Share to:

 

Kerajaan Badung

Kerajaan Badung

1788–1906
Bendera Kerajaan Badung
Bendera
Wilayah Kerajaan Badung pada tahun 1938 yang sekarang menjadi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar di Provinsi Bali[1]
Wilayah Kerajaan Badung pada tahun 1938 yang sekarang menjadi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar di Provinsi Bali[1]
Ibu kotaDenpasar
Bahasa yang umum digunakanBali
Agama
Hindu
PemerintahanMonarki
Cokorda 
• 1788-1813
I Gusti Ngurah Made Pemecutan (pertama)
• 1902–1906
I Gusti Ngurah Made Agung (terakhir)
Sejarah 
• Pendirian Puri Agung Denpasar
1788
• Restorasi Kerajaan
1929
• Bergabung dengan Negara Indonesia Timur
1945
• Bergabung dengan Indonesia
1950
1906
Didahului oleh
Digantikan oleh
krjKerajaan
Gelgel
Kota Denpasar
Kabupaten Badung
Sunting kotak info
Sunting kotak info • Lihat • Bicara
Info templat
Bantuan penggunaan templat ini

Kerajaan Badung adalah suatu kerajaan yang berdiri di Pulau Bali bagian selatan. Pusat pemerintahan Kerajaan Badung berada di Puri Agung Denpasar sampai akhirnya pasukan Belanda mengalahkan Kerajaan Badung melalui Perang Puputan Badung pada tahun 1906.[2]

Hindia Belanda merestorasi kerajaan ini pada tahun 1929, dan menjadikan Badung sebagai wilayah swapraja pada tahun 1938. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia, wilayah Kerajaan Badung berstatus sebagai Daerah Tingkat II Badung dan Daerah Tingkat II Denpasar dalam pemerintahan Provinsi Bali.

Sejarah

Berdirinya Kerajaan Badung

Pada tahun 1343, Majapahit berkuasa di Bali dan berpusat di Samprangan dengan penguasanya, Dalem Sri Aji Kresna Kepakisan, yang memiliki putra mahkota bernama I Dewa Anom Pemayun, yang dikemudian hari, karena suatu peristiwa, oleh Dalem diubah namanya menjadi Sira Arya Benculuk Tegeh Kori. Menurut cerita rakyat, Sira Arya Benculuk Tegeh Kori melakukan perjalanan panjang menuju Pura Ulun Danu Batur dan memohon kepada Ida Betari Ulun Danu Batur untuk diberikan panugrahan (berkat/hikmat) agar kelak menjadi seseorang yang berwibawa dan dihargai oleh rakyatnya.[3] Doa Sira Arya Benculuk Tegeh Kori dikabulkan oleh Ida Betari Batur, dan meminta Sira Arya Benculuk Tegeh Kori agar pergi ke barat daya (Gumi Badeng) tepatnya di Tonjaya, sebuah wilayah yang ditempati oleh Ki Bendesa bersama para saudaranya Ki Pasek Kabayan, Ki Ngukuhin, dan Ki Tangkas.[4] Atas prakarsa Ki Bendesa dan saudara-saudaranya, diputuskan melalui musyawarah bahwa Sira Arya Benculuk Tegeh Kori diangkat menjadi penguasa di daerah tersebut.[5]

Setelah itu, bersama warganya, Ki Bendesa membangun istana untuk Sira Arya Benculuk Tegeh Kori yang diberi nama Puri Benculuk dan menetapkan nama wilayah kekuasaannya menjadi Badung yang berasal dari kata Badeng,[6] sesuai dengan titah Ida Bhatari Batur yakni "Tonja Yang Jakang Wana Badeng". Sira Arya Benculuk Tegeh Kori kemudian menghadap penguasa Bali, Dalem Sri AJi Kresna Kepakisan, yang bertahta di Samprangan dan melaporkan bahwa ia telah diangkat menjadi penguasa Badung pertama dan oleh Dalem, diberi gelar Dalem Benculuk Tegeh Kori. Pada masa selanjutnya, para penguasa Badung sebagai bawahan dari Kerajaan Gelgel juga membangun Puri Ksatriya dan Puri Tegal Agung. Masa Pemerintahan para keturunan Tegeh Kori ini diperkirakan berlangsung pada tahun 1360-1750.[7]

Pada akhir abad ke-18 M, kekuasaan Puri Ksatriya jatuh kepada Kyayi Ngurah Made, sebagai penerima tahta dari Kyayi Ngurah Jambe Ksatriya. Karena Puri Ksatriya telah rusak karena perang perebutan kekuasaan. Pada masa kekuasaannya, Kyayi Ngurah Made memerintahkan untuk membuat puri baru yang terletak di Tetaman Den-Pasar[8] (den-pasar dalam Bahasa Bali berarti "utara pasar"), yang berada di sebelah selatan reruntuhan Puri Ksatriya. Pada tahun 1788, Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Badung dan Kyayi Ngurah Made sebagai Raja Badung I menggunakan gelar “I Gusti Ngurah Made Pemecutan”, mengingat ia adalah keturunan dari Dinasti Pemecutan (1788-1813).[9].

Penaklukkan Badung oleh Belanda

Monumen Puputan Badung di kota Denpasar.

Pada tahun 1826, Belanda diizinkan Raja I Gusti Made Ngurah untuk mendirikan stasiunnya di Kuta,[10] sebagai balasan atas kerjasama itu raja mendapatkan hadiah yang sangat indah. Seorang pedagang berkebangsaan Denmark bernama Mads Johansen Lange yang datang ke Bali pada usia 18 tahun memegang peranan sebagai mediator antara Pemerintah Hindia Belanda dan Badung serta kerajaan-kerajaan lain di Bali. Mulai saat itu, Mads Lange yang lahir tahun 1806, dapat meningkatkan hubungan baik dengan raja-raja di Bali. Pada tahun 1856 Mads Lange sakit dan mohon pensiun serta memutuskan untuk kembali ke Denmark, namun sayang dia meninggal pada saat kapal yang akan ia tumpangi akan berangkat, dan akhirnya ia dimakamkan di Kuta.

Pada tahun 1904, sebuah kapal dagang berbendera Belanda milik seorang Tionghoa dari Banjarmasin bernama "Sri Komala" kandas di Pantai Sanur.[11] Pemilik kapal dan pemerintah Hindia Belanda menuduh masyarakat setempat melucuti, merusak, dan merampas isi kapal serta menuntut kepada raja-raja Badung atas segala kerusakan itu sebesar 3.000 dolar perak dan menghukum orang-orang yang merusak kapal. Penolakan raja atas tuduhan dan pembayaran kompensasi itu, menyebabkan pemerintah Hindia Belanda mempersiapkan ekspedisi militernya ke Bali pada tanggal 20 September 1906. Tiga batalyon infantri dan 2 batalyon pasukan artileri segera mendarat dan menyerang Kerajaan Badung.[12][13]

Setelah menyerang Badung, Belanda menyerbu kota Denpasar. Belanda mencapai pintu gerbang kota tanpa mendapatkan perlawanan berarti, namun tiba-tiba mereka disambut oleh sekelompok orang berpakaian serba putih, siap melakukan "perang puputan" (mati berperang sampai titik darah terakhir).[14] Dipimpin oleh Raja I Gusti Ngurah Made Agung dan para pendeta, pengawal, sanak saudara, laki-laki serta perempuan menghiasi diri dengan batu permata dan berpakaian perang keluar menuju tengah-tengah medan pertempuran. Hal itu dilakukan karena dalam ajaran Hindu, bahwa tujuan kesatria adalah mati di medan perang sehingga arwah dapat masuk langsung ke surga. Menyerah dan mati dalam pengasingan adalah hal yang paling memalukan.[15] Dikabarkan bahwa sebelum terjadi puputan, putra mahkota dari I Gusti Ngurah Made Agung bernama I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak 10 tahun, terlebih dahulu dilarikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan didampingi ibunya serta beberapa keluarga dekat puri, pergi ke daerah barat tepatnya di Desa Seminyak, Kuta.[16] Pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah pun ditangkap dan menjadi tawanan perang, serta diasingkan ke Mataram, Lombok, oleh pemerintah Hindia Belanda.

Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang sepuluh tahun, pada tanggal 1 Oktober 1917, atas desakan para tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan, serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Denpasar, selain itu juga karena keamanan di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.[17]

Masa Pendudukan Belanda

Para raja Bali saat dilantik di Pura Besakih pada 30 Juni 1938. Cokorda Alit Ngurah sebagai Raja Badung VII berdiri di ujung kiri.

Pada tahun 1929, setelah pembangunan kembali Puri Agung Denpasar yang hancur saat puputan, I Gusti Alit Ngurah diangkat oleh Hindia Belanda sebagai Regent Badung dengan gelar Cokorda Alit Ngurah.[18] Pemerintah Hindia Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan yang baru yaitu Zelfbestuur (pemerintahan swapraja) guna dapat mempermudah mengatur daerah jajahan yang demikian luasnya pada tanggal 1 Juli 1938, dan sistem ini diterapkan secara serentak di seluruh daerah Bali yang dibagi menjadi 8 landschapen, yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung, dan Karangasem. Pada setiap landschapen diangkat seorang kepala daerah dengan sebutan Zelbestuurder (Raja).

Pemilihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan raja atau dari keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk Zelbestuur Badung kekuasaan dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar dengan gelar Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan pengangkatan (abhiseka) dia dilakukan serentak dengan 8 raja-raja lainnya di Pura Besakih, Karangasem pada tanggal 30 Juni 1938. Peresmian dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron.[19] Para penguasa swapraja-swapraja (Zelfbestuur) tersebut tergabung dalam federasi raja-raja yang disebut Paruman Agung.

Masa Pendudukan Jepang

Setelah melalui beberapa pertempuran, tentara Jepang mendarat di Pantai Sanur pada tanggal 18 dan 19 Februari 1942. Dari arah Sanur ini tentara Jepang memasuki kota Denpasar dengan tidak mengalami perlawanan apa-apa. Kemudian, dari Denpasar inilah Jepang menguasai seluruh Bali. Pertama-tama, yang meletakkan dasar kekuasaan Jepang di Bali adalah pasukan Angkatan Darat Jepang (Rikugun). Kemudian, ketika suasana sudah stabil penguasaan pemerintahan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pada saat Jepang masuk ke Bali, Paruman Agung atau dewan raja-raja Bali diubah menjadi Sutyo Renmei.[20]

Masa Kemerdekaan Indonesia

Pada tahun 1945 setelah Jepang menyerah dan kemerdekaan Republik Indonesia, Bali menjadi bagian dari Pemerintah Negara Indonesia Timur. Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950. Pemerintahan swapraja-swapraja (kerajaan) di Bali diubah menjadi Dewan Raja-Raja dengan berkedudukan di Denpasar dan diketuai oleh seorang raja. Pada bulan Oktober 1950, pemerintahan Swapraja Badung berbentuk Dewan Pemerintahan Badung yang diketuai oleh ketua Dewan Pemerintahan Harian yang dijabat oleh Kepala Swapraja (Raja) serta dibantu oleh para anggota Majelis Pemerintah Harian.

Berdasarkan UU No. 69 tahun 1958 terhitung mulai tanggal 1 Desember 1958, daerah-daerah swapraja di Bali diubah menjadi Daerah Tingkat II setingkat kabupaten, termasuk Badung. Denpasar menjadi ibu kota dari pemerintah daerah Kabupaten Badung, selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Des.52/2/36-136 tanggal 23 Juni 1960, Denpasar juga ditetapkan sebagai ibu kota bagi Provinsi Bali yang semula berkedudukan di Singaraja. [21]

Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Denpasar resmi menjadi kota administratif, dan seiring dengan kemampuan serta potensi wilayahnya dalam menyelenggarakan otonomi daerah, pada tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992, dan Denpasar ditingkatkan statusnya menjadi kotamadya, yang kemudian diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Februari 1992.[22]

Daftar Raja-Raja Badung

Cokorda Ngurah Jambe, Raja Badung IX[23].
  • I Gusti Ngurah Made Pemecutan (1788–1813)
  • I Gusti Ngurah Jambe Pemecutan (1813–1817)
  • I Gusti Made Ngurah Pemecutan (1817–1829)
  • I Gusti Gede Ngurah Pemecutan (1829–1848)
  • I Gusti Alit Ngurah Pemecutan (1848–1902)
I Gusti Ngurah Made Agung, Raja Badung VI
  • I Gusti Ngurah Made Agung (1902–1906)
  • Ida Cokorda Alit Ngurah (1929–1965)
  • Ida Cokorda Ngurah Agung (1965–1998)
  • Ida Cokorda Ngurah Jambe Pemecutan (2005–2023)
  • Ida Pengelingsir Agung Putra Jambe Pemecutan (2023–sekarang)

Lihat Pula

Catatan Kaki

Referensi

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya