Kowtow
Kowtow (Hanzi: 叩頭) adalah suatu cara memberi hormat dalam budaya Tionghoa. Kowtow dilakukan dengan cara berlutut dan bersujud sampai kepala menyentuh tanah. Istilah lainnya adalah "ketou", dan artinya sedikit berbeda dari istilah kowtow. Dalam budaya Tionghoa, kowtow adalah bentuk penghormatan yang tertinggi, dan biasanya dilakukan terhadap orang tua dan dihormati. Dalam tatacara kekaisaran pada masa lampau, kowtow juga dilakukan terhadap kaisar. Terdapat beberapa tingkatan kowtow yang dilakukan berdasarkan kekhidmatan suatu upacara dalam istana. Contohnya dalam penobatan kaisar baru, para bawahan dan anggota istana harus memberi gerakan "tiga kali berlutut dan sembilan kali bersujud" (三拜九叩頭禮, sān bài jiǔ kòu tóu lǐ). Ini dianggap sebagai kowtow yang paling tinggi tingkatannya. Karena pejabat pemerintahan juga dianggap mewakili kekuasaan kaisar, rakyat jelata diharuskan memberi kowtow kepada mereka. DiplomasiKowtow menjadi kosakata Bahasa Inggris sejak awal abad ke-19 untuk menjelaskan suatu cara memberi hormat, namun perlahan maknanya menyempit menjadi "suatu sikap merendahkan diri dan tunduk". Orang Barat yang pertama kali menyaksikan cara kowtow menganggap hal tersebut sebagai praktik pemujaan, walau sebenarnya dalam tradisi Tionghoa tidak selalu bermakna religius. Pada masa kekaisaran, kowtow dianggap sangat penting dalam hubungan diplomatik antara Tiongkok dengan negara-negara lain. Duta besar Kerajaan Inggris, George Macartney, 1st Earl Maccartney (1793) dan William Pitt Amherst, 1st Earl Amherst (1816) menolak melakukan kowtow karena menganggap bahwa dengan bersujud berarti memperlakukan raja mereka sebagai bawahan kaisar Tiongkok. Duta besar dari Hindia Belanda, Isaac Itsingh tak menolak bersujud kepada Kaisar Qianlong dalam kunjungannya pada tahun 1794-1795.[1] Kowtow juga dipraktikkan dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga Tiongkok seperti Jepang dan Korea. Berdasarkan Joseon Wangjo Sillok (Babad Dinasti Joseon), pada tahun 1596, sang unifikator Jepang, Toyotomi Hideyoshi harus berlutut lima kali dan bersujud tiga kali (五拜三叩頭禮, o bae sam go du rye) untuk menyatakan kepatuhannya pada Dinasti Ming.[2] Penguasa Dinasti Joseon, Raja Injo, menyatakan kebesaran Huang Taiji, kaisar pertama Dinasti Qing dengan berlutut tiga kali dan bersembah-sujud sembilan kali (三拜九叩頭禮, sam bae gu go du rye"). Korea menjadi negara bawahan Qing mulai saat itu.[3] Menurut KonfusianismeDalam ajaran Kong Hu Chu, seseorang diwajibkan berbakti pada orang tua. Hal itu dilakukan dengan memberi sujud, terutama pada saat peristiwa-peristiwa istimewa seperti pada saat upacara perkawinan dan upacara keagamaan. Pada saat acara pernikahan, kedua mempelai diwajibkan bersujud kepada orang tua masing-masing sebagai tanda terima kasih atas jasa membesarkan mereka. Menurut Kong Hu Chu, terdapat harmoni yang alami antara tubuh dan pikiran. Jika sebuah gerakan diekspresikan oleh tubuh, maka gerakan tersebut akan ditransfer kepada pikiran. Pada saat bersujud, tubuh diletakkan ke posisi yang terendah, maka perasaan hormat dapat langsung diberikan sehingga berpengaruh terhadap pikiran. Hal itulah yang menyebabkan sikap memberi hormat dalam masyarakat Tionghoa dianggap sangat penting, sebab sikap hormat diperlukan untuk membentuk masyarakat yang baik. [butuh rujukan] Kowtow sudah banyak berubah semenjak peristiwa Pergerakan Empat Mei. Dalam banyak hal, kowtow sudah digantikan dengan hormat membungkuk saja. Referensi
The American Historical Review, Vol. 2, No. 3 (Apr., 1897), pp. 427–442.
The American Historical Review, Vol. 2, No. 4 (Jul., 1897), pp. 627–643. |