Kuota penangkapan ikan individuKuota penangkapan ikan individu adalah salah satu jenis pembagian jumlah tangkapan ikan yang diatur oleh pihak yang berwenang dalam mengawasi penangkapan ikan. Pengatur atau pemberi relugasi menerapkan total tangkapan ikan yang diizinkan berdasarkan spesies tertentu, umumnya dalam bentuk berat tangkapan dalam satuan waktu tertentu. Bagian dari total tangkapan tersebut lalu dibagi-bagikan kepada individu yang bergerak dalam usaha penangkapan ikan menjadi kuota penangkapan individu. Kuota dapat dijual kepada pihak lain. Sekitar 10 persen dari tangkapan ikan di laut dikelola menggunakan sistem ini.[1] Negara pertama yang mengadopsi sistem ini adalah belanda, Eslandia, dan Kanada di akhir tahun 1970an; Amerika Serikat mengadopsi sistem ini pada tahun 2010.[2] Negara pertama yang mengadopsi sistem kuota yang dapat dipindah tangankan adalah Selandia Baru pada tahun 1986.[3] SejarahDalam sejarah, perikanan di daratan dan laut dalam berada dalam kepemilikan yang sama di mana tidak ada yang memiliki hak tertentu terhadap ikan yang berenang di laut hingga ikan tersebut ditangkap. Setiap perahu berlomba-lomba menangkap ikan sebanyak-banyaknya. Penangkapan ikan komersial berkembang dari penangkapan ikan subsisten dengan tanpa batasan dalam menangkap ikan. Asumsi yang digunakan adalah sumber daya di laut sangat banyak sehingga penerapan pembatasan tidak perlu dilakukan. Pada abad ke 20, penangkapan ikan cod atlantik (Gadus morhua) dan sarden california (Sardinops sagax) menurun di berbagai tempat, dan negara terkait mulai membatasi akses ke lokasi penangkapan ikan dari kapal dan perahu mancanegara, sementara berbagai organisasi internasional mulai memberikan pernyataan bahwa spesies ikan tertentu berada dalam kondisi terancam punah. Satu metode manajemen terdahulu yaitu untuk mendefinisikan musim di mana penangkapan ikan spesies tertentu diizinkan. Durasi musim penangkapan ikan ditentukan dengan mendekatkan pada kekayaan jumlah ikan pada suatu waktu, dengan ppulasi yang lebih besar memiliki musim yang lebih panjang. Hal ini menjadikan penangkapan ikan sebuah "balapan" yang mendorong industri perikanan menjadi lebih besar dan kapal penangkap ikan yang lebih cepat, sehingga lembaga berwenang setempat memperpendek musim penangkapan ikan setiap tahunnya hingga hanya beberapa hari dalam setahun. Dan juga harga ikan menjadi jatuh ketika semua kapal penangkap ikan berlabuh di pelabuhan ikan.[4] Pergerakan menuju mekanisme privatisasi dan berbasis pasarImplementasi kuota penangkapan ikan bekerja beriringan dengan privatisasi di berbagai tempat. Peraturan ini bertujuan untuk merasionalisasi akses secara ekonomi ke lokasi penangkapan ikan.[5] Tipe manajemen ini berbasis doktrin ekonomi sumber daya alam. Penggunaan kuota penangkapan ikan dalam kebijakan lingkungan telah dinyatakan dalam karya berbagai pakar ekonomi seperti Jens Warming,[6] H. Scott Gordon,[7] dan Anthony Scott.[8] Karya mereka berdasarkan teori bahwa penggerak utama penangkapan ikan berlebih adalah peraturan eksternalitas penangkapan, ide bahwa para penangkap ikan tidak memiliki hak hingga sumber daya didapatkan, sehingga mendorong sikap kompetisi dan kapitalisasi industri. Telah diketahui bahwa tanpa hak jangka panjang terhadap stok ikan, tidak ada insentif untuk melestarikan stok ikan pada masa depan. Penggunaan kuota penangkapan ikan individu dalam manajemen sumber daya alam kembali kepada tahun 1960an di mana terlihat pertama kali sebuah perdagangan emisi polusi yang saat ini secara luas digunakan untuk mengelola emisi karbon dari pembangkit listrik.[9] Namun berbeda dengan perdagangan emisi yang mengatur jumlah polusi yang dikeluarkan industri, kuota penangkapan ikan mengatur jumlah output penangkapan ikan. Penggunaan kuota penangkapan ikan sering kali dikaitkan dengan proses yang lebih luas dalam mekanisme pasar neoliberalisme yang bertujuan memanfaatkan pasar sebagai alat pengatur.[10] Alasan dibalik mekanisme neoliberal adalah karena penganut mekanisme ini percara bahwa mekanisme pasar memberikan motivasi keuntungan untuk mendayagunakan inovasi dan efisiensi lingkungan dibandingkan dengan apa yang telah diperintahkan oleh negara.[11] Sementara peraturan neoliberal sering kali memposisikan diri menjauh dari pengelolaan dan pengawasan negara,[12] tetapi dalam kasus privatisasi, negara adalah bagian integral dari proses penciptaan dan pemeliharaan hak properti. Penggunaan rezim privatisasi neoliberal juga telah memunculkan kontradiksi dengan hak masyarakat pribumi. Sebagai contoh pengecualian suku Maori dari kuota penangkapan ikan di Selandia Baru mendorong terjadinya pertarungan hukum yang memperlambat pengembangan kebijakan perikanan nasional. Hal yang sama terjadi pada suku Mi'kmaq di Kanada dan suku Sami di Norwegia.[13] EfektivitasPada tahun 2008, sebuah studi skala besar menyimpulkan bahwa kuota penangkapan ikan individu mencegah jatuhnya usaha perikanan dan mengembalikan jumlah tangkapan ikan jika dibandingkan dengan serangkaian data dari usaha perikanan yang menggunakan struktur manajemen lain dan yang tidak memiliki sistem manajemen.[14][15] Namun ketika dibandingkan dengan skema manajemen perikanan modern lainnya, sistem kuota penangkapan ikan individu tidak memberikan manfaat ekologis jangka panjang.[16][17] Sebuah studi yang penerapan program ini di 14 tempat di Amerika Serikat menunjukan bahwa stok ikan tidak terpengaruh skema ini.[18] Diperkirakan bahwa skema kuota penangkapan ikan individu tidak menambah jumlah populasi (stok) ikan di laut, tetapi hanya mencegah agar populasi tidak jatuh lebih jauh. Pada tahun 1995, penangkapan ikan halibut (genus Hippoglossus) di Alaska menggunakan sistem kuota setelah pejabat berwenang memotong musim penangkapan ikan dari empat bulan menjadi dua bulan. Sekarang dengan sistem kuota, ikan bisa ditangkap hampir sepanjang tahun dengan jumlah tangkapan yang diatur dan membuat hasil tangkapan meningkat. Namun populasi ikan halibut tidak bertambah.[19] Alasan mengapa sistem kuota tidak memberikan peningkatan level biomassa di laut, atau bahkan berkurang, dikarenakan:[1]
Referensi
Bahan bacaan terkait
|