Share to:

 

Keracunan organofosfat

Keracunan organofosfat adalah kondisi yang terjadi ketika pestisida/ insektisida organofosfat tertelan, terhirup atau terserap ke dalam kulit dalam jumlah banyak yang melebihi batas.[1] Organofosfat adalah golongan pestisida yang dipakai oleh petani untuk membasmi hama karena mempunyai daya basmi yang kuat dan cepat dan memiliki sifat yang mudah terurai di alam namun senyawa pestisida organofosfat pada manusia dapat menimbulkan keracunan baik akut maupun kronis. Pestisida golongan organofosfat bersifat menghambat aktivitas enzim kolinestrase di dalam tubuh.[2]

Organofosfat merupakan senyawa kimia ester asam fosfat yang terdiri atas 1 molekul fosfat yang dikelilingi oleh 2 gugus organik (R1 dan R2) serta gugus (X) atau yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin. Gugus X merupakan bagian yang paling mudah terhidrolisis. Gugus R dapat berupa gugus aromatik atau alifatik. Organofosfat merupakan agen antikolinesterase yang bekerja sebagai kolinesterase inhibitor dengan cara menginaktivasi enzim acetylcholinesterase (AchE). Kolinesterase merupakan enzim yang bertanggung jawab terhadap metabolisme asetilkolin (ACh) pada sinaps setelah Ach dilepaskan oleh neuron presinaptik. Adanya inhibisi kolinesterase akan menyebabkan ACh tertimbun di sinaps sehingga terjadi stimulasi yang terus menerus pada reseptor post sinaptik. Ach yang dibentuk pada seluruh sistem saraf akan menimbulkan manifestasi klinis yang jelas pada saraf otonom.[3] Inaktivasi asetilkolin (ACh) terjadi karena terbentuknya ikatan di dua daerah yang berbeda pada enzim kolinesterase. Daerah anionik dari enzim kolinesterase berikatan dengan atom nitrogen kuartener ACh dan daerah esterik berikatan dengan gugus karboksil ACh. Hal ini menghasilkan pembentukan kompleks asetilkolin- kolinesterase. Kompleks tersebut akan melepaskan kolin dan kolinesterase asetat. Apabila terjadi keracunan, radikal fosfat yang berasal dari senyawa organofosfat akan berikatan dengan daerah esterik kolinesterase sehingga akan menginaktivasi fosforilasi enzim. Dengan tidak terbentuknya asetilkolinesterase maka akan terjadi kelebihan asetilkolin bebas yang terus-menerus dan berkepanjangan di dalam sistem saraf otonom, neuromuskular, dan sistem saraf pusat yang akan menimbulkan berbagai macam gejala klinis.[4] Keracunan zat organofosfat dapat bersifat akut atau kronis. Gejala keracunan organofosfat bermacam-macam, tergantung dari jenis pestisida yang digunakan, lama paparan dan seberapa banyak zat tersebut masuk ke dalam tubuh. Beberapa efek toksik dapat terjadi, seperti mual, bronkokonstriksi, sialorrhoea, hipertensi, hipersekresi, miosis, diare, bradikardia, kejang, sianosis dan tremor yang mempengaruhi sistem saraf pusat.[5]

Upaya pencegahan penting dilakukan untuk mengurangi risiko keracunan organofosfat. Diantaranya dengan memberikan edukasi mengenai jenis- jenis pestisida kepada para petani sehingga mengetahui mana yang berbahaya dan tidak juga pengguanaan Alat Pelindung Diri (APD) dari pestisida, yaitu sepatu boot, sarung tangan, baju lengan Panjang, topi, pelindung mata, dan masker serta segera mandi setelahnya.[2][6] Apabila telah terjadi keracunan organofosfat maka pengobatan yang dapat diberikan adalah atropin, oksim seperti pralidoxime dan diazepam.[7]

Keracunan organofosfat (OP) merupakan masalah utama kesehatan global dengan satu juta kecelakaan serius dan dua juta kasus keracunan bunuh diri setiap tahunnya. Di antaranya, 200.000 orang meninggal, dengan sebagian besar kematian terjadi di negara- negara berkembang.[8] Dengan petani sebagai kelompok risiko terbesar. Pada tahun 2000 banyak dilakukan penelitian terhadap para pekerja atau penduduk yang memiliki riwayat kontak dengan pestisida. Dari penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi keracunan tingkat sedang sampai berat disebabkan karena pekerjaan, yaitu antara 8,5% sampai 50%.[9][10] Sekitar 15% orang yang mengalami keracunan organofosfat meninggal. Keracunan organofosfat ini telah dilaporkan sejak tahun 1962.[11]

Sejarah

Pada tahun 1854 organofosfat pertama kali dikenalkan namun toksisitasnya tidak diketahui hingga tahun 1931. Pestisida organofosfat ditemukan melalui sebuah riset di Jerman, selama Perang Dunia II, dalam usaha menemukan senjata kimia untuk tujuan perang. Organosfat yang pertama diluncurkan adalah Tetraethyl Pyrophosphate (TEPP). TEPP dikembangkan di Jerman sebagai pengganti nikotin selama perang dunia kedua. Kemudian pada tahun 1944 Schrader menemukan parathion yang menjadikan organosfat sebagai kelompok pestisida terbesar dan paling serbaguna. Karena residu yang tertinggal pada lingkungan sedikit dan resistensi pada serangga lebih rendah dibandingkan dengan insektisida lain menjadikan organosfat semakin populer selama setengah abad terakhir. Bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan juga racun pernafasan. Dengan takaran yang rendah sudah memberikan efek yang memuaskan, selain kerjanya cepat dan mudah terurai.13.[9][12]

Penelitian telah mengaitkan suatu kelainan neurologis yang ditemukan pada veteran Perang Teluk Persia yang menderita penyakit multisymptom kronis dengan paparan kombinasi agen saraf kimia organofosfat pada masa perang. Sebelumnya, diyakini bahwa para veteran menderita depresi berbasis psikologis yang kemungkinan besar adalah gangguan stres pascatrauma. Banyak veteran yang diberi pil pyridostigmine bromide (PB) untuk melindungi dari agen gas saraf seperti sarin dan soman. Selama perang para veteran dihadapkan pada kombinasi pestisida organofosfat dan agen saraf, yang menghasilkan gejala yang berhubungan dengan polineuropati tertunda akibat organofosfat kronis. Gejala serupa yang ditemukan pada para veteran adalah gejala yang sama yang dilaporkan pada individu di lingkungan kerja yang diracuni secara akut oleh organofosfat, seperti klorpirifos. Studi menemukan veteran mengalami defisit dalam kemampuan intelektual dan akademik, keterampilan motorik sederhana, gangguan memori, dan gangguan fungsi emosional. Gejala-gejala ini menunjukkan kerusakan otak, bukan gangguan psikologis.[13][14]

Rute Masuk Organofosfat dalam Tubuh

Organofosfat dapat masuk kedalam tubuh manusia melalui beberapa cara, diantaranya melalui per oral, inhalasi dan parenteral.[15]

Secara per oral organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh melalui alat pencernaan. Hal ini dapat terjadi karena kesengajaan dan secara tidak sengaja. Apabila dengan sengaja, penderita dapat mengalami keracunan organofosfat karena meminum bahan organofosfat dengan maksud bunuh diri. Sedangkan dengan tidak sengaja keracunan organofosfat dapat terjadi apabila zat organofosfat masuk ke dalam tubuh karena tercampur atau terkontaminasi dengan makanan atau minuman yang dikonsumsi, misalnya makanan tercemar organofosfat karena disimpan dalam tempat penyimpanan yang telah tercemar orrganofosfat atau pada minuman yang airnya telah tercemar akibat penyemprotan dengan organofosfat.[15]

Secara inhalasi organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui alat pernapasan. Hal tersebut dapat terjadi pada penderita yang melaksanakan pekerjaan penyemprotan pestisida organofosfat.[15]

Secara parenteral organofosfat dapat masuk ke dalam tubuh akibat kontak dengan kulit atau selaput lendir mata, kebanyakan terjadi pada penderita yang melaksanakan penyemprotan atau pengangkutan bahan organofosfat.[15]

Tanda dan Gejala

Gejala dan tanda keracunan khususnya pestisida organofosfat umumnya tidak spesifik bahkan cenderung menyerupai gejala penyakit biasa. Seringkali para petani merasakan gejala seperti mual, pusing, sakit kepala, dan gatal-gatal, sehingga para petani mengabaikan gejala tersebut tanpa memeriksakannya ke dokter.[16] Gejala keracunan organofosfat bermacam-macam, tergantung dari jenis pestisida yang digunakan, lama paparan dan seberapa banyak zat tersebut masuk ke dalam tubuh. Beberapa efek toksik dapat terjadi, seperti mual, bronkokonstriksi, sialorrhoea, hipertensi, dan tremor yang mempengaruhi sistem saraf pusat.[5]

Keracunan zat organofosfat dapat bersifat akut atau kronis. Gejala-gejala toksisitas akut di antaranya adalah hipersekresi, bronkokonstriksi, miosis, diare, bradikardia, depresi sistem saraf pusat (SSP), kejang, sianosis, sakit kepala, salivasi, lakrimasi, mual, muntah, depresi napas, bronkospasme, hilang kesadaran, konvulsi, maupun gangguan otot serta keadaan yang lebih berat adalah koma. Gejala-gejala ini akan muncul dalam 24 jam setelah aplikasi pestisida.[17][18] Gejala toksisitas akut akan reversibel jika diobati dengan benar, namun efeknya akan fatal jika perawatannya tidak sesuai. Tingkat keparahan organofosfat tergantung pada jenis pestisida, dosis, lama aplikasi dan frekuensi aplikasi. Intensitas keracunan organofosfat dipengaruhi oleh area aplikasi pestisida, iklim, keterampilan aplikasi dan alat pelindung diri.[19]

Overstimulasi reseptor asetilkolin nikotinat di sistem saraf pusat mengakibatkan akumulasi ACh sehinggga menyebabkan kecemasan, sakit kepala, kejang, ataksia, depresi pernapasan dan sirkulasi, tremor, kelemahan umum, dan berpotensi koma. Ketika terjadi ekspresi overtimulasi muskarinik akibat kelebihan asetilkolin pada reseptor asetilkolin muskarinik, gejala gangguan penglihatan, sesak di dada, mengik karena bronkokonstriksi, peningkatan sekresi bronkial, peningkatan air liur, lakrimasi, berkeringat, peristaltik, dan buang air kecil dapat terjadi.[20]

Waktu timbul dan beratnya gejala, baik akut atau kronis, tergantung pada bahan kimia yang terkandung, rute pemaparan (kulit, paru-paru, atau saluran pencernaan), dosis dan kemampuan individu untuk menurunkan senyawa, yang mana tingkat enzim PON1 akan mempengaruhi.

Efek Reproduksi

Efek reproduksi seperti kesuburan, pertumbuhan serta perkembangan pria dan wanita telah dikaitkan secara khusus dengan paparan pestisida organofosfat. Sebagian besar penelitian tentang efek reproduksi dari paparan organofosfat telah dilakukan pada petani yang menggunakan pestisida dan insektisida di daerah pedesaan. Untuk laki-laki yang terpapar pestisida organofosfat berdampak pada kualitas air mani dan sperma yang buruk, termasuk penurunan volume air mani dan persentase motilitas serta penurunan jumlah sperma setiap ejakulasi. Pada wanita berdampak pada gangguan siklus menstruasi, kehamilan yang lebih lama, aborsi spontan, bayi lahir mati dan beberapa efek perkembangan pada keturunan telah dikaitkan dengan paparan pestisida organofosfat. Paparan prenatal telah dikaitkan dengan gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin.[21] Paparan organofosfat pada ibu hamil memberikan beberapa efek pada kesehatan janin. Beberapa dari efek ini termasuk perkembangan mental yang tertunda, gangguan perkembangan pervasif dan kelainan morfologi di permukaan otak.[22]

Efek Neurotoksik

Efek neurotoksik juga telah dikaitkan dengan keracunan dengan pestisida organofosfat yang menyebabkan empat efek neurotoksik pada manusia yaitu sindrom kolinergik, sindrom menengah, organophosphate induced delayed polyneuropathy (OPIDP) atau polineuropati tertunda akibat organofosfat dan gangguan neuropsikiatri akibat organofosfat kronis atau chronic organophosphate-induced neuropsychiatric disorder (COPIND). Sindrom ini terjadi setelah paparan akut dan kronis dari pestisida organofosfat.

Sindrom kolinergik terjadi pada keracunan akut dengan pestisida organofosfat dan berhubungan langsung dengan tingkat aktivitas AChE. Gejala termasuk miosis, berkeringat, lakrimasi, gejala gastrointestinal, kesulitan bernapas , sesak napas , detak jantung melambat , sianosis, muntah, diare, susah tidur, serta gejala lainnya. Seiring dengan efek sentral ini akhirnya dapat terjadi kejang- kejang, koma dan gagal napas. Jika orang tersebut selamat dari hari pertama keracunan, perubahan kepribadian dapat terjadi, seperti perilaku menjadi agresif, episode psikotik, gangguan ingatan dan perhatian dan efek tertunda lainnya yang tidak terjadi di hari pertama. Efek kematian dapat terjadi dan hal ini paling sering disebabkan oleh kegagalan pernafasan karena kelumpuhan otot pernafasan dan depresi sistem saraf pusat, yang bertanggung jawab untuk mengatur proses pernafasan. Untuk orang yang menderita sindrom kolinergik, pemberian atropin sulfat yang dikombinasikan dengan oksim dapat digunakan untuk memerangi efek keracunan organofosfat akut. Diazepam terkadang juga terkadang diberikan.[23]

Sindrom antara (IMS) muncul dalam interval antara akhir krisis kolinergik dan awal polineuropati tertunda akibat organofosfat atau organophosphate induced delayed polyneuropathy (OPIDP). Gejala yang terkait dengan IMS bermanifestasi antara 24–96 jam setelah terpapar pestisida organofosfat. Etiologi pasti, insiden, dan faktor risiko yang terkait dengan IMS tidak diketahui secara pasti, tetapi IMS dikenali sebagai gangguan sambungan neuromuskuler . IMS terjadi ketika seseorang mengalami penghambatan AChE yang berkepanjangan dan parah. Hal ini telah dikaitkan dengan paparan pestisida organofosfat tertentu seperti parathion, methylparathion, dan dichlorvos. Gejala umum yang sering dirasakan seperti peningkatan kelemahan pada otot wajah, fleksor leher, dan pernapasan.

Polineuropati tertunda akibat organofosfat atau organophosphate induced delayed polyneuropathy(OPIDP) terjadi pada sebagian kecil kasus efek paparan pestisida organofosfat, terjadi pada kisaran dua minggu setelah terpapar, di mana terjadi kelumpuhan sementara. Hilangnya fungsi dan ataksia saraf perifer dan sumsum tulang belakang ini adalah salah satu fenomena OPIDP. Gejala dimulai dengan rasa nyeri yang menusuk di kedua kaki, gejala terus memburuk selama 3-6 bulan. Dalam kasus yang paling parah, quadriplegia telah diamati. Perawatan hanya mempengaruhi saraf sensorik, bukan neuron motorik sehingga dapat kehilangan fungsinya secara permanen. Penuaan dan fosforilasi lebih dari 70% NTE fungsional di saraf perifer adalah salah satu proses yang terjadi dalam OPIDP. Perawatan standar untuk keracunan OP tidak efektif untuk OPIDP.

Gangguan neuropsikiatri akibat organofosfat kronis atau chronic organophosphate-induced neuropsychiatric disorder (COPIND) terjadi tanpa gejala kolinergik dan tidak tergantung pada penghambatan AChE. COPIND muncul dengan penundaan dan tahan lama. Gejala yang terkait dengan COPIND diantaranya defisit kognitif, perubahan suasana hati, disfungsi otonom, neuropati perifer, dan gejala ekstrapiramidal. Mekanisme yang mendasari COPIND belum ditentukan secara pasti, tetapi dihipotesiskan bahwa penghentian pestisida organofosfat setelah paparan kronis atau paparan akut dapat menjadi faktor penyebabnya.

Efek Kehamilan

Bukti efek/dampak paparan pestisida organofosfat pada masa kehamilan dan awal periode pascakelahiran telah dikaitkan dengan efek perkembangan saraf pada hewan, khususnya tikus. Hewan yang terpapar klorpirifos dalam rahimnya menunjukkan penurunan keseimbangan, penghindaran tebing yang lebih buruk, penurunan pergerakan, penundaan kinerja labirin, dan peningkatan kelainan gaya berjalan. Kehamilan dini diyakini sebagai periode waktu kritis untuk efek perkembangan saraf dari pestisida. Organofosfat mempengaruhi sistem kolinergik janin, jadi paparan klorpirifos selama periode kritis perkembangan otak berpotensi menyebabkan kelainan seluler, sinaptik, dan neurobehavioral pada hewan.[24] Pada tikus yang terpapar methylparathion, penelitian menemukan berkurangnya aktivitas AChE di semua wilayah otak dan perubahan halus dalam perilaku seperti aktivitas lokomotor dan gangguan munculnya kandang. Organofosfat secara keseluruhan telah dikaitkan dengan penurunan panjang tungkai, lingkar kepala, dan tingkat kenaikan berat badan pascakelahiran yang lebih lambat pada tikus.[25]

Kanker

International Agency for Research on Cancer (IARC), menemukan bahwa organofosfat mungkin dapat meningkatkan risiko kanker. Tetrachlorvinphos dan parathion serta malathion dan diazinon diklasifikasikan ebagai zat yang memiliki kemungkinan besar bersifat karsinogenik.[26]

Penyebab

Keracunan organofosfat dapat disebabkan karena paparan organofosfat melalui kulit (kontak), mulut (menelan), dan paru-paru (inhalasi).[27] Kontaminasi lewat kulit merupakan kontaminasi yang paling sering terjadi, meskipun tidak seluruhnya berakhir dengan keracunan akut. Lebih dari 90% kasus keracunan di seluruh dunia, disebabkan oleh kontaminasi lewat kulit. Faktor risiko kontaminasi lewat kulit dipengaruhi oleh daya toksisitas dermal, konsentrasi, formulasi, bagian kulit yang terpapar dan luasannya, serta kondisi fisik individu yang terpapar. Risiko keracunan semakin besar jika konsentrasi pestisida yang menempel pada kulit semakin pekat, formulasi pestisida dalam bentuk yang mudah diserap. Pekerjaan- pekerjaan yang menimbulkan risiko kontaminasi lewat kulit umumnya adalah penyemprotan, pencampuran pestisida serta mencuci alat-alat yang kontak dengan pestisida.[28][29]

Keracunan pestisida karena partikel pestisida terhisap lewat saluran pernafasan, merupakan yang terbanyak kedua sesudah kontaminasi kulit. Bahaya menghirup pestisida lewat saluran pernapasan dipengaruhi oleh LD50 pestisida yang terhirup dan ukuran partikel dan bentuk fisik pestisida. Partikel atau droplet yang berukuran kurang dari 10 mikron, dapat mencapai paru-paru, namun droplet yang berukuran lebih dari 50 mikron mungkin tidak mencapai paru-paru, tetapi dapat menimbulkan gangguan pada selaput lendir hidung dan kerongkongan.[29]

Peristiwa keracunan lewat mulut sebenarnya tidak sering terjadi dibandingkan kontaminasi kulit atau keracunan karena terhirup. Contoh keracunan melalui oral intake, misalnya kasus bunuh diri, makan dan minum serta merokok ketika bekerja dengan pestisida, drift atau butiran pestisida yang terbawa angin masuk ke mulut, meniup nozzle yang tersumbat dengan mulut, makanan dan minuman terkontaminasi pestisida.[29]

Organofosfat sangat mudah terdegradasi dengan cepat saat terkena udara dan cahaya, sehingga organofosfat dianggap relatif aman digunakan. Namun, residu organofosfat mungkin saja tertinggal pada buah dan sayuran sehingga tertelan oleh manusia dan menyebabkan keracunan. Selain itu dapat terjadi akibat terhirup, tertelan atau kontak dengan kulit selama pembuatan, pencampuran, atau pengaplikasikan pestisida organofosfat.[27]

Patofisiologi

Organofosfat dalam tubuh menyebabkan kelainan biokimia dan menyebabkan inhibisi cholinesterase di dalam susunan saraf yang memiliki fungsi untuk menghentikan aksi asetilkolin dengan jalan hidrolisa. Asetilkolin berfungsi sebagai penghantar impuls atau transmisi, sehingga dengan adanya inhibisi kolinesterase mengakibatkan penumpukan dan kelebihan asetilkolin (ACh) pada saraf. Akumulasi ACh pada saraf motorik menyebabkan stimulasi berlebihan pada nikotinik di sambungan neuromuskuler. Ketika ada akumulasi ACh di sinapsis ganglia otonom, hal ini dapat menyebabkan stimulasi berlebihan pada muskarinik di sistem saraf parasimpatis, oleh karena itu akan terjadi rangsangan terus-menerus dan hal ini akan menimbulkan gejala muskarinik yaitu kelainan pada gastrointestinal, saluran pernapasan, kelenjar peluh dan kelenjar air mata. Selain itu menimbulkan gejala nikotinik seperti twitching fasciculasi otot dan juga kelainan sentral.[15]

Organofosfat secara ireversibel dan non-kompetitif menghambat asetilkolinesterase, menyebabkan keracunan dengan memfosforilasi residu hidroksil serin pada AChE. AChE sangat penting untuk fungsi saraf, sehingga penghambatan enzim ini dapat menyebabkan akumulasi asetilkolin dan stimulasi berlebih pada otot. Hal ini menyebabkan gangguan di sinapsis kolinergik dan dapat diaktifkan kembali dengan sangat lambat.

Inaktivasi asetilkolin (ACh) terjadi karena terbentuknya ikatan di dua daerah yang berbeda pada enzim kolinesterase. Daerah anionik dari enzim kolinesterase berikatan dengan atom nitrogen kuartener ACh dan daerah esterik berikatan dengan gugus karboksil ACh. Hal ini menghasilkan pembentukan kompleks asetilkolin- kolinesterase. Kompleks tersebut akan melepaskan kolin dan kolinesterase asetat. Apabila terjadi keracunan, radikal fosfat yang berasal dari senyawa OP akan berikatan dengan daerah esterik kolinesterase sehingga akan menginaktivasi fosforilasi enzim. Dengan tidak terbentuknya asetilkolinesterase maka akan terjadi kelebihan asetilkolin bebas yang terus-menerus dan berkepanjangan di dalam sistem saraf otonom, neuromuskular, dan sistem saraf pusat yang akan menimbulkan berbagai macam gejala klinis.[4]

Asetilkolin menstimulasi reseptor muskarinik dan nikotinik yang mengakibatkan sindrom kolinergik termasuk sekresi paru yang berlebihan, kelemahan otot, dan depresi sistem saraf pusat. Pemulihan enzim AChE terjadi secara perlahan dengan refosforilasi spontan enzim dan sintesis enzim baru. Proses pemulihan tersebut memiliki laju kecepatan 1% per hari. Pemulihan cepat dapat dilakukan dengan bantuan agen farmakologi seperti oximes.[4]

Paraoxonase (PON1) adalah enzim yang terlibat dalam toksisitas organifosfat dan telah terbukti sangat penting dalam menentukan sensitivitas organisme terhadap paparan organofosfat. PON1 dapat menonaktifkan beberapa organofosfat melalui hidrolisis beberapa metabolit aktif organofosfat seperti klorpirifos okson, dan diazoxon, serta agen saraf seperti soman, sarin, dan VX. Tingkat aktivitas hidrolitik plasma PON1 yang lebih tinggi memberikan tingkat perlindungan yang lebih tinggi terhadap pestisida organofosfat.

Percobaan pada hewan menunjukkan bahwa sementara PON1 memainkan peran penting dalam mengatur toksisitas organofosfat, dengan tingkat perlindungan bergantung pada senyawanya (yaitu Chlorpyrifos oxon atau diazoxon). Efisiensi katalitik yang dengannya PON1 dapat mendegradasi organofosfat beracun menentukan tingkat perlindungan yang dapat diberikan PON1 untuk organisme. Semakin tinggi konsentrasi PON1 semakin baik perlindungan yang diberikan. Aktivitas PON1 jauh lebih rendah pada neonatus, sehingga neonatus lebih sensitif terhadap paparan organofosfat.

Diagnosis

Diagnosis keracunan organofosfat didasarkan pada riwayat paparan, tanda dan gejala paparan serta pengukuran laboratorium. Diagnosis juga membutuhkan indeks kecurigaan yang tinggi. Bahkan setelah paparan akut, keracunan pestisida dapat salah didiagnosis sebagai penyakit virus (misalnya diare infeksius daripada keracunan organofosfat) yang mengakibatkan pengobatan yang tidak memadai dan berpotensi menyebabkan kekambuhan pada anak-anak. Pestisida atau metabolitnya dapat diukur dengan sampel darah, urin, air susu ibu, cairan ketuban atau mekonium. Ini dapat mengkonfirmasi diagnosis. Uji laboratorium tersedia untuk menilai paparan organofosfat, organoklorin, fungisida dikarboksida, karbamat, herbisida dipyridyl (misalnya paraquat) dan piretroid.[42]Tingkat kolinesterase rendah dalam sel darah merah.

Diagnosis keracunan OP dibuat atas dasar klinis yang berasal dari anamnesis pajanan terhadap OP dan gambaran klinis kelebihan kolinergik. Pemeriksaan baku emas keracunan OP didasarkan pada pengukuran aktivitas kolinesterase. Walaupun kadar eritrosit dan plasma (pseudo) kolinesterase keduanya dapat digunakan, tes eritrosit kolinesterase lebih akurat dari dua pengukuran karena mencerminkan bahwa AChE yang ditemukan lebih baik dalam sinapsis saraf. Di sisi lain, plasma kolinesterase lebih mudah untuk diuji dan mudah tersedia.[8]

Pencegahan

Pencegahan Primer

Kegiatan pencegahan keracunan primer diintervensi sebelum keracunan itu terjadi, sehingga tujuan pencegahan ini untuk mencegah terjadinya keracunan dengan cara mengendalikan jalur penularan dan racun pestisida terhadap petani. Strategi pencegahan primer dapat dilakukan secara aktif atau pasif.[30]

Strategi aktif berusaha mengubah sikap, gaya hidup dan perilaku individu dan kelompok, misalnya dengan mengedukasi masyarakat dan individu tentang kesadaran dan praktik keamanan racun, atau sosialisasi tentang inisiatif seperti pengemasan, pelabelan, dan penyimpanan produk kimia (pestisida) yang lebih aman.[31]

Strategi pasif yaitu melindungi orang, dengan meningkatkan keamanan produk dan lingkungan yang menggunakan pestisida. Contoh terbaik diberikan oleh kemasan farmasi yang aman terhadap anak, yang telah mengurangi keracunan pada anak-anak.[27] Penambahan agen penetral ke pestisida, seperti etilena glikol, adalah strategi pasif lain untuk mencegah keracunan.[32]

Pencegahan Sekunder

Pencegahan keracunan sekunder adalah tindakan yang diambil setelah paparan telah terjadi, untuk mencegah komplikasi keracunan, irreversibel atau kronis dan mengembalikan korban ke kondisi kesehatan sebelumnya. Ini termasuk langkah-langkah awal untuk meminimalkan efek dari agen beracun, diagnosis, dekontaminasi dan perawatan pertolongan pertama. Hal ini dapat termasuk mengedukasi masyarakat dan profesional tentang bagaimana mengenali dan mengelola keracunan. Tindakan yang dilakukan setelah paparan pestisida misalnya, mencuci kulit dan mata segera setelah kontaminasi oleh pestisida.[30][33]

Pencegahan Tersier

Pencegahan keracunan tersier berhubungan dengan diagnosis dan pengobatan korban keracunan yang tidak dapat ditangani sampai pemulihan penuh, untuk mencegah kematian atau cacat permanen. Hal ini juga berkaitan dengan korban dan keluarga tentang bagaimana memanfaatkan potensi yang tersisa untuk hidup sehat, termasuk menghindari kesulitan yang tidak perlu, pembatasan dan komplikasi, yaitu, rehabilitasi dan fisioterapi dalam kasus polineuropati akibat beracun.[30]

Pencegahan lain

Langkah pencegahan lain agar terhindar keracunan kronis akibat pestisida yaitu pertama mengaplikasikan sistem tanam alternatif yang kurang bergantung pada pestisida, untuk mencapai tujuan yang diinginkan dari paparan minimum terhadap pestisida, penting untuk beralih ke sistem tanam alternatif yang kurang bergantung pada pestisida. Ini dapat diwujudkan dengan lebih memfokuskan pada pendekatan ekologi perlindungan tanaman berdasarkan pengetahuan ekologi yang tersedia. Pencegahan dapat dioptimalkan dengan memaksimalkan penggunaan proses alami dalam sistem tanam, menekan organisme berbahaya dengan pengembangan antagonis hama, mengoptimalkan keragaman sistem, dan menstimulasi daur ulang sumber daya internal.

Langkah pencegahan kedua, penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Berbagai jenis APD dapat digunakan dalam penanganan pestisida untuk membatasi paparan kulit. Sarung tangan, sepatu bot, topi, kaos lengan panjang, dan baju tahan kimia adalah salah satu jenis APD yang paling umum. Toksisitas pestisida yang digunakan, keadaan keterpaparan, dan preferensi pribadi pekerja pada akhirnya mempengaruhi jenis APD yang digunakan di kalangan petani. Penggunaan sarung tangan dan sepatu bot adalah APD minimum untuk sebagian besar produk pestisida.

Pengobatan

Manajemen akut selama krisis kolinergik akut adalah terapi medis dengan obat-obatan termasuk atropin, pralidoksim (PAM), dan benzodiazepin.[34] Tindakan awal yang dilakukan adalah menjauhkan pasien dari sumber kontaminasi, terutama dari tempat paparan inhalasi. Pakaian yang terkontaminasi harus dilepas dan kulit harus dicuci dengan air dan sabun alkali.[4]

Dalam hal keracunan oral yang masuk ke lambung harus diberikan kalium permanganat 1-3% atau natrium bikarbonat 0,5%. Bilas lambung dapat membantu bahkan berjam-jam setelah konsumsi. Dekontaminasi gastrointestinal harus mencakup penggunaan charcoal. Terapi awal penggunaan atropin sebagai penangkal untuk melawan efek muskarinik ACh, terutama dalam efeknya mengatasi sekresi bronkial. Atropin tidak memiliki efek pada neuromuscular junction. Atropin dapat melintasi sawar darah otak dan melawan efek kelebihan ACh pada sistem ekstrapiramidal. Jadi, atropinisasi adalah mode pengobatan yang paling penting selama krisis kolinergik akut. Jadwal pemberian atropin dapat diberikan sebanyak 30. Jika atropinisasi telah dicapai, harus dipertahankan selama 3-5 hari, tergantung pada senyawa yang terlibat. Titik akhir atropinisasi adalah sekresi paru. Takikardia dan midriasis tidak boleh digunakan untuk membatasi atau menghentikan dosis atropin berikutnya. Rekomendasi dosis inisial atropin adalah 2–5 mg IV pada orang dewasa atau 0,05 mg/kgBB pada anak-anak. Dosis tersebut harus diberikan selama 3-5 menit sampai sekret paru hilang. Alternatif untuk dosis berulang atropin adalah infus kontinu (0,02-0,08 mg/kgBB/jam) setelah bolus awal diberikan.[34]

Glikopirolat dapat menjadi alternatif pengganti atropin jika pasien mengalami delirium atau agitasi. Glikopirolat tidak menembus sawar darah otak sehingga tidak akan menyebabkan toksik, tetapi tidak dapat membersihkan sekret paru seefektif atropin. Reaktor kolinesterase (Oximes) secara teori efektif sebagai penangkal keracunan OP pada fase intermediate syndrome. Oximes bekerja dengan menghilangkan kelompok fosforil dari enzim AChE yang dihambat sehingga menghasilkan pengaktifan enzim kembali. Jika diberikan sebelum degenerasi (penghambatan permanen enzim kolinesterase), oximes umumnya efektif utuk perawatan dalam membalikkan tanda-tanda nikotinik. Pralidoxime (PAM) adalah jenis oxime yang paling banyak digunakan di dunia. Namun, meta-analisis beragam uji coba tidak meyakinkan dalam pembuktian kemanjuran PAM.[34] Sayangnya, dalam uji coba yang dianalisis tersebut, PAM digunakan dalam dosis yang lebih rendah dari yang direkomendasikan oleh WHO. Sebuah percobaan di India baru- baru ini dilaporkan menunjukkan efek menguntungkan dengan PAM dosis tinggi pada pasien dengan keracunan OP cukup parah, terutama ketika diberikan dalam 2,5 jam pajanan. Dosis awal adalah 2 g PAM (seperti garam iodida) diikuti oleh 1 g setiap jam melalui infus selama 48 jam, lalu 1 g setiap 4 jam sampai pemulihan.

Epidemiologi

Keracunan organofosfat (OP) merupakan masalah utama kesehatan global dengan satu juta kecelakaan serius dan dua juta kasus keracunan bunuh diri setiap tahunnya. Di antaranya, 200.000 orang meninggal, dengan sebagian besar kematian terjadi di negara- negara berkembang.[8][9] Pestisida organofosfat adalah salah satu penyebab utama keracunan di seluruh dunia, dengan kejadian keracunan tahunan di antara pekerja pertanian bervariasi dari 3-10% per negara.

Di Singapura pada 6 september sampai 1 oktober 1960 pernah terjadi peristiwa keracunan organofosfat pada sebanyak 47 orang dengan 9 orang meninggal dunia. Kejadian keracunan tersebut disebabkan karena terdapat paration yang mengontaminasi barley yang pada saat itu digunakan sebagai minuman.[15]

Referensi

  1. ^ Bakria, Saekhol. dkk (2018). "PEMBERDAYAAN KELOMPOK MASYARAKAT TANI KENTANG MENGENAI UPAYA PENANGGULANGAN KERACUNAN PERTISIDA ORGANOFOSFAT DI DESA KEPAKISAN BANJARNEGARA". Seminar Nasional Kolaborasi Pengabdian pada Masyarakat. 1 (1): 505– 509. doi:- Periksa nilai |doi= (bantuan).  line feed character di |title= pada posisi 47 (bantuan)
  2. ^ a b Rahmawati, dkk (2014). "TINGKAT KERACUNAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT PADA PETANI PENYEMPROT SAYUR DI DESA LIBERIA TIMUR KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW TIMUR TAHUN 2013". JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN. 3 (2): 376–380. doi:https://doi.org/10.47718/jkl.v3i2.566 Periksa nilai |doi= (bantuan). 
  3. ^ Klein. Disaster preparednes: emergency response to organophosphorus poisoning [Thesis]. New York (USA): Postgraduate Institute for Medicine and Quadrant Medical Education; 2008
  4. ^ a b c d Sinha, Parmod K.; Sharma, Ashok (2003-05-01). "Organophosphate poisoning : A review". Medical Journal of Indonesia: 120. doi:10.13181/mji.v12i2.100. ISSN 2252-8083. 
  5. ^ a b Damalas, Christos A.; Eleftherohorinos, Ilias G. (2011-05-06). "Pesticide Exposure, Safety Issues, and Risk Assessment Indicators". International Journal of Environmental Research and Public Health. 8 (5): 1402–1419. doi:10.3390/ijerph8051402. ISSN 1660-4601. 
  6. ^ Quandt, Sara A.; Hernández-Valero, María A.; Grzywacz, Joseph G.; Hovey, Joseph D.; Gonzales, Melissa; Arcury, Thomas A. (2006-06). "Workplace, household, and personal predictors of pesticide exposure for farmworkers". Environmental Health Perspectives. 114 (6): 943–952. doi:10.1289/ehp.8529. ISSN 0091-6765. PMC 1480506alt=Dapat diakses gratis. PMID 16759999. 
  7. ^ King, Andrew M.; Aaron, Cynthia K. (2015-02). "Organophosphate and carbamate poisoning". Emergency Medicine Clinics of North America. 33 (1): 133–151. doi:10.1016/j.emc.2014.09.010. ISSN 1558-0539. PMID 25455666. 
  8. ^ a b c Mitwirkender, Rusyniak, Daniel E. Mitwirkender Nañagas, Kristine A. Organophosphate Poisoning. OCLC 1189515671. 
  9. ^ a b c Hidayati, Diah Balqis Ikfi (2019). "Intoksikasi Organofosfat dengan Krisis Kolinergik Akut, Gejala Peralihan dan Polineuropati Tertunda". J Agromedicine. 6 (2): 337– 342.  line feed character di |title= pada posisi 77 (bantuan)
  10. ^ Prijanto TB, Nurjazuli, Sulistiyani. Analisis faktor risiko keracunan organofosfat pada keluarga petani holtikultura di Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. J Kesehat Lingk Indones. 2009; 8(2):73-8.
  11. ^ Neurological practice : an Indian perspective. Noshir H. Wadia. New Delhi, India: Elsevier. 2005. ISBN 81-8147-549-6. OCLC 294941498. 
  12. ^ Sartono (2001). Racun dan keracunan. Jakarta: Widya Medika. 
  13. ^ Hom, J.; Haley, R. W.; Kurt, T. L. (1997). "Neuropsychological correlates of Gulf War syndrome". Archives of Clinical Neuropsychology: The Official Journal of the National Academy of Neuropsychologists. 12 (6): 531–544. ISSN 0887-6177. PMID 14590665. 
  14. ^ Haley, R. W.; Kurt, T. L. (1997-01-15). "Self-reported exposure to neurotoxic chemical combinations in the Gulf War. A cross-sectional epidemiologic study". JAMA. 277 (3): 231–237. ISSN 0098-7484. PMID 9005273. 
  15. ^ a b c d e f Asdie, Soegijanto Soemomarto dan A. H. (1978). Keracunan organofosfat dan insektisida. [Yogyakarta] : Universitas Gadjah Mada. OCLC 756395127. 
  16. ^ Short, Kate. (1994). Racun Cepat Racun Lambat. PAN Indonesia.
  17. ^ Sharma BR, Bano S. Human acetyl cholinesterase inhibition by pesticide exposure. Journal of Chinese Clinical Medicine. 2009; 4(1): 55-60.
  18. ^ Roberts, Darren M; Aaron, Cynthia K (2007-03-22). "Management of acute organophosphorus pesticide poisoning". BMJ. 334 (7594): 629–634. doi:10.1136/bmj.39134.566979.be. ISSN 0959-8138. 
  19. ^ Eddleston M, Buckley NA, Eyer P, Dawson AH. Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. The Lancet; 2008; 371(9612), 597–607.
  20. ^ Leibson, Tom; Lifshitz, Matitiahu (2008-11). "Organophosphate and carbamate poisoning: review of the current literature and summary of clinical and laboratory experience in southern Israel". The Israel Medical Association journal: IMAJ. 10 (11): 767–770. ISSN 1565-1088. PMID 19070283. 
  21. ^ Peiris-John, Roshini J.; Wickremasinghe, Rajitha (2008-03). "Impact of low-level exposure to organophosphates on human reproduction and survival". Transactions of the Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene. 102 (3): 239–245. doi:10.1016/j.trstmh.2007.11.012. ISSN 0035-9203. PMID 18242652. 
  22. ^ Rauh, Virginia; Arunajadai, Srikesh; Horton, Megan; Perera, Frederica; Hoepner, Lori; Barr, Dana B.; Whyatt, Robin (2011-08). "Seven-year neurodevelopmental scores and prenatal exposure to chlorpyrifos, a common agricultural pesticide". Environmental Health Perspectives. 119 (8): 1196–1201. doi:10.1289/ehp.1003160. ISSN 1552-9924. PMC 3237355alt=Dapat diakses gratis. PMID 21507777. 
  23. ^ Jokanović, Milan; Kosanović, Melita (2010-05). "Neurotoxic effects in patients poisoned with organophosphorus pesticides". Environmental Toxicology and Pharmacology. 29 (3): 195–201. doi:10.1016/j.etap.2010.01.006. ISSN 1872-7077. PMID 21787602. 
  24. ^ Eskenazi, Brenda; Harley, Kim; Bradman, Asa; Weltzien, Erin; Jewell, Nicholas P.; Barr, Dana B.; Furlong, Clement E.; Holland, Nina T. (2004-07). "Association of in utero organophosphate pesticide exposure and fetal growth and length of gestation in an agricultural population". Environmental Health Perspectives. 112 (10): 1116–1124. doi:10.1289/ehp.6789. ISSN 0091-6765. PMC 1247387alt=Dapat diakses gratis. PMID 15238287. 
  25. ^ Eskenazi, B.; Bradman, A.; Castorina, R. (1999-06-XX). "Exposures of children to organophosphate pesticides and their potential adverse health effects". Environmental Health Perspectives. 107 Suppl 3: 409–419. doi:10.1289/ehp.99107s3409. ISSN 0091-6765. PMC 1566222alt=Dapat diakses gratis. PMID 10346990. 
  26. ^ IARC Monographs Volume 112: evaluation of five organophosphate insecticides and herbicides" (PDF). World Health Organization. Archived(PDF) from the original on 2017-04-17.
  27. ^ a b c Mutia, Vonisya. dkk (2019). "KERACUNAN PESTISIDA KRONIK PADA PETANI". JIMKI. 7 (02): 130–139.  line feed character di |title= pada posisi 28 (bantuan)
  28. ^ Yuantari MGC. Dampak pestisida organoklorin terhadap kesehatan manusia dan lingkungan serta penanggulangannya. Prosiding Seminar Nasional Peran kesehatan masyarakat dalam pencapaian MDG's di Indonesia; 12 April 2011; Semarang: Indonesia.
  29. ^ a b c Oktofa SP. Bahaya paparan pestisida terhadap kesehatan manusia. Bioedukasi. 2016; 14(1):27–31.
  30. ^ a b c World Health Organization. International Programme On Chemical Safety: Guidelines on the Prevention of Toxic Exposures. Int Program Chem Saf. 2014;1–116.
  31. ^ Oesterlund AH, Thomsen JF, Sekimpi DK, Maziina J, Racheal A, Jørs E. Pesticide knowledge, practice and attitude and how it affects the health of small-scale farmers in Uganda: A cross-sectional study. Afr Health Sci. 2014;14(2):420–33.
  32. ^ Mohanty MK, Behera BK, Jena SK, Srikanth S, Mogane C, Samal S, et al. Knowledge attitude and practice of pesticide use among agricultural workers in Puducherry, South India. J Forensic Leg Med. 2013;20(8):1028–31.
  33. ^ Eddleston M, Dawson A, Buckley N. Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. Lancet. 2008;371(9612):597–607
  34. ^ a b c Peter, John V.; Moran, John L.; Graham, Petra (2006-02). "Oxime therapy and outcomes in human organophosphate poisoning: An evaluation using meta-analytic techniques". Critical Care Medicine. 34 (2): 502–510. doi:10.1097/01.ccm.0000198325.46538.ad. ISSN 0090-3493. 
Kembali kehalaman sebelumnya