Laporan Chilcot
Laporan Chilcot (nama berasal ketua komite, Sir John Chilcot)[1][2] adalah hasil penyelidikan publik mengenai keterlibatan Britania Raya selama Perang Irak. Penyelidikan ini diumumkan pada 15 Juni 2009 oleh Perdana Menteri Gordon Brown. Penyelidikan ini dilakukan oleh komite yang berasal dari Dewan Penasihat Britania Raya dengan berbagai keahlian di bidang tertentu untuk meninjau keterlibatan Britania Raya di Irak selama pertengahan tahun 2001 hingga Juli 2009. Penyelidikan mencakup eskalasi menuju konflik, aksi militer selama di Irak, dan setelah keterlibatan, dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana keputusan dibuat, untuk menentukan apa yang terjadi selama di sana, dan mencari pembelajaran agar jika dihadapkan pada situasi yang serupa di akan datang, pemerintah Britania Raya dapat merespons dengan cara yang efektif.[3] Sidang terbuka dari penyelidikan ini dimulai pada 24 November 2009 dan selesai pada 2 Februari 2011. Pada tahun 2012, pemerintah memveto rilis dokumen mengenai rapat Kabinet ketika hari-hari menjelang invasi Irak pada tahun 2003 untuk penyelidikan. Bersamaan dengan hal itu, Kantor Luar Negeri Britania Raya berhasil mengajukan banding atas putusan hakim dan menghalangi pengungkapan percakapan antara George W. Bush dan Tony Blair sehari sebelum invasi. Pemerintah menyatakan pengungkapan percakapan tersebut akan mengganggu hubungan Britania Raya-Amerika Serikat.[4] Laporan dari Penyelidikan tersebut seharusnya dirilis ke masyarakat umum pada tahun 2014,[5] tetapi perundingan dengan Amerika Serikat yang sulit mengenai publikasi dokumen tersebut terus berlanjut.[6] Lord-in-Waiting Lord Wallace of Saltaire, atas nama pemerintah, mengatakan bahwa mempublikasikan laporan ketika menjelang pemilihan umum Mei 2015 bukanlah hal yang tepat.[7] Pada bulan Agustus 2015, agenda mengenai Laporan Penyelidikan tersebut akan tertunda, mungkin hingga 2016, karena persyaratan hukum "Maxwellisasi", sehingga setiap orang yang dikritik dalam Laporan Penyelidikan tersebut dapat menyampaikan tanggapan atas kritik tersebut sebelum finalisasi dan publikasi laporan tersebut.[8] Chilcot menulis surat kepada David Cameron di bulan Oktober 2015, menyampaikan bahwa Laporan tersebut bisa selesai di bulan April 2016, dan diusulkan untuk dirilis pada bulan Juni atau Juli 2016.[9] Pada tanggal 6 Juli 2016 Sir John Chilcot mempublikasikan laporan tersebut, setelah penyelidikan diumumkan lebih dari tujuh tahun yang lalu.[10] Laporan tersebut menyatakan bahwa Saddam Hussein bukanlah ancaman yang mendesak bagi kepentingan Inggris, hasil intelijen mengenai senjata pemusnah massal sangatlah lemah dan penuh ketidakpastian, bahwa masih ada kemungkinan untuk berdamai dengan Irak, Britania Raya dan Amerika Serikat tidak mengindahkan kewenangan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan bahwa perang di Irak adalah perang yang tidak perlu.[11][12] Memulai penyelidikanAwalnya Perdana Menteri Gordon Brown mengumumkan kalau Penyelidikan ini akan diselenggarakan secara tertutup. Namun, keputusan itu ditolak Sir John Chilcot, ketua komite penyelidikan, yang mengatakan penyelidikan ini "penting untuk mengadakan proses penyelidikan secara terbuka untuk umum".[13][14] Pada bulan Juli 2009, ketika penyelidikan dimulai, diumumkan jika komite dapat meminta dokumen apapun kepada pemerintah Britania Raya dan dapat memanggil setiap warga Britania Raya untuk memberikan bukti.[15] Seminggu sebelum komite memulai agenda mendengarkan keterangan dari saksi, serangkaian dokumen termasuk laporan militer bocor ke redaksi media yang menunjukkan buruknya perencanaan pasca-perang.[16] Anggota komiteAnggota komite penyelidikan yang dipilih oleh Gordon Brown,[17] terdiri dari:[18][19]
Penasihat komite
Proses penyelidikanKetika penyelidikan diumumkan pada 15 Juni 2009 oleh Perdana Menteri Gordon Brown, proses penyelidikan akan berlangsung secara tertutup, keputusan tersebut dibatalkan setelah menerima kritik oleh media dan Dewan Rakyat.[18][23][24] Penyelidikan dimulai pada bulan Juli 2009, dengan sidang dengar pendapat terbuka dimulai pada 24 November 2009 dengan mendengarkan keterangan dari saksi Peter Ricketts, ketua Komite Gabungan Intelijen selama invasi Irak. Pada pembukaan sidang, Sir John Chilcot mengatakan penyelidikan ini tidak mencari siapa yang dapat dipersalahkan, tetapi untuk "mengetahui apa yang terjadi selama invasi".[25] Komite melanjutkan sidang dengar pendapat di bulan Januari 2011 dengan memanggil mantan perdana menteri, Tony Blair, sebagai saksi utama. Protokol 29 OktoberPada tanggal 29 Oktober 2009, Pemerintah Britania Raya menerbitkan Protokol mengenai perlakuan terhadap informasi yang sensitif baik berupa tulisan maupun elektronik.[26] Bukti yang tidak akan dirilis ke publik termasuk kemungkinan akan menyebabkan:
SaksiSelama proses penyelidikan, komite telah mendengar keterangan dari berbagai saksi, seperti politisi, termasuk beberapa menteri ketika waktu invasi; pegawai negeri senior, termasuk pengacara dan kepala intelijen; diplomat yang sebagian besar merupakan duta besar Britania Raya untuk Irak dan Amerika Serikat; dan perwira tinggi militer termasuk mantan Kepala Staf Umum dan Kepala Staf Pertahanan serta panglima operasi senior.[25] Saksi kunci antara lain Sir Christopher Meyer, mantan duta besar Britania Raya untuk Amerika Serikat yang memberikan keterangan pada tangal 26 November; Laksamana Lord Boyce, mantan Kepala Staf Pertahanan; Sir John Scarlett, Kepala SIS; Mayor Jenderal Tim Cross, dan Marsekal Sir Brian Burridge, komandan pasukan Britania Raya selama invasi. Mantan Perdana Menteri Tony Blair diinterogasi oleh penyelidik pada 29 Januari 2010 dan tanggal 21 Januari 2011.[27] Pada proses ini terdapat aksi unuk rasa di luar tempat persidangan.[28] Karena ketertarikan masyarakat terhadap keterangan Blair, kuota akses publlik untuk menghadiri sidang dengar pendapat harus diundi.[29] kuota khusus dialokasikan untuk keluarga dekat korban perang, beberapa di antaranya berteriak marah kepada Blair selama persidangan kedua.[28] Selama proses penyelidikan di bulan Januari 2010, mayoritas dari agenda penyelidikan berupa mendengar keterangan dari politisi dan mantan pejabat pemerintah, termasuk Alastair Campbell, direktur komunikasi dari Tony Blair. Gordon Brown harus menarik klaim pengeluaran untuk pertahanan meningkat setiap tahun selama perang Irak, karena ditemukan tidak ada kejadian tersebut.[30] Setelah reses agar tidak mempengaruhi pemilihan umum, penyelidikan dilanjutkan dengan dengar pendapat pada 29 Juni 2010. Saksi pertama adalah Douglas Brand, kepala penasihat polisi untuk Kementerian Dalam Negeri Irak tahun 2003-2005.[31] Saksi terakhir memberikan keterangan pada 2 Februari 2011, Jack Straw, Menteri Luar Negeri tahun 2001-2006.[32] TemuanLaporan penyelidikan tersebut – dideskripsikan oleh BBC News sebagai "laporan yang memberatkan",[33] oleh The Guardian sebagai "vonis berat",[11] dan oleh The Telegraphsebagai "tajam"[12] – secara luas mengkritik aksi pemerintah dan militer Britania Raya untuk terlibat dalam perang, dan dalam perencanaan setelah Perang Irak.[34][11][12] Richard Norton-Taylor dari The Guardian menulis bahwa laporan itu "sangat memberatkan" Tony Blair.[35] Sebab untuk berperang tidak kuatLaporan tersebut menemukan bahwa sebenarnya masih ada opsi damai untuk menghindari ketidakstabilan dan proliferasi WMD, dan perang merupakan "opsi terakhir".[34][11] Intervensi mungkin akan diperlukan nanti, tetapi di bulan Maret 2003 Saddam Hussein tidak menimbulkan ancaman serius dan mayoritas anggota Dewan Keamanan PBB mendukung kelanjutan dari inspeksi dan pemantauan senjata oleh PBB.[34] Dasar hukum untuk berperang "jauh dari kata memuaskan"Penyelidikan ini bukanlah tentang legalitas aksi militer dan tidak mengatur berbagai pihak karena bukanlah mahkamah yang diakui secara internasional. Namun, laporan tersebut mengkritik proses pencarian dasar hukum untuk berperang, dideskripsikan "jauh dari memuaskan".[34] Lord Goldsmith yang merupakan Jaksa Agung, seharusnya memberikan keterangan tertulis secara rinci pada Kabinet, tapi justru hanya diminta untuk memberikan keterangan lisan tanpa pertanyaan lebih lanjut, dan dia tidak menjelaskan apa dasar yang digunakan untuk menentukan apakah Irak telah melanggar Resolusi Dewan Keamanan PBB 1441.[36] Yang pada akhirnya ikut berperang tanpa resolusi Dewan Keamanan.[37] Britania Raya terlalu percaya diri dapat mempengaruhi keputusan AS di IrakLaporan tersebut menemukan bahwa Blair berusaha membujuk Bush untuk mencari dukungan di PBB, sekutu Eropa, dan negara Arab, tetapi dia "terlalu percaya diri dapat mempengaruhi keputusan AS di Irak".[34][11] Laporan tersebut menuduh Blair terlalu lembut terhadap AS, mengatakan: "Meskipun dia khawatir terhadap rencana AS, dia tidak membuat suatu perjanjian mengenai rencana setelah konflik yang lebih baik sebagai syarat keterlibatan Britania Raya dalam aksi militer",[37] dan justru menulis memo pribadi ke Bush yang berisi "saya akan bersama anda apapun yang terjadi".[34][11] Berbeda dengan yang Tony Blair katakan, Chilcot menemukan bahwa Hubungan Istimewa tidak memerlukan perjanjian tak terbantahkan antara Britania Raya dan AS, dan laporan mencontohkan beberapa kejadian ketika kedua negara tersebut bertentangan tanpa merusak hubungan diplomatik jangka panjang seperti Perang Vietnam dan Perang Falkland.[11] Persiapan dan perencanaan perang "tidak memadai"Laporan tersebut menemukan fakta bahwa perencanaan Britania Raya untuk Irak pasca-Saddam Hussein "tidak memadai" dan Kementerian Pertahanan (MoD) meninggalkan pasukan Britania Raya di Irak tanpa peralatan dan rencana yang memadai.[38][34] Tidak ada pengawasan kementerian mengenai strategi pasca-konflik.[36] Perencanaan awal untuk perang berasumsi invasi dilakukan dari arah utara, namun Turki menolak permohonan perizinan pasukan UK dapat melewati perbatasan di Turki.[38] Rencana akhirnya ditulis ulang dua bulan sebelum perang dimulai dengan tidak cukup waktu untuk menilai bahaya atau mempersiapkan pasukan.[38] Tentara tidak diberikan peralatan yang memadai, dan jumlah helikopter, kendaraan lapis baja, dan hasil pengintaian sangatlah terbatas.[34] Di samping itu, MoD merespon lambat akan ancaman bom rakitan.[37] Meskipun pejabat militer telah dijelaskan mengenai risiko perang, laporan ini menemukan bahwa ini risiko tersebut tidak dimasukkan dalam perencanaan. "Risiko dari perselisihan internal di Irak, pergerakan Iran untuk mengejar kepentingannya, ketidakstabilan regional, dan aktivitas Al Qaeda di Irak-sebenarnya telah dijelaskan secara eksplisit sebelum invasi".[37] Laporan ini juga menggambarkan situasi di kota Basra, di mana pasukan Inggris dipaksa untuk membuat kesepakatan dengan para pemberontak untuk mengakhiri serangan terhadap pasukan Inggris, yang dianggap sebagai tindakan yang "memalukan".[37] Aksi militer tidak mencapai tujuannyaMenurut laporan ini, aksi militer Britania Raya tidak mencapai tujuannya,[34] dan Baghdad serta tenggara Irak menjadi tidak stabil dengan cepat ketika invasi.[11] Pada saat itu, Britania Raya juga terlibat dalam Perang di Afganistan dan komandan militer merasa bahwa ada lebih banyak potensi untuk sukses di sana, yang menyebabkan peralatan, jumlah tentara, dan fokus komandan dialihkan dari Irak ke Afganistan, sehingga tentara di Irak mengalami kesulitan.[38] Akibat dari penyelidikanSetelah laporan penyelidikan dikeluarkan, Blair mengakui bahwa laporan yang dibuat sebagian benar, tetapi merujuk bagian laporan di mana Blair mengatakan "harus diam untuk meredam tuduhan sebagai pembohong atau penipu." Dia berkomentar: "tidak peduli apakah orang setuju atau tidak setuju dengan keputusan saya untuk melakukan tindakan militer terhadap Saddam Hussein; saya melakukannya dengan niat baik dan dengan yang saya yakini akan menjadi kepentingan yang terbaik untuk negera ini. ... saya akan bertanggungjawab penuh untuk setiap kesalahan tanpa pengecualian atau alasan. Saya di waktu yang sama selalu bertanya mengapa, namun, saya percaya bahwa lebih baik untuk menyingkirkan Saddam Hussein dan mengapa saya tidak percaya hal ini adalah penyebab terorisme yang kita lihat saat ini di Timur Tengah atau di tempat lain di dunia ini."[39] Setelah laporan penyelidikan dikeluarkan, Jeremy Corbyn, pemimpin oposisi dan pemimpin Partai Buruh, memberikan pidato di Westminster menyatakan: "sekarang saya minta maaf atas nama partai saya terhadap keputusan yang buruk untuk berperang di Irak pada bulan Maret 2003." Corbyn secara khusus meminta maaf kepada "rakyat Irak"; untuk keluarga tentara Britania Raya yang tewas atau terluka di Irak; dan "jutaan warga Britania yang merasakan demokrasi kita diinjak-injak oleh dari mana keputusan untuk berperang diambil."[40] KritikWaktu dari penyelidikan—dan terutama bahwa mereka tidak akan mengeluarkan laporan sampai setelah pemilihan umum 2010—menimbulkan kontroversi.[14] Dalam perdebatan di parlemen selama pembentukan rencana penyelidikan, anggota parlemen dari semua partai mengkritik pilihan pemerintah untuk anggota penyelidik.[41] Liberal Demokrat mengkritik saat dengar pendapat pertama dimulai, ketua partai Nick Clegg menuduh pemerintah menghambat penyelidikan, merujuk pada kewenangan yang diberikan kepada departemen pemerintah untuk memveto sebagian dari laporan akhir. Sementara itu, kelompok anti-perang melancarkan demonstrasi di luar gedung penyelidikan.[42][43] Kritik juga mengangkat masalah keahlian komite, terutama yang berkaitan dengan masalah legalitas oleh hakim senior.[44] Pada 22 November 2009, mantan Duta besar Britania Raya Oliver Mil menerbitkan artikel di The Independent pada hari Minggu,[45] artikel tersebut mempertanyakan penunjukan sejarawan Britania Raya untuk panel penyelidikan karena sebelumnya mereka mendukung Israel. Dalam kabel diplomatik dari kedutaan AS di London, dirilis sebagai bagian dari Cablegate, Jon Day, direktur jenderal untuk kebijakan keamanan di Kementerian Pertahanan Britania Raya dikabarkan telah memberi janji ke AS untuk "memberikan langkah-langkah untuk melindungi kepentingan anda" mengenai penyelidikan.[46] Hal Ini telah diterjemahkan sebagai indikasi bahwa penyelidikan dibatasi "untuk meminimalkan rasa malu untuk Amerika Serikat."[47][48] Pada tahun 2012, Jaksa Agung Dominic Grieve dikritik ketika dia memveto rilis dokumen pertemuan Kabinet pada hari-hari menjelang invasi Irak pada tahun 2003 untuk penyelidikan. Kemudian, Kantor Luar Negeri Britania Raya berhasil mengajukan banding terhadap putusan hakim sehingga menghalangi pengungkapan pembicaraan antara Bush dan Blair saat-saat sebelum invasi. Pemerintah Britania Raya menyatakan bahwa pengungkapan isi pembicaraan antara Bush dan Blair saat-saat sebelum invasi dapat merusak hubungan Britania Raya-Amerika Serikat.[4] Panjangnya waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan laporan, yang dipandang banyak orang terlalu lama, secara luas dikritik banyak pihak.[49][50][51] Referensi
Pranala luar
|