Kurt Vonnegut
Kurt Vonnegut Jr. (/ˈvɒnəɡət/;[1] 12 November 1922 – 11 April 2007) adalah seorang penulis Amerika Serikat. Selama lima puluh tahun, Vonnegut menghasilkan empat belas novel, tiga koleksi cerita pendek, lima naskah drama, dan lima karya non-fiksi. Dia terkenal karena novel satir gelapnya, Slaughterhouse-Five (1969). Lahir dan besar di Indianapolis, Indiana, Vonnegut tak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Cornell dan bergabung dengan Angkatan Darat Amerika Serikat. Saat berdinas di militer, dia kuliah teknik mesin di Institut Teknologi Carnegie dan Universitas Tennessee. Vonnegut kemudian dikirim ke Eropa untuk bertempur di Perang Dunia Kedua dan menjadi tawanan perang pasukan Jerman pada saat Pertempuran Bulge. Dia ditawan di Dresden dan berhasil selamat dari pengeboman Sekutu atas kota itu, dengan berlindung pada sebuah peti daging pada sebuah rumah potong yang menjadi tempatnya ditawan. Selepas perang usai, Vonnegut menikahi Jane Marie Cox; mereka memiliki tiga orang anak. Vonnegut menerbitkan novel pertamanya, Player Piano, pada tahun 1952. Novel itu disambut dengan baik namun tidak berhasil terjual banyak. Sepanjang dua puluh tahun setelahnya, dia menulis novel-novel yang "nyaris" sukses, seperti Cat's Cradle (1963) dan God Bless You, Mr. Rosewater (1964). Baru pada novel keenamnya, Slaughterhouse-Five, Vonnegut menjadi terkenal. Sentimen anti-perang yang diusung novel tersebut disukai para pembaca yang tengah menyaksikan langsung berkecamuknya Perang Vietnam. Slaughterhouse-Five memuncaki daftar buku terlaris The New York Times, membuat Vonnegut dibanjiri undangan ceramah, dan memenangkan banyak penghargaan. Di ujung kariernya, Vonnegut menerbitkan beberapa koleksi esai otobiografis dan cerita pendek, seperti Fates Worse Than Death (1991) dan A Man Without a Country (2005). Selepas kematiannya, dia disanjung sebagai seorang pengamat dan penulis yang kritis, ironis, dan gelap; meneguhkan posisinya sebagai salah satu penulis kontemporer dunia yang paling berpengaruh. Putranya Mark Vonnegut menerbitkan himpunan tulisanyang belum sempat diterbitkan dengan judul Armageddon in Retrospect. Pada tahun 2017, Seven Stories Press menerbitkan Complete Stories, sebuah koleksi cerita fiksi pendek yang memuat lima buah karya Vonnegut yang jugabelum pernah diterbitkan. Complete Stories dihimpun dan dipromosikan pada khalayak umum oleh dua orang sahabat Vonnegut, Jerome Klinkowitz dan Dan Wakefield. Beberapa karya ilmiah tercatat juga telah menelaah humor gelap yang menjadi ciri khas dan penyebab ketenaran Vonnegut. BiografiKehidupan awalKurt Vonnegut Jr. lahir pada 11 November 1922 di Indianapolis, Indiana. Dia adalah anak bungsu dari pasangan Kurt Sr. dan Edith Vonnegut. Dia memiliki seorang kakak lelaki, Bernard (l. 1914) dan seorang kakak perempuan, Alice (l. 1917). Leluhur Vonnegut adalah para imigran Jerman yang menetap di Amerika pada pertengahan abad ke-19. Kakek buyutnya dari sebelah ayah, Clemens, berasal dari daerah Westphalia. Clemens menetap di Indianapolis dan mendirikan perusahan keluarga Vonnegut Hardware Company. Ayah dan kakek Kurt, Bernard, bekerja sebagai arsitek. Firma mereka merancang beberapa bangunan di Indianapolis seperti Das Deutsche Haus (kini bernama "The Athenæum"), yang merupakan kantor pusat Bell Telephone Company untuk negara bagian Indiana dan Fletcher Trust Building.[2] Keluarga ibu Vonnegut, keluarga Lieber, adalah salah satu keluarga yang paling kaya di kota itu karena penguasaan saham yang besar di perusahaan penyulingan bir.[3] Meski kedua orang tua Vonnegut dapat berbahasa Jerman dengan fasih, mereka meninggalkan sedikit demi sedikit latar budaya Jerman mereka karena merasa malu setelah kekalahan Jerman pada Perang Dunia Pertama. Kurt Sr. dan Edith tak mengajarkan bahasa Jerman pada Vonnegut kecil; sesuatu yang kelak membuatnya merasa "bebal dan tanpa akar."[4][5] Vonnegut merasa berhutang budi kepada Ida Young, koki dan pembantu rumah tangga mereka yang berkulit hitam, karena telah membesarkannya dengan semacam nilai-nilai budaya. "[Ia] memberiku petunjuk-petunjuk moral yang layak dan [berlaku] sangat baik kepadaku. Jadi, dialah yang paling berpengaruh kepadaku dibanding orang lain." Vonnegut menggambarkan Young sebagai seseorang yang "bijak dan berperikemanusiaan", dan percaya bahwa watak yang "penuh kasih sayang dan pengampun" pada dirinya kelak berasal dari Young.[6] Kenyamanan dan kemakmuran yang dinikmati keluarga Vonnegut runtuh dalam waktu beberapa tahun. Pabrik bir keluarga Lieber ditutup pada tahun 1921 setelah berlakunya pelarangan di Amerika Serikat. Ketika Depresi Besar tiba, hanya sedikit proyek konstruksi yang berlangsung, sehingga membuat firma arsitektur ayah Vonnegut sepi pelanggan.[7] Kakak-kakak Vonnegut menamatkan pendidikan dasar dan menengah mereka di sekolah-sekolah swasta, namun Vonnegut terpaksa masuk ke sekolah negeri, Public School No. 43, yang kini menjadi SMA James Whitcomb Riley di Indianapolis.[8] Vonnegut sendiri sama sekali tak merasa terganggu atau terkucil akan keadaan ini,[a] namun kedua orang tuanya amat terpukul akan perubahan nasib mereka. Ayah Vonnegut meninggalkan kehidupannya sehari-hari dan menjadi seorang "seniman tukang mimpi."[10] Ibunya menjadi tertekan, penyendiri, getir, dan ringan tangan. Ia bekerja keras untuk meraih kembali status dan kekayaan keluarganya, dan Vonnegut berkata bahwa ibunya membenci suaminya sendiri "seperti asam klorida menyebabkan karat."[11] Edith Vonnegut bahkan terjun ke dunia kepenulisan dengan mengirimkan cerita-cerita pendek ke majalah seperti Collier's dan The Saturday Evening Post, meskipun tak dapat dibilang berhasil.[4] Masa SMA dan kuliahVonnegut masuk ke SMA Shortridge, Indianapolis, pada tahun 1936. Ia bermain klarinet di band sekolah dan menjadi redaktur edisi Selasa koran sekolah The Shortridge Echo bersama Madelyn Pugh. Vonnegut berkata bahwa kariernya bersama Echo melatihnya menulis untuk pembaca yang lebih luas (kawan-kawan sekolahnya) ketimbang untuk seorang guru saja, pengalaman yang ia kenang "gampang dan menyenangkan".[2] "Kutemukan bahwa aku bisa menulis lebih baik ketimbang banyak orang lain", Vonnegut mengenang. "Tiap-tiap orang bisa melakukan sesuatu dengan gampang dan tak dapat memikirkan mengapa orang lain kesulitan melakukannya."[8] Setelah lulus SMA pada tahun 1940, Vonnegut masuk ke Universitas Cornell di Ithaca, New York. Pada awalnya, ia ingin belajar ilmu budaya atau arsitektur seperti ayahnya, namun sang ayah[b] dan pamannya, seorang ilmuwan alam, mendorongnya untuk mempelajari ilmu yang "lebih berguna".[2] Pada akhirnya, Vonnegut memilih untuk kuliah biokimia, namun tak pernah benar-benar bisa memahaminya; sehingga ia memilih kuliah dengan masa bodoh.[13] Oleh karena ayahnya pernah bergabung sebagai anggota organisasi tersebut pada saat kuliah di MIT,[14] Vonnegut berhak dan memilih untuk masuk ke persaudaraan Delta Upsilon,[15] dan memenangkan persaingan ketat untuk bergabung dalam redaksi surat kabar independen kampus, The Cornell Daily Sun. Ia mulai sebagai seorang wartawan junior, kemudian naik pangkat menjadi redaktur.[16][17] Pada akhir tahun pertamanya, Vonnegut memiliki kolom sendiri yang berjudul "Innocents Abroad", yang sebagian besar mendaur ulang lawakan dari surat kabar lain. Ia kemudian menulis artikel berjudul "Well All Right" yang bernada pasifis dan menolak keterlibatan Amerika Serikat di Perang Dunia II.[8][18] Perang Dunia IISerangan tentara Jepang atas Pearl Harbor menyeret Amerika Serikat ke medan Perang Dunia II. Di Cornell, Vonnegut menjadi anggota Korps Latihan Perwira Cadangan (ROTC), namun nilainya yang buruk dan artikel-artikel satirnya di surat kabar kampus membuatnya terdepak dari kesatuan militer tersebut. Ia dihukum dengan masa percobaan akademik pada bulan Mei 1942 dan memutuskan berhenti kuliah pada Januari 1943. Keluar dari Cornell membuatnya tidak lagi dilindungi oleh kebijakan penundaan akademik untuk wajib militer, sehingga Vonnegut berkemungkinan diwajibkan untuk masuk ke dalam dinas Angkatan Darat. Alih-alih masuk melalui jalur wajib militer, ia mendaftarkan dirinya secara sukarela. Pada bulan Maret 1943, Vonnegut melapor ke Fort Bragg di North Carolina untuk latihan dasar.[19] Ia dilatih sebagai penembak howitzer dan mendapatkan kesempatan untuk belajar teknik mesin di Institut Teknologi Carnegie dan Universitas Tennessee sebagai bagian dari Program Pelatihan Khusus Angkatan Darat (ASTP).[12] Pada awal tahun 1944, program ASTP dihentikan karena adanya kebutuhan prajurit untuk ikut dalam invasi D-Day. Vonnegut diperintahkan bergabung dengan sebuah batalion infanteri di Camp Atterbury di Edinburgh, selatan kota Indianapolis, dan dilatih untuk menjadi seorang prajurit peninjau.[20] Edinburgh terletak dekat dengan rumah keluarganya, sehingga ia "dapat tidur di kamarnya sendiri dan menggunakan mobil keluarga pada akhir pekan".[21] Pada 14 Mei 1944, Vonnegut pulang ke rumahnya untuk cuti akhir pekan Hari Ibu dan menemukan ibunya tewas bunuh diri karena overdosis pil tidur.[22] Kematina Edith Vonnegut mungkin disebabkan oleh hilangnya kekayaan dan prestise keluarganya, putranya yang akan segera ditugaskan ke luar negeri, dan kegagalannya merintis karier sebagai seorang penulis. Pada saat kematiannya, Edith sedang mabuk dan dalam pengaruh obat-obatan.[22] Tiga bulan selepas kematian ibunya, Vonnegut dikirim ke Eropa. Ia bertugas sebagai seorang intel peninjau pada Divisi Infanteri ke-106. Pada bulan Desember 1944, Vonnegut ikut bertempur dalam Pertempuran Bulge, pertempuran darat terakhir yang melibatkan pasukan Jerman di Perang Dunia II.[22] Pada pertempuran itu, divisi Vonnegut yang baru saja tiba di front dan dikerahkan ke sektor yang lebih tenang karena dianggap tak berpengalaman, dikeroyok habis oleh pasukan lapis baja Jerman. Lebih dari 500 prajurit dari Divisi Infanteri ke-106 tewas, dan lebih dari 6,000 lain terluka. Pada 22 Desember 1944, Vonnegut tertawan bersama 50 prajurit Amerika lainnya.[23] Ia dibawa dengan menggunakan kereta gandeng ke kamp tawanan yang terletak dekat selatan Dresden. Selama perjalanan, Angkatan Udara Kerajaan Inggris mengebom iring-iringan kereta ini dan membunuh sekitar 105 orang.[24] Vonnegut ditawan di Dresden, yang dikenangnya sebagai "kota cantik pertama [yang pernah saya] lihat". Sesampainya di sana, ia ditawan di sebuah rumah jagal dan dipekerjakan di sebuah pabrik yang membuat sirup malt untuk wanita-wanita hamil. Di Dresden, kenang Vonnegut, sirene berkumandang tiap kali kota lain dibom, namun pasukan Jerman tidak memperkirakan bahwa kota itu akan turut dibom. "Hanya ada sedikit tempat perlindungan dari serangan udara dan tidak ada industri yang menyokong lancarnya perang; hanya ada pabrik rokok, rumah sakit, dan pabrik klarinet."[25] Pada 13 Februari 1945, Dresden dibom oleh pasukan Sekutu. Pengeboman atas kota itu terus berlanjut sampai 15 Februari, mengorbankan lebih dari 25,000 warga sipil.[22] Selama pengeboman, Vonnegut berlindung pada sebuah loker daging yang terletak tiga lantai di bawah tanah. "Di sana sejuk, tempat kadaver tergantung di mana-mana," kenangnya. "Ketika kami keluar, kota sudah tidak ada lagi... mereka (Sekutu) mengebomnya sampai mampus."[8][25] Vonnegut dan tawanan lain langsung diperintahkan untuk bekerja selepas pengeboman selesai; mereka menguruk jenazah korban dari reruntuhan bangunan; dalam istilah Vonnegut "sebuah perburuan telur Paskah yang kelewat telanjang."[25][26] Para tawanan perang Amerika dievakuasi keluar dari Dresden dengan berjalan kaki sampai perbatasan Saxony dan Cekoslovakia selepas Jenderal George S. Patton menaklukkan kota Leipzig. Setelah mereka ditinggalkan oleh para pengawal mereka, Vonnegut berjalan sampai mencapai sebuah kamp tawanan di Le Havre, Perancis, pada akhir Mei 1945 dengan bantuan tentara Soviet.[24] Vonnegut kembali ke Amerika Serikat dan melanjutkan dinasnya di Angkatan Darat; kali ini, ia ditugaskan di Fort Riley, Kansas; bertugas mengetik surat pembebasan tugas untuk para prajurit.[27] Tak lama kemudian, ia mendapat anugerah Purple Heart, penghargaan militer Amerika Serikat untuk seorang prajurit yang terluka di medan perang. "Saya sendiri mendapatkan penghargaan terendah kedua dari negara saya," kenang Vonnegut, "sebuah Purple Heart untuk frostbite."[28] Tak lama kemudian, ia dibebastugaskan dari Angkatan Darat dan kembali ke Indianapolis.[29] Chicago, GE, dan Player's PianoSelepas kembali ke Amerika, Vonnegut menikahi Jane Marie Cox, kekasih masa sekolahnya sejak taman kanak-kanak pada bulan September 1945. Pasangan muda ini kemudian pindah ke Chicago. Vonnegut kuliah di Universitas Chicago dengan dibiayai beasiswa G.I. Bill. Ia memilih kuliah antropologi dan masuk program studi yang memungkinkannya meraih gelar sarjana dan magister dalam waktu lima tahun. Untuk menambah penghasilan, ia bekerja sebagai pewarta jaga malam di City News Bureau of Chicago. Istrinya kemudian mendapatkan beasiswa dari Universitas Chicago, dan ia memilih masuk program pasca-sarjana bidang sastra Rusia. Setelah hamil dengan anak pertama mereka, Jane memutuskan untuk tak melanjutkan kuliahnya. Putra mereka, Mark, lahir pada bulan Mei 1947. Meskipun telah menyelesaikan syarat untuk meraih gelar sarjana, Kurt meninggalkan kampus Chicago tanpa gelar, karena tesis magisternya tentang gerakan keagamaan Ghost Dance ditolak oleh jurusannya.[c] Tak lama selepas putus kuliah, Vonnegut diterima bekerja sebagai staf humas di laboratorium riset General Electric (GE) di Schenectady, New York. Demi diterima bekerja, ia mengklaim bahwa ia sudah mendapatkan gelar magister antropologinya dari Chicago. Bernard, saudara lelakinya, telah bekerja untuk GE sejak tahun 1945 pada proyek penyemaian awan yang berbahan dasar yodium. Pada tahun 1949, Kurt dan Jane memiliki seorang anak lagi, seorang putri yang dinamai Edith. Sembari bekerja di GE, Vonnegut menerbitkan cerita pertamanya. Report on the Barnhouse Effect diterbitkan oleh majalah Collier's edisi 11 Februari 1950, dan Vonnegut mendapatkan honor sebesar $750.[31] Setelah dilatih oleh redaktur fiksi Collier's Knox Burger, Vonnegut menulis cerita lainnya yang juga diterbitkan; kali ini honornya naik menjadi $950. Burger menyarankan Vonnegut untuk mengundurkan diri dari GE. Dia mundur pada tahun 1951 dan pindah bersama keluarganya ke Cape Cod, Massachusetts, untuk menjadi seorang penulis penuh waktu.[32] Di Cape Cod, Vonnegut mencari nafkah untuk keluarganya dengan menulis untuk majalah-majalah seperti Collier's, The Saturday Evening Post, dan Cosmopolitan. Sepanjang dekade 1950an sampai pertengahan 1960an, Vonnegut terpaksa untuk mencari pekerjaan lain untuk menafkahi keluarganya. Ia pernah bekerja sebagai guru bahasa Inggris, penulis wara, dan penjual mobil. Pada tahun 1952, Player Piano diterbitkan oleh Scribner's. Novel ini berlatar belakang dunia pasca-Perang Dunia Ketiga, di mana para pekerja pabrik digantikan oleh mesin.[33] Player Piano sebagian besar terinspirasi dari pengalaman Vonnegut bekerja di GE. Ia memparodikan upaya para pekerja untuk menapak tangga korporat; sesuatu yang menghilang dalam latar novel itu seiring dengan melesatnya otomatisasi yang bahkan mempengaruhi para direktur perusahaan itu. Watak utamanya bernama Paul Proteus, yang menikahi seorang asisten yang ambisius dan sering kali berasa simpati dengan kaum miskin. Proteus ditugaskan oleh Kroner, atasannya, untuk menjadi agen ganda di kalangan kaum miskin. Bersama kaum yang memiliki sebuah kebutuhan materi namun tiada tujuan hidup itu, Proteus memimpin pergerakan yang menghancurkan mesin-mesin dan membakar museum-museum.[34] Player Piano mengejawantahkan penentangan Vonnegut akan merebaknya paham McCarthysime; sesuatu yang tergambar jelas dengan alegori Ghost Shirts, sebuah organisasi revolusioner yang diinfiltrasi dan dipimpin Proteus, yang digambarkan sebagai seorang "sesama petualang."[35] Di Player Piano, Vonnegut memperkenalkan teknik-teknik yang kelak digunakannya dalam karya-karya selanjuntya. Shah dari Bratpuhr, watak peminum berat dan "orang luar" pada Amerika Serikat yang distopian dan berwatak korporat, kerap bertanya tentang hal-hal yang tidak ditanyakan oleh para "örang dalam". Misalnya, ketika dibawa melihat-lihat EPICAC (semacam komputer super yang dibuat oleh kecerdasan buatan), sang Shah bertanya "buat apa (adanya) manusia?" dan tidak dijawab. Seakan berbicara dengan suara Vonnegut, sang Shah meremehkannya sebagai "dewa palsu".[34] Di The New York Times, kritikus Granville Hicks memberi Player Piano tinjauan yang positif dan membandingkannya dengan Brave New World karangan Aldous Huxley. Hicks menyebut Vonnegut sebagai seorang "satiris bermata tajam", namun tidak ada kritikus media utama yang memandang penting novel tersebut. Buku tersebut dicetak beberapa kali; satu oleh Bantam Books (dengan judul Utopia 14) dan satu lagi oleh Doubleday Science Fiction Book Club. Penerbitan oleh Doubleday meneguhkan reputasi Vonengut sebagai seorang penulis fiksi ilmiah, sebuah genre yang dipandang sebelah mata oleh para penulis pada masa itu. Vonnegut membela fiksi ilmiah dengan menyebut bahwa "tidak ada seorang pun yang bisa jadi penulis yang terhormat dan memahami bagaimana cara kulkas bekerja pada waktu yang sama."[33] Masa-masa sulitSelepas terbitnya Player Piano, Vonnegut masih tetap bekerja menjual cerita pendek ke berbagai majalah. Pada tahun 1954, anak ketiganya Nanette lahir. Cerpen Vonnegut menyokong keperluan keluarga Vonnegut yang sedang berkembang: pada tahun 1958, saudarinya Alice meninggal dunia dua hari setelah kematian suaminya, James Carmalt Adams, pada sebuah kecelakaan kereta api di Newark Bay, sehingga Vonnegut mengadopsi tiga putera Alice yang masih kecil: James (usia 14), Steven (usia 11), dan Kurt (usia 9).[36] Meskipun kesulitan mendapatkan sumber penghasilan yang tetap, Vonnegut tetap menulis dan menerbitkan novel yang plotnya amat berbeda-beda. The Sirens of Titan (1959) menampilkan invasi penduduk Mars atas Bumi dari sudut pandang Malachi Constant, seorang miliarder yang tengah bosan. Constant bersua Winston Rumford, seorang petualang angkasa yang berasal dari keluarga bangsawan, maha-mengetahui, namun terjebak dalam sebuah penyimpangan waktu yang membuatnya selalu kembali ke muka Bumi tiap 59 hari sekali. Sang miliarder menjadi tahu bahwa segala tindakannya dan semua hal yang terjadi sepanjang sejarah diatur oleh sebangsa alien robotik dari Planet Tralfamadore, yang membutuhkan satu perangkat pengganti bagi kapal angkasa mereka, dan perangkat ini hanya dapat diproduksi oleh sebuah peradaban yang maju. Peradaban manusia, dalam kisah ini, telah dimanipulasi oleh para alien itu untuk memproduksi perangkat pengganti. Beberapa bangunan yang dibangun oleh manusia, seperti kompleks Kremlin, dibangun sebagai sinyal kode dari para alien itu kepada kapal mereka di angkasa untuk memperkirakan berapa lama lagi proses perbaikan akan berlangsung. Para kritikus tak benar-benar yakin dalam pendapat mereka akan buku ini; seorang membandingkannya dengan karya opera Offenbach The Tales of Hoffmann.[37] Rumford, yang didasarkan secara watak maupun fisik oleh Vonnegut pada mantan presiden Franklin D. Roosevelt, digambarkan sebagai "[seseorang yang] menaruh rokoknya di satu pipa rokok yang panjang dan terbuat dari tulang, menyalakannya, dan kemudian menjulurkan rahangnya. Pipa rokok itu lalu menjolok lurus ke atas."[38] William Rodney Allen, yang menulis buku panduan tentang karya Vonnegut, mencatat bahwa watak Rumford mendahului watak-watak tokoh politik yang kemudian muncul dan berpengaruh dalam karya Vonnegut selanjutnya, God Bless You, Mr. Rosewater dan Jailbird.[39] Vonnegut menerbitkan dua karya pada tahun 1961. Mother Night tak diperhatikan betul pada saat terbit. Protagonis novel ini adalah Howard W. Campbell Jr., seorang Amerika yang berangkat ke Jerman era Nazi pada masa perang sebagai seorang agen ganda untuk Office of Strategic Services (lembaga pendahulu CIA), dan menanjak ke atas hierarki rezim Nazi sebagai seorang ahli propaganda radio. Selepas perang berakhir, OSS menolak untuk membersihkan nama Campbell dan ia kemudian dipenjara oleh Israel dalam satu sel yang sama dengan Adolf Eichmann; ia mengakhiri hidpnya dengan bunuh diri. Dalam kata pengantar pada sebuah edisi selanjutnya, Vonnegut menulis: "[sesungguhnya] diri kita sejatinya adalah apa yang kita pura-purakan, sehingga kita mesti berhati-hati tentang apa yang kita pua-purakan".[40] Kritikus sastra Lawrence Berkove menganggap bahwa novel ini, seperti karya Mark Twain Adventures of Huckleberry Finn, sebagai sebuah karya yang menggambarkan "seorang peniru yang terbawa hanyut oleh tiruannya sendiri; menjadi sesuatu yang mereka tiru dan hidup dalam dunia ilusi".[41] Cerita pendek "Harrison Bergeron" berlatar masa depan yang distopian di mana semua orang tingkatnya setara, meskipun itu berarti merusak kecantikan orang-orang yang cantik dan memaksa orang-orang yang kuat atau pintar untuk memakai suatu perangkat yang mengurangi kekuatan atau kepintaran mereka. Harrison, seorang bocah umur empat belas tahun, adalah seorang atlet jenius yang dipaksa untuk memakai "alat-perintang" yang membuat kelebihan pribadinya berkurang dan kemudiand dipenjara karena berupaya untuk menjatuhkan pemerintah. Ia melarikan diri ke sebuah studio televisi, mencabut alatnya, dan membebaskan seorang ballerina dari beban buatan yang disandangnya. Sembari menari, mereka berdua dibunuh oleh "Jenderal Pemberi-Rintang" Diana Moon Glampers.[42] Dalam sebuah surat yang ditulis di kemudian hari, menyatakan bahwa watak "Harrison Bergeron" boleh jadi berasal dari rasa iri dan mengasihani diri sendiri yang pernah ia rasakan sebagai seorang bocah SMA yang tak cocok di mana pun. Stanley Schatt dalam biografi tahun 1976 tentang Vonnegut mencatat bahwa cerpen ini mengajarkan bahwa "dalam segala upaya untuk menyetarakan sesuatu, Vonnegut berpandangan bahwa yang akan hilang adalah kecantikan, keanggunan, dan kebijaksanaan".[43] Darryl Hattenhauer, dalam sebuah jurnal tahun 1998, berteori bahwa cerpen ini merupakan sebuah satira atas ketidakpahaman masyarakat Amerika era Perang Dingin akan komunisme dan sosialsme.[43] Tentang Cat's Cradle (1963), Allen mencatat, "Vonnegut mulai menemukan langkah yang tepat buat kali pertama".[44] Sang narator dalam novel ini, John, bermaksud untuk menulis tentang Dr. Felix Hoenikkar, salah satu penemu bom atom, untuk mengetahui sisi manusiawi sang ilmuwan. Selain atas kontribusinya pada pengembangan bom atom, Hoenikker juga telah mengembangkan satu produk lain yang berpotensi mengancam umat manusia: ice-9, semacam air padat yang stabil dalam suhu ruangan; jika satu partikel darinya tumpah ke air, seluruhnya akan menjadi ice-9. Sebagian besar bagian kedua buku ini dihabiskan membahas San Lorenzo, sebuah pulau di Karibia, tempat John meliput sebuah agama bernama Bokononisme, yang kitab sucinya dapat memberikan para pembacanya sesuatu yang tak dapat ditawarkan oleh dasar-dasar ilmu pengetahuan. Selepas lautan berubah menjadi ice-9 dan menyapu bersih sebagian besar umat manusia, John berjalan di atas permukaan laut yang beku, berupaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri beserta kisahnya.[45][46] Vonnegut mengambil insiprasi Mr. Rosewater di God Bless You, Mr. Rosewater (1964) pada seorang akuntan yang ia kenal di Cape Cod, yang memiliki spesialisasi bekerja untuk klien yang sedang dalam masalah dan kerap kali harus membuat mereka nyaman. Eliot Rosewater, putra seorang senator Partai Republik yang kaya-raya, berupaya untuk menebus tindakannya membunuh seorang pemadam kebakaran tak berdosa di masa perang dengan bertugas sebagai sukarelawan pada sebuah dinas pemadam kebakaran, dan juga memberikan uang sedekah pada orang yang sedang memerlukan. Rosewater tidak berdaya melawan stres yang ditimbulkan atas pertelingkahan mengenai yayasan amalnya, dan ia terpaksa dimasukkan ke dalam sebuah rumah sakit jiwa. Ia pada akhirnya sembuh, dan mengakhiri pertelingkahan itu dengan mengumumkan bahwa seluruh anak di wilayahnya sebagai ahli warisnya.[47] Allen menilai bahwa God Bless You, Mr. Rosewater merupakan sebuah "jeritan jiwa" alih-alih sebuah "novel yang berada di bawah kendali intelektual penulis sepenuhnya"; dan bahwa novel itu menggambarkan tekanan emosional dan keluarga yang dialami Vonnegut pada saat itu.[48] Slaughterhouse-FiveVonnegut menghabiskan waktu hampir dua tahun menghadiri Iowa Writers' Workshop di Universitas Iowa, di mana ia mengajar satu mata kuliah setiap semesternya. Pada bulan Maret 1967, saat ia sudah mulai menjadi seorang penulis terkenal, ia mendapatkan Guggenheim Fellowship untuk mengadakan penelitian di Jerman. Vonnegut mengadakan perjalanan ke beberapa negara di Eropa Timur, termasuk ke Dresden, di mana ia menemukan banyak bangunan di kota itu masih belum dibangun kembali. Pada saat mengalami pengeboman di sana, ia belum benar-benar mengetahui skala kerusakan yang terjadi atas kota itu; ia baru sadar setelah itu dan percaya bahwa sekitar 135,000 orang tewas akibat pengeboman. [49][d] Vonnegut telah menulis tentang pengalamannya di medan perang di Dresden sejak ia pulang ke Amerika Serikat, namun belum dapat untuk menulis apapun yang ia anggap layak terbit. Bab I Slaughterhouse-Five menceriterakan kesulitannya ini.[51] Novel yang diterbitkan pada tahun 1969 ini menaikkan pamor Vonnegut.[52] Novel ini bercerita tentang kisah hidup Billy Pilgrim, seorang tokoh yang selamat dari pengeboman atas Dresden dan lahir pada tahun 1922 (kedua ciri ini mirip dengan Vonnegut). Plot novel ini diceriterakan secara nonlinear, sehingga banyak dari klimaks ceriteranya (kematian Billy pada tahun 1976, penculikannya oleh para alien dari planet Tralfamadore, dan eksekusi mati sahabatnya Edgar Derby di reruntuhan kota Dresden karena mencuri sebuah pot teh) terkuak di halaman-halaman awal.[51] Pada tahun 1970, ia juga pernah menjadi koresponden Biafra pada saat Perang Sipil Nigeria.[53][54] Slaughterhouse-Five umumnya disambut positif oleh para kritikus. Michael Crichton di The New Republic menulis bahwa "ia menulis tentang hal-hal yang paling menyakitkan: novel-novelnya menyerang ketakutan terdalam kita akan otomatisasi dan bom, kesalahan politik terdalam kita, kebencian dan cinta kita yang paling ganas. Tidak ada orang lain yang menulis buku tentang hal seperti ini, yang tidak dapat diakses oleh para novelis normal."[55] Novel ini memuncaki daftar The New York Times Best Seller. Karya-karya Vonnegut sebelumnya banyak disukai oleh para mahasiswa, dan pesan anti-perang yang disampaikan oleh Slaughterhouse-Five disambut antusias oleh sebuah generaasi yang terdampak oleh Perang Vietnam. Ia kemudian menyatakan bahwa hilangnya kepercayaan terhadap pemerintah Amerika Serikat, yang disebabkan oleh perang di sana, pada akhirnya membuka jalan bagi percakapan yang jujur mengenai peristiwa-peristiwa sebelumnya, seperti yang terjadi di Dresden.[52] Akhir karir dan kehidupanRequiem (ending)
–Kurt Vonnegut, A Man Without a Country, 2005 Terbitnya Slaughterhouse-Five memberikan Vonnegut ketenaran dan keamanan finansial yang cukup. Ia dipuji sebagai pahlawan gerakan anti-perang yang sedang berkembang di Amerika Serikat, diundang untuk berbicara di berbagai unjuk rasa, dan memberikan pidato wisuda di berbagai perguruan tinggi.[57] Ia sempat mengajar di Universitas Harvard sebagai dosen mata kuliah penulisan kreatif pada tahun 1970 dan di City College of New York selama tahun ajaran 1973-1974.[58] Ia kemudian terpilih sebagai wakil presiden National Institute of Arts and Letters, dan dianugerahi gelar kehormatan oleh beberapa kampus seperti Indiana University dan Bennington College. Vonnegut juga menulis sebuah naskah drama berjudul Happy Birthday, Wanda June, yang dipentaskan pertama kali pada pada tanggal 7 Oktober 1970, di Theatre de Lys, New York. Drama ini menerima ulasan yang beragam dan ditutup pada 14 Maret 1971. Pada tahun 1972, Universal Pictures mengadaptasi Slaughterhouse-Five menjadi sebuah film; Vonnegut berpendapat bahwa adaptasi tersebut bisa dikatakan “tanpa cela”.[59] Sebaliknya itu, kehidupan pribadi Vonnegut menjadi buruk. Istrinya Jane memeluk agama Kristen, membuatnya bertentangan dengan keyakinan ateis Vonnegut. Sementara lima dari enam anak mereka telah meninggalkan rumah, Vonnegut mengatakan bahwa mereka berdua dipaksa untuk mencari “pekerjaan lain yang tampaknya penting untuk dilakukan.” Pasangan ini bertengkar karena perbedaan keyakinan mereka hingga Vonnegut keluar dari rumah mereka di Cape Cod ke New York pada tahun 1971. Ia menyebut perselisihan itu “menyakitkan”, dan mengatakan bahwa perpecahan yang terjadi merupakan “kecelakaan yang mengerikan dan tak terhindarkan yang tidak dapat kami pahami.”[57] Pasangan ini bercerai, namun mereka tetap berteman hingga wafatnya Jane pada akhir tahun 1986.[60][57] Ditambah, Vonnegut amat terpengaruh ketika putranya Mark mengalami gangguan mental pada tahun 1972, yang memperburuk depresi kronis Vonnegut dan membuatnya mengonsumsi Ritalin. Ketika ia berhenti mengonsumsi obat tersebut pada pertengahan 1970-an, ia mulai berkonsultasi dengan psikolog secara teratur setiap minggu.[59] Peristiwa-peristiwa keluarga ini membuat karier kepenulisan Vonnegut terdampak. Novel berikutnya, Breakfast of Champions, ditulis dengan sangat lambat. Pada tahun 1971, Vonnegut berhenti menuliskannya sama sekali.[59] Ketika akhirnya diterbitkan pada tahun 1973, novel ini ditanggapi secara kritis. Dalam buku Thomas S. Hischak, American Literature on Stage and Screen, Breakfast of Champions disebut “lucu dan aneh”, tetapi para pengulas mencatat bahwa novel ini “tidak memiliki substansi dan tampaknya merupakan latihan dalam permainan sastra.”[61] Novel selanjutnya terbit pada tahun 1976, berjudul Slapstick, yang merenungkan hubungan antara dia dan saudara perempuannya (Alice), mengalami nasib yang sama di tangan para pengulas. Dalam ulasan The New York Times, Christopher Lehmann-Haupt mengatakan bahwa Vonnegut “sepertinya kurang berusaha dalam [bercerita] dibandingkan sebelumnya”, dan bahwa “sepertinya ia telah berhenti bercerita.”[62] Pada tahun 1979, Vonnegut menikahi Jill Krementz, seorang fotografer yang ia temui ketika ia mengerjakan sebuah seri tentang penulis di awal tahun 1970-an. Bersama Jill, ia mengadopsi seorang anak perempuan, Lily, saat ia baru berusia tiga hari.[63] Pada tahun-tahun berikutnya, popularitasnya meningkat saat ia menerbitkan beberapa buku satir, termasuk Jailbird (1979), Deadeye Dick (1982), Galápagos (1985), Bluebeard (1987), dan Hocus Pocus (1990). Meskipun ia tetap produktif menulis pada tahun 1980-an, Vonnegut berjuang melawan depresi dan mencoba bunuh diri pada tahun 1984.[64] Dua tahun kemudian, Vonnegut memerankan dirinya sendiri dalam film Rodney Dangerfield, Back to School.[65] Novel terakhirnya, Timequake (1997), diulas profesor sejarah Universitas Detroit dan penulis biografi Vonnegut, Gregory Sumner, sebagai suatu “refleksi dari seorang pria tua yang menghadapi kematian dan kesaksian atas keyakinan yang diperjuangkan dalam ketahanan kesadaran dan agensi manusia.”[66] Buku terakhir Vonnegut, kumpulan esai berjudul A Man Without a Country (2005), adalah salah satu buku terlarisnya.[56] Kematian dan warisan
Dalam sebuah wawancara dengan Rolling Stone tahun 2006, Vonnegut dengan sinis menyatakan bahwa ia akan menuntut perusahaan tembakau Brown & Williamson, pembuat rokok bermerek Pall Mall yang telah ia hisap sejak ia berusia sekitar 12 atau 14 tahun, atas dasar iklan yang tidak benar: “Dan tahukah Anda mengapa? Karena saya sudah berusia 83 tahun. Dasar pembohong! Di kemasannya Brown & Williamson berjanji akan membunuh saya.”[67] Vonnegut meninggal di Manhattan pada malam hari tanggal 11 April 2007, akibat cedera otak yang dideritanya beberapa minggu sebelumnya setelah terjatuh di rumahnya.[56][68] Ia wafat pada usia 84 tahun.[56] Di akhir hayatnya, ia telah menulis empat belas novel, tiga kumpulan cerita pendek, lima naskah drama, dan lima buku nonfiksi.[67] Sebuah buku yang terdiri dari karya-karyanya yang belum pernah diterbitkan, Armageddon in Retrospect, disusun dan diterbitkan oleh putranya, Mark, pada tahun 2008.[69] Ketika ditanya mengenai pengaruh Vonnegut terhadap karyanya, penulis Josip Novakovich mengatakan bahwa ia “banyak belajar dari Vonnegut: bagaimana cara memadatkan sesuatu tanpa mengorbankannya, bagaimana cara menyimpang ke dalam sejarah, mengutip berbagai catatan sejarah, dan tidak menghambat narasi. Kemudahannya dalam menulis sungguh luar biasa, seperti Mozart.”[70] Kolumnis Los Angeles Times, Gregory Rodriguez, mengatakan bahwa ia akan “dikenang sebagai kritikus sosial yang sangat humoris dan novelis utama angkatan counterculture”.[56] Selepas wafatnya, Vonnegut mengilhami banyak penghargaan. Pada tahun 2008, Kurt Vonnegut Society didirikan,[71] dan pada bulan November 2010, Museum dan Perpustakaan Kurt Vonnegut dibuka di kota kelahiran Vonnegut, Indianapolis. Library of America menerbitkan ringkasan komposisi Vonnegut antara tahun 1963 dan 1973 dan ringkasan karya-karya terdahulunya. Pada akhir tahun 2011, dua biografi Vonnegut diterbitkan: Unstuck in Time oleh Gregory Sumner dan And So It Goes oleh Charles J. Shields.[72] Biografi Vonnegut yang ditulis oleh Shields menimbulkan kontroversi. Menurut The Guardian, buku ini menggambarkan Vonnegut sebagai sosok yang kejam dan jahat. “Kejam, jahat, dan menakutkan adalah kata sifat yang biasa digunakan untuk mendeskripsikannya oleh teman, kolega, dan kerabat yang dikutip oleh Shields,” kata Wendy Smith dari The Daily Beast. “Menjelang akhir hayatnya, dia sangat lemah, sangat tertekan dan hampir murung,” kata Jerome Klinkowitz dari University of Northern Iowa, yang meneliti Vonnegut secara mendalam.[73] Karya-karya Vonnegut telah menimbulkan kemarahan masyarakat. Novelnya yang paling terkenal, Slaughterhouse-Five, tidak diterima di berbagai institusi setidaknya dalam 18 kasus.[74] Dalam kasus Island Trees School District v. Pico, Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa larangan dinas pendidikan setempat terhadap Slaughterhouse-Five (yang disebut sebagai karya “anti-Amerika, anti-Kristen, anti-Semit, dan sangat menjijikkan”) bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Ketika dinas pendidikan setempat di Republic, Missouri, memutuskan untuk menarik novel Vonnegut dari perpustakaan mereka, Kurt Vonnegut Memorial Library menawarkan salinan gratis kepada semua siswa di wilayah tersebut.[74] Science Fiction and Fantasy Hall of Fame melantik Vonnegut sebagai anggotanya pada tahun 2015.[75][76] Asteroid 25399 Vonnegut dinamai untuk menghormatinya.[77] Sebuah kawah di planet Merkurius juga dinamai untuk menghormatinya.[78] Pada tahun 2021, Museum dan Perpustakaan Kurt Vonnegut di Indianapolis ditetapkan sebagai Literary Landmark oleh Literary Landmarks Association.[79] Pada tahun 1986, perpustakaan Universitas Evansville di Evansville, Indiana, dinamakan untuk menghormati Vonnegut.[80] KaryaDaftar ini hampir seluruhnya diambil dari buku Thomas F. Marvin, Kurt Vonnegut: A Critical Companion (2002), dan tahun di dalam kurung menunjukkan kapan karya tersebut pertama kali diterbitkan:[81] Novel
Koleksi cerita pendek
Non-fiksi
Wawancara
Karya seni
Nominasi dan penghargaan
ReferensiRujukan
Sumber
Pranala luar
|