Filsuf Martin Heidegger bergabung dengan Partai Nazi (NSDAP) pada tanggal 1 Mei 1933, sepuluh hari setelah diangkat sebagai RektorUniversitas Freiburg. Satu tahun kemudian, pada April 1934, ia mundur dari jabatan rektor dan tidak lagi turut serta dalam pertemuan-pertemuan Partai Nazi, namun tetap menjadi anggota hingga partai tersebut dibubarkan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Program denazifikasi yang diadakan setelah Perang Dunia II membuat Heidegger dipecat dari Universitas Freiburg dan dilarang mengajar. Pada tahun 1949, setelah beberapa tahun diselidiki, militer Prancis pada akhirnya menggolongkan Heidegger sebagai Mitläufer atau "pengikut Nazi".[1] Larangan mengajar baru dicabut pada tahun 1951 dan Heidegger diberi status emeritus pada tahun 1953, tetapi ia tidak pernah diizinkan meneruskan jabatannya di bidang filsafat.
Heidegger merupakan tokoh yang kontroversial karena keterkaitannya dengan Nazisme, sudut pandangnya terhadap orang Yahudi, dan kebungkamannya terhadap peristiwa Holocaust setelah tahun 1945. Schwarze Hefte (Buku Catatan Hitam) yang ditulis olehnya dari tahun 1931 hingga 1941 berisi beberapa pernyataan antisemit.[2] Setelah tahun 1945, Heidegger tidak pernah menerbitkan tulisan apapun mengenai Holocaust, dan hanya menyebutkan "bilik gas dan kamp pemusnahan" satu kali pada tahun 1949 dengan maksud pernyataan yang masih diperdebatkan oleh para ahli.[3] Heidegger tidak pernah meminta maaf[4] dan hanya pernah mengungkapkan penyesalannya satu kali, ketika ia mendeskripsikan jabatannya sebagai rektor dan keterlibatannya dalam dunia politik sebagai "kebodohan terbesar dalam hidupnya" ("die größte Dummheit seines Lebens").[5]
^Daniel Morat: Von der Tat zur Gelassenheit. Göttingen 2007, p. 302. Helmuth Vetter: Grundriss Heidegger. Ein Handbuch zu Leben und Werk. Felix Meiner, Hamburg 2014, hlm. 398.
^Thomas Assheuer (21 March 2014). "Das vergiftete Erbe". Die Zeit (dalam bahasa German).Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^Heinrich Wiegand Petzet Encounters and Dialogues with Martin Heidegger, 1929-1976, 1983 hlm. 37. See also Frédéric de Towarnicki, A la rencontre de Heidegger. Souvenirs d'un messager de la Forêt-Noire, Gallimard 1993 hlm. 125.
^Karl Löwith, Mein Leben in Deutschland vor und nach 1933: ein Bericht (Stuttgart: Metzler, 1986), hlm. 57, translated by Paula Wissing as cited by Maurice Blanchot in "Thinking the Apocalypse: a Letter from Maurice Blanchot to Catherine David", in Critical Inquiry 15:2, hlm. 476–477.
^Arendt, Hannah (Oct 21, 1971). "Martin Heidegger At 80". The New York Review of Books. 17 (6). hlm. 50–54. Diakses tanggal 2013-08-01.
^Arendt, Hannah (1978) [reprint from 1971]. Murray, M., ed. Martin Heidegger at 80. Heidegger and Modern Philosophy. New Haven: Yale University Press. hlm. 293–303.
Hans Jonas: "Heidegger and Theology", The Phenomenon of Life: Toward a Philosophical Biology (Evanston, Illinois: Northwestern University Press, 2001) ISBN0-8101-1749-5.
Hans Köchler, Politik und Theologie bei Heidegger. Politischer Aktionismus und theologische Mystik nach "Sein und Zeit". Innsbruck: AWP, 1991. ISBN3-900719-02-0.
Philippe Lacoue-Labarthe, La fiction du politique, Bourgois, 1987 (translated as Heidegger, Art and Politics).