Liminalitas
Liminalitas dalam antropologi adalah status ketaksaan yang didapatkan seseorang melalui dan dalam ritual; tidak bertempat di sini atau di sana dan tidak memiliki posisi jelas seperti ditetapkan hukum, tradisi, atau konvensi.[1] Bermula dari pemikiran ahli etnografi Arnold van Gennep, konsep ini dikembangkan disiplin antropologi untuk menjelaskan berbagai fenomena seperti marjinalitas, alteritas, pemberontakan, pengucilan, subaltern, polusi, keeksentrikan, dan penyimpangan.[2] Konsep liminalitas nantinya dikembangkan oleh beberapa antropolog seperti Victor Turner, Max Gluckman, Edmund Leach, Mary Douglas, dan signifikansinya untuk menjelaskan fenomena berskala luas seperti revolusi atau perubahan sosial telah diajukan oleh Turner, Shmuel Eisenstadt, dan Arpád Szakolczai.[2][3] Kata liminalitas berasal dari kata Latin untuk ambang (limen), dan mengacu pada kondisi yang memiliki status seperti celah atau lubang, atau sebagai perantara sesuatu.[2] Oleh van Gennep, liminalitas merujuk pada ritus peralihan yang ada pada masyarakat kecil di mana para pelakunya menjalani masa transisi dengan meninggalkan lingkungan asalnya sampai kembali bergabung dengan komunitasnya.[3] Dari pola tersebut, liminalitas adalah tahap tengah yang menghubungkan tahap separasi, atau tahap perpisahan individu dari komunitas, dengan tahap reintegrasi, atau tahap kembalinya individu menjadi bagian dalam struktur komunitas.[3] Perjalanan individu dari tahap ke tahap secara 'resmi' juga dilangsungkan oleh upacara khusus.[2] Fase liminal berisi aktivitas di mana individu mempertanyakan identitasnya dan hidup tanpa akomodasi struktur sosial, sembari membangun identitasnya kembali dan mempersiapkan diri masuk kembali ke komunitas dengan status atau peran yang baru.[3] Pada penerapan lain, liminalitas juga digunakan untuk menjelaskan sifat situasi dalam ritus pembalikan hierarki sosial yang berfungsi melepas tegangan dalam kesenjangan sosial sebelum hierarki ditegakkan kembali; sebagai ciri wilayah perantara dan media yang memediasi komunikasi antar lingkungan berbeda; status unsur yang disingkirkan oleh klasifikasi dan sistematisasi yang dibuat manusia sebagai 'zat' kotor yang mencemari tatanan namun menyimpan kekuatan dahsyat yang hanya bisa dijinakkan dan didayagunakan lewat ritual.[2] Referensi
|