yang berlawanan yang berkembang di bidang ini adalah deontologi yang mana moralitas suatu tindakan tergantung pada kesesuaiannya dengan aturan dan konsekuensialisme yang mana moralitas suatu tindakan tergantung pada akibat dari tindakan tersebut. Pandangan ini kerap tercermin dalam tanggapan terhadap masalah troli Greene.[14] Dalam psikologiKebutaan moral dipelajari bersama di bidang filsafat dan psikologi dengan studi empiris tentang moralitas sejak tahun 1890-an. Fokus pada pendekatan normatif untuk perilaku moral menyebabkan penelitian difokuskan pada konteks kognitif dan perkembangan. Piaget mengusulkan teorinya yang menonjol tentang perkembangan kognitif pada tahun 1936 yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menghasilkan tiga tahap perkembangan moral pada tahun 1958.[15] Kemudian pada tahun 1982, James Rest menerbitkan Empat Komponen Model dari Moralitas (EKM) yang berpengaruh di mana ia mengidentifikasi empat tahap berbeda dari perilaku mana yang tidak bermoral dapat muncul: sensitivitas moral, penilaian moral, motivasi moral, dan implementasi moral.[14] Model ini dimaksudkan untuk menyampaikan kompleksitas di balik perilaku moral. Kompetensi dalam satu tahap tidak menyiratkan kompetensi di tahap lain, sehingga perilaku tidak bermoral dapat dihasilkan dari kegagalan pada tahap mana pun.[16] Fokus kognitif di atas ditemukan berbeda dengan beberapa perilaku yang diamati. Bidang etika perilaku akhirnya muncul untuk mempelajari bagaimana orang bereaksi terhadap dilema moral.[14] Penelitian teoretis dan eksperimental dalam psikologiSebuah pendorong utama untuk penelitian modern tentang kebutaan moral konon dimunculkan sebagai sentimen pasca Perang Dunia II terhadap orang-orang seperti Adolf Eichmann (bertanggung jawab atas genosida di bawah rezim Nazi selama Holokaus). Penangkapannya dan persidangan berikutnya pada tahun 1961 membuat banyak pengamat mengomentari sifat dan penampilannya yang cenderung biasa saja sehingga tampak kontras dengan perilaku "jahatnya". Hannah Arendt, yang meliput persidangan untuk New Yorker, menciptakan istilah "banalitas kejahatan" menunjuk pada Eichmann karena selama persidangan, Eichmann tidak menunjukkan penyesalan atau perilaku bertanggung jawab. Dia mengaku telah melakukan apa yang diperintahkan melakukan. Hal ini diyakini telah mempengaruhi peneliti seperti Milgram untuk mempelajari perilaku individu dalam menanggapi ketaatan terhadap otoritas.[1][17][18] Dalam studi ketaatan Milgram pada tahun 1961-1962, dia membuat subjek berpikir bahwa mereka memberikan kejutan elektrik kepada peserta lain, yang sebenarnya adalah kaki tangan dari para peneliti. Studi ini telah dirancang untuk menjawab pertanyaan seperti: "Mungkinkah Eichmann beserta jutaan pembantunya dalam Holokaus bertindak hanya karena mengikuti perintah? Dapatkah kita menyebut mereka semua sebagai kaki tangan?" [19] Yang mengejutkan kebanyakan orang, 65% subjek dari penelitian awal melanjutkan untuk menarik sakelar yang akan memberikan tegangan maksimum 450 volt.[20] Kemudian pada tahun 1971, Zimbardo dalam penelitiannya di Percobaan penjara Stanford menunjukkan bagaimana "orang baik berperilaku dengan cara patologis yang asing dengan sifat mereka".[1] Mahasiswa sarjana pria di Stanford ditugaskan untuk menjadi penjaga atau tahanan di penjara simulasi. Eksperimen ini dirancang untuk melihat seberapa jauh subjek akan menginternalisasi peran mereka dan mematuhi perintah eksternal dan kemudian mengangkat beberapa masalah etika tentang sifat penelitian itu sendiri.[21] Selepas temuan ini, peneliti mulai mempelajari tentang agensi moral, kegunaannya dan faktor pendorong kebutaan moral. Dalam penelitiannya, Bandura berargumen bahwa pelepasan moral dapat muncul dari berbagai faktor (seperti individu, situasional, atau institusional) bersama dengan mekanisme seperti difusi tanggung jawab dan pembagian tugas yang terputus dapat menyebabkan perilaku tidak bermoral.[1][22][23] Riset yang lebih baru mengarah pada pengembangan konsep "etika terbatas" - sebuah gagasan bahwa orang dapat secara tak sengaja berperilaku tidak etis serta menilai perilaku orang lain; sesuatu yang mungkin mereka sadari hanya pada refleksi lebih lanjut.[24][25] Studi tentang ketidaketisan individu juga melihat pada peran norma-norma sosial dan juga bagaimana orang tersebut memandang perilaku tidak etis orang lain.[26][27] Penerapan dan gagasan terkaitKebutaan moral dipelajari dan diaplikasikan dalam berbagai ranah di luar kejahatan perang, politik, dan administrasi. Ranah utama dari gagasan ini telah diperluas di bidang manajemen dan perilaku organisasi dengan penelitian yang melihat berbagai topik seperti pelanggaran perusahaan, etika bisnis, dan pelepasan tanggung jawab moral di tempat kerja.[5][9] Hukum dan keadilan adalah bidang lain di mana kebutaan moral, terutama ketika menyangkut pengacara, dilihat sebagai perhatian.[6][28] Beberapa riset juga menyebut psikopati sebagai salah satu jenis kebutaan moral tertentu meskipun temuannya tidak konklusif.[10] Bidang ini juga telah diperluas untuk mempelajari banyak gagasan yang lebih luas seperti titik buta moral (melebih-lebihkan kemampuan untuk bertindak secara etis),[29] penggerusan etika (penurunan terhadap penilaian etika secara bertahap dari waktu ke waktu),[27] dan pemudaran etika (ketika masalah etika di sekitar suatu situasi "memudar" selama pengambilan keputusan).[30] Lihat jugaReferensi
|