Share to:

 

Militer Australia dalam konfrontasi Indonesia–Malaysia

Seorang tentara Australia memegang senapan mesin MAG58 saat bertugas jaga di Kalimantan pada tahun 1965

Konfrontasi Indonesia-Malaysia berlangsung pada tahun 1962 sampai 1966 antara negara-negara Persemakmuran Inggris dan Indonesia. Indonesia, di bawah Presiden Soekarno, berusaha untuk mencegah pembentukan Federasi Malaysia pada 1963, sementara Persemakmuran Inggris berusaha untuk mengamankan negara baru itu. Perang berlangsung terbatas, terutama di pulau Kalimantan, meskipun beberapa kali serangan dilakukan oleh Indonesia lewat laut dan udara di Semenanjung Malaysia[1] Sebagai bagian dari komitmen militer Australia untuk keamanan Malaysia, unit-unit angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara Australia ditempatkan di sana, dengan Cadangan Strategis Timur Jauh (FESR) terutama dalam Kelompok Brigade Infanteri Persemakmuran ke-28.

Pemerintah Australia awalnya enggan untuk terlibat dalam konflik, dan pasukan Australia tidak bergabung dalam pertempuran sampai tahun 1964. Namun, keterlibatan Australia mulai tampak pada 1965, setelah permintaan berulang dari Pemerintah Inggris. Pasukan khusus dan batalyon infanteri Australia dikerahkan ke Kalimantan dimana mereka terlibat dalam sejumlah pertarungan dengan unit TNI. Unit-unit tentara lainnya juga dikerahkan termasuk barisan artileri dan para insinyur. Sejumlah kapal perang AL Australia juga berpatroli di perairan Kalimantan dan Malaysia untuk mencegah infiltrasi pihak Indonesia, dan terlibat dalam memukul mundur posisi Indonesia di Kalimantan dan Selat Singapura.[2] Pesawat tempur AU Australia juga ikut berperan, meski relatif kecil.[Note 1]

Latar belakang

Pada awal tahun 1963, Pemerintah Indonesia mengadopsi kebijakan destabilisasi dan memecah Malaysia, yang waktu itu akan segera merdeka dari Inggris pada September 1963. Beberapa kelompok kecil prajurit TNI menyamar sebagai gerilyawan Malaysia, menyusup ke wilayah Malaysia di Kalimantan, untuk menyebarkan propaganda dan melakukan sabotase, dan melakukan beberapa serangan utama terhadap Tentara Malaysia dan pasukan keamanan pangkalan. Banyak serangan yang dilakukan pada tahun 1964, dan tentara Indonesia memperluas konflik secara terbuka dengan mengerahkan pasukan utama dan melakukan penggerebekan di semenanjung Malaysia. Serangan ini makin meningkatkan risiko perang antara Malaysia dan Indonesia.[3]

Selama awal 1960-an, unit-unit militer Australia dipusatkan di Malaysia sebagai bagian dari Cadangan Strategis Timur Jauh. Karena Australia ikut berperan dalam Kedaruratan Malaya antara tahun 1948 dan 1960-an, Pemerintah Australia menjadi enggan untuk terlibat pertempuran dengan Indonesia. Ini karena Australia khawatir pertempuran akan menyebar ke perbatasan antara Indonesia dan teritorial Papua dan Nugini, yang saat itu masih diurus oleh Australia. Dengan demikian, beberapa permintaan dari pemerintah Inggris pada tahun 1963 dan 1964 untuk mengerahkan pasukan ke Borneo, ditolak.

Operasi darat

Semenanjung Malaysia, 1964

Penyusup dari Indonesia ditangkap di dekat Sungai Kesang oleh pasukan Australia

Meskipun awalnya tidak langsung sepakat untuk mengirim pasukan ke Kalimantan, pada April 1964 Pemerintah Australia setuju untuk mengizinkan pasukannya digunakan untuk melindungi Semenanjung Malaysia dari serangan. Mereka juga mengumumkan akan mengutus seorang insinyur konstruksi skuadron ke Kalimantan, serta menyediakan dua kapal laut penyapu ranjau, empat helikopter dan dukungan lain selain unit yang sudah ditempatkan sebelumnya. Sementara itu, pada bulan Juni, Barisan Anti-Pesawat ke-111 dikerahkan ke Butterworth di bagian utara Malaysia untuk menjaga landasan sewaktu-waktu Indonesia tiba-tiba melakukan serangan udara.[4] Batalion Tiga Resimen Tentara Australia (3 RAR), yang berbasis di Kamp Terendak di Malaka, digunakan untuk menjaga dua pangkalan kecil laut dan udara di dekat Labis dan Pontian pada September dan Oktober 1964. Hal ini tampaknya menunjukkan eskalasi serius dalam konflik akan segera terjadi.

Setelah permintaan langsung dari Pemerintah Malaysia pada Januari 1965, Australia akhirnya setuju untuk mengerahkan batalion infanteri ke Kalimantan.[5] Unit mereka tiba di Kalimantan pada awal tahun 1965. Skuadron 1 Resimen Udara Khusus tiba di bulan Februari dan diikuti oleh 3 RAR di bulan Maret. Insinyur juga dikerahkan ke Kalimantan, dimana mereka melakukan pekerjaan di bidang engineering dan tugas-tugas pembangunan, sementara artileri juga ikut dikerahkan.[6][7] Pemerintah Malaysia kemudian meminta batalion kedua, namun hal ini ditolak karena Australia tidak memiliki sumber daya yang dibutuhkan untuk hal itu.

Peta dari Malaysia, wilayah Sarawak diwarnai merah

Selama fase awal perang, pasukan Inggris dan Malaysia hanya berusaha mengontrol perbatasan Malaysia-Indonesia, dan untuk melindungi warga dari serangan tentara Indonesia. Namun, pada saat batalion dari Australia telah dikerahkan, Inggris memutuskan untuk mengambil lebih banyak tindakan agresif, melintasi perbatasan untuk memperoleh informasi dan memaksa Indonesia untuk tetap bertahan di sisi mereka dari perbatasan, di bawah nama sandi Operasi Claret. Pertempuran sering terjadi di medan hutan pegunungan, yang dalam kondisi iklim rentan. Sejumlah fitur yang menjadi ciri khas operasi militer saat itu, termasuk penggunaan yang luas dari basis kompi yang terletak di sepanjang perbatasan, operasi lintas-perbatasan, penggunaan helikopter untuk pergerakan pasukan dan perbekalan, serta peran manusia dan sinyal intelijen dalam membantu menentukan pergerakan musuh.

Kelompok 3 RAR dikerahkan ke Kalimantan pada Maret 1965 dan bertugas di sana sampai akhir Juli. Mereka tercatat melakukan sejumlah operasi di kedua sisi perbatasan. Selama periode ini, 3 RAR adalah salah satu dari 12 batalion di Borneo Malaysia, dan dioperasikan di Sarawak sebagai bagian dari Brigade Barat.[8] Batalion itu menjalankan posisi defensif dan melakukan patroli untuk mendeteksi penyusup. 3 RAR juga menggelar 32 operasi rahasia "Claret" dimana satu atau dua peleton memasuki wilayah Indonesia untuk menyergap pasukan Indonesia. Batalion itu terlibat dalam empat kontak senjata besar dengan pasukan Indonesia dan banyak lagi yang skalanya lebih kecil—termasuk dua penyergapan besar di Sungai Koemba, yang lain di Kindau dan Babang antara Mei dan Juli—semua berakhir sukses. Operasi ini menimbulkan korban signifikan di pihak Indonesia, menjadikan 3 RAR dapat dengan mudah mendominasi daerah perbatasan, serta memberikan peringatan dini terhadap serangan ke Sarawak dan memberikan kontribusi bagi keberhasilan lebih luas untuk pasukan Inggris dan persemakmurannya.[9] Tim 3 RAR menyelesaikan tugasnya pada Agustus 1965 dan kembali ke Kamp Terendak. Tiga anggota mereka tewas akibat ranjau darat selama di Kalimantan.

Selama di Sarawak, 3 RAR didukung oleh artileri dari Barisan Artileri Australia ke-102, yang juga dioperasikan untuk mendukung sejumlah batalion Inggris di Brigade Barat. Barisan itu telah dikerahkan ke Sarawak dari basisnya di Terendak di Malaysia pada akhir April 1965, dan ikut bergabung dalam Resimen ke-4 Inggris. Mereka menggunakan meriam L5, yang secara tidak langsung melakukan serangan api dalam sejumlah operasi Claret di lintas-perbatasan. Pada Oktober 1965, 3 RAR kembali ke Australia, dan digantikan di Terendak oleh Barisan Artileri Australia, meskipun tidak pernah digunakan dalam operasi.[10]

Batalion ke-4 Tentara Australia (4 RAR) tiba di Malaysia pada September 1965 untuk menggantikan 3 RAR, yang kembali ke Australia. Setelah masa pelatihan, batalion dikerahkan ke Sarawak pada April 1966 dimana ia beroperasi dari empat basis kompi di daerah Bau. Waktu itu, perang mulai mereda setelah perundingan perdamaian antara Malaysia dan Indonesia telah dimulai.[11] Seperti 3 RAR, 4 RAR juga melakukan operasi lintas-perbatasan dan bentrok dengan pasukan Indonesia dalam sejumlah kesempatan.[12] Namun, hal itu tidak begitu berarti, dan batalion itu utamanya beroperasi di wilayah Malaysia dimana mereka menghadang jalur dari perbatasan Indonesia. Malaysia dan Indonesia sepakat untuk berdamai pada 11 Agustus, lalu 4 RAR dan unit lainnya di Kalimantan menghentikan operasi pada hari berikutnya. Batalion kembali ke Kamp Terendak pada 30 Agustus. Mereka kehilangan lima anggota di Kalimantan, meskipun hanya satu orang yang tewas saat bertugas.

Australia juga mengerahkan dua skuadron dari resimen udara khusus (SASR) selama konflik, menandai awal operasional dari resimen itu. Skuadron 1 melakukan pengintaian patroli di Sarawak pada Februari hingga Juli 1965, dan menggelar operasi lintas-perbatasan antara Mei dan Juli.[13] Mereka kehilangan jiwa satu anggota mereka pada 2 Juni, ketika Lance-Kopral Paul Denehey ditanduk oleh gajah.[14] Skuadron 2 tiba di Kalimantan pada Januari 1966 untuk waktu empat bulan. Meski saat itu dalam ketegangan operasi Claret, mereka juga melakukan pengintaian patroli dan operasi lintas-perbatasan. Kedua skuadron tercatat melakukan 45 patroli di kedua sisi perbatasan, hingga keduanya ditarik pada bulan Juli.[15] Dua anggota skuadron tenggelam saat mencoba menyeberangi sungai selama patroli pada 20-21 Maret.[16] Patroli SASR juga menimbulkan korban di pihak Indonesia, meskipun Indonesia sering melakukan pengintaian.[17]

Perbatasan Nugini–Indonesia

Selain operasi di Malaysia, pasukan Australia berpatroli di perbatasan Indonesia-Papua Nugini selama konfrontasi. Operasi ini dilakukan oleh Resimen Kepulauan Pasifik (PIR), yang merupakan bagian dari Tentara Australia, diawaki oleh penduduk asli Nugini dan dipimpin oleh perwira Australia. Meskipun hanya terjadi satu insiden kontak antara PIR dan pasukan Indonesia, sejumlah serangan terjadi dan patroli ini–yang sering dilakukan di medan kasar–memicu permintaan cukup besar terhadap sumber daya pertahanan Australia yang terbatas.[18] Pasukan PIR juga diperluas dari satu sampai dua batalyon pada tahun 1963 dalam menanggapi meningkatnya ancaman yang ditimbulkan Indonesia, meskipun batalyon ketiga yang diresmikan pada tahun 1964 tidak terbentuk.[19] Tindakan pencegahan lainnya termasuk pembangunan dan peningkatan sejumlah lapangan terbang di Papua Nugini untuk digunakan oleh AU Australia.[20]

Operasi laut

Keterlibatan Angkatan Laut Australia (RAN) dalam Konfrontasi juga dimulai pada tahun 1964. Saat itu dua kapal perusak dan kapal pengawal Australia selalu berada di perairan Malaysia sebagai bagian dari FESR dan kapal perang lain, termasuk kapal induk HMAS Melbourne, melakukan kunjungan berkala. Kapal perang Australia bertugas sebagai bagian dari armada hingga 80 kapal perang, yang misinya adalah untuk mengalahkan upaya penyusupan dari laut oleh TNI, memberikan bantuan untuk serangan laut, dan mencegah pembajakan.[21]

Kapal perang RAN melakukan patroli pantai di Selat Malaka, Singapura dan Tawau-Wallace Bay area Sabah. Enam kapal penyapu ranjau kelas Ton dari Skuadron ke-16 tiba pada bulan Mei1964 dan sangat berhasil dalam tugas ini. Patroli operasi umumnya lancar dan jarang ada kontak serangan dengan pasukan Indonesia.[22] Kapal penyapu ranjau HMAS Teal menggelar serangan dengan sebuah kapal Indonesia dekat wilayah Singapura pada 13 Desember 1964. Kapal Indonesia itu menyerah setelah tiga dari tujuh orang di dalam kapal tewas. Mereka memergoki lagi satu kapal Indonesia lain yang mengangkut 9 penyusup bersenjata di Selat Malaka pada 23 Februari 1965. HMAS Hawk diserang oleh tentara dari pantai Indonesia saat beroperasi di wilayah perairan Singapura pada 13 Maret 1966.[23]

Dua belas kapal perang RAN bertugas di perairan Malaysia selama keterlibatan Australia dalam Konfrontasi, beberapa melakukan lebih dari satu tugas.[24] Satu tentara laut Australia terluka saat bertugas selama Konfrontasi dan dua meninggal akibat sakit atau kecelakaan.[25]

Operasi udara

Pesawat CAC-27 Sabre milik AU Australia

AU Australia juga terlibat dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Selama tahun 1960-an empat skuadron terbang Australia berbasis di Pangkalan Butterworth di Malaysia sebagai bagian dari FESR. Unit terbesar adalah Sayap Nomor 78, yang terdiri atas Skuadron Sabre No. 3 dan Skuadron No. 77. Unit lainnya yaitu Skuadron No. 2, yang mengoperasikan pesawat pembom Canberra dan beberapa pesawat angkut Dakota, serta Skuadron No. 5 yang dilengkapi helikopter UH-1 Iroquois. Sayap Nomor 78 dan Skuadron No. 2 telah berbasis di Butterworth sejak tahun 1958. Skuadron No. 5 tiba pada 1964, sebagai respons atas salah satu permintaan bantuan dari Pemerintah Malaysia.[26][27]

Pesawat UH-1 Iroquois milik AU Australia mendarat di Kamp Terendak pada 1964

Pendaratan pasukan terjun payung di Johor selama September 1964 menyebabkan ketegangan meningkat. Di bawah 'Rencana Addington,' pesawat pembom V milik Australia berbasis di Pangkalan Darwin di Australia utara untuk menyerang fasilitas udara Indonesia jika target di Malaysia diserang. Ketika Pemerintah Australia khawatir pendaratan parasut bisa menyebabkan peperangan terbuka, mereka memerintahkan AU mereka untuk memindahkan pesawat Sabre 16 dari Skuadron No. 76, yang berbasis di Pangkalan Williamtown, ke Darwin. Tujuan dari ini adalah untuk melindungi Darwin terhadap serangan dari pesawat pembom Il-28 milik Indonesia saat perang. Barisan tentara baterai anti-pesawat juga dikerahkan ke Darwin, serta tambahan pilot dan awak darat Sabre dan dikirim ke Butterworth untuk memperkuat Sayap Nomor 78.[Note 2] Pesawat Sabre tiba pada 8 September dan tetap dalam level peringatan tinggi hingga 17 Oktober. Setelah ketegangan mereda, Skuadron No. 76 mulai kembali ke Williamstown pada 20 Oktober.[28] Aturan pengerahan pejuang Australia di Malaysia dikendurkan sebagai akibat dari pendaratan di Johore, untuk memungkinkan setiap pesawat Indonesia segera diatasi, yang mungkin teridentifikasi positif sedang berada di wilayah udara Malaysia atau Singapura.[29]

Pesawat AU Australia juga membantu operasi darat selama Konfrontasi. Yang dilakukan oleh Skuadron No. 5 antara tahun 1964 dan 1966, termasuk mengangkut pasukan Australia, Malaysia dan Singapura selama operasi melawan Indonesia di Semenanjung Malaysia. Pesawat mereka juga secara rutin mengangkut pasukan dan perlengkapan antara semenanjung Malaysia dan Kalimantan. Pesawat Hercules C-130 Australia melakukan antaran reguler antara Darwin dan Butterworth, meskipun Indonesia mencabut izin bagi pesawat untuk terbang melalui wilayah udaranya pada Juli 1964. Detasemen Saber Sayap Nomor 78 mulai beroperasi di pulau Labuan di Kalimantan pada September 1965 untuk meningkatkan pertahanan udara RAF di wilayah itu. Status waspada untuk pesawat di Butterworth berkurang pada akhir Konfrontasi dan Indonesia kembali mengizinkan pesawat Australia untuk melewati wilayah udaranya. Antara tahun 1969 dan 1972 Australia menyumbangkan pesawat Sabre, serta dukungan teknis dan pelatihan, kepada angkatan udara Indonesia dan Malaysia.[30]

Kondisi setelahnya

Setelah kudeta militer di Indonesia pada 1965, yang akhirnya membawa Jenderal Soeharto berkuasa, Malaysia dan Indonesia menandatangani perjanjian damai di Bangkok pada Agustus 1966, sekaligus mengakhiri konflik. Pasukan Australia di Malaysia kemudian dikembalikan ke peran utama mereka dalam FESR.

Operasi di Kalimantan—terutama misi lintas-perbatasan, yang tidak pernah diakui selama perang—sangat sensitif dan hanya sedikit diliput pers Australia. Karena sensitivitas ini, editor dari penyusun sejarah resmi Australia tentang keterlibatan Australia dalam konflik Asia Tenggara, Peter Edwards, sampai harus membujuk pemerintah agar kisah Konfrontasi ini bisa dimasukkan.[31] Pengakuan resmi dari keterlibatan Australia dalam operasi Claret terjadi pada 1996, ketika makalah kabinet pemerintah yang membahas operasi itu, dirilis.

Unit angkatan darat Australia di Kalimantan juga sukses, namun hanya memainkan peran sekunder. Terlepas dari itu, konflik ini menjadi pengalaman berguna yang membantu mereka untuk mempersiapkan diri dalam Perang Vietnam, yang memiliki intensitas lebih tinggi. Angkatan laut juga memperoleh pengalaman berharga saat operasi patroli pesisir operasi. Sekitar 3.500 prajurit Australia bertugas selama Konfrontasi. Korban dari pihak mereka yakni 23 orang tewas (termasuk 7 tewas dalam aksi) dan 8 lainnya terluka.

Sebuah upacara digelar di Sydney, New South Wales pada 24 Maret 2014 untuk menandai 50 tahun keterlibatan Australia dalam konflik ini.[32]

Catatan

Catatan kaki

  1. ^ Dennis et al (1995), p. 171.
  2. ^ Dennis et al (1995), p. 173.
  3. ^ Dennis et al (2008), p. 152.
  4. ^ Horner (1995), p. 462.
  5. ^ Grey (2008), p. 232.
  6. ^ Coates (2006), p. 334.
  7. ^ Horner (1995), p. 464.
  8. ^ Coates (2006), p. 335.
  9. ^ Horner (2002), p. 141.
  10. ^ Horner (1995), pp. 464–467.
  11. ^ Kuring (2004), p. 305
  12. ^ Dennis et al (2008), p. 154.
  13. ^ Horner (2009), pp. 46–82.
  14. ^ Horner (2009), pp. 68–71.
  15. ^ Dennis and Grey (1996), p. 307.
  16. ^ Horner (2009), pp. 89–101.
  17. ^ Horner (1989).
  18. ^ "Indonesian Confrontation 1964–64". Army History Unit. Diarsipkan dari versi asli tanggal 28 October 2009. Diakses tanggal 4 May 2009. 
  19. ^ Dennis et al (2008), p. 404
  20. ^ "Prime Minister's Statement on Defence Full Re-assessment of the Needs". The Canberra Times. Australian Capital Territory. 11 November 1964. hlm. 4. ISSN 0157-6925. 
  21. ^ Coates (2006), p. 336.
  22. ^ Grey (1998), p. 59.
  23. ^ Grey (1998), p. 62–64.
  24. ^ Grey (1998), pp. 54–55.
  25. ^ Grey (2008), p. 235.
  26. ^ Stephens (2006), pp. 249–251.
  27. ^ "5 Squadron RAAF". Confrontation, 1963–1966 units. Australian War Memorial. Diarsipkan dari versi asli tanggal 6 May 2009. Diakses tanggal 27 April 2009. 
  28. ^ Wilson (2002).
  29. ^ Stephens (1995), p. 264
  30. ^ Stephens (2006), p. 252.
  31. ^ Forbes, Mark (23 March 2005). "Truth still a casualty of our secret war". The Age. Diakses tanggal 27 April 2009. 
  32. ^ Aird, Claire. "Veterans mark 50 years since Australian troops departed for Indonesia Confrontation in Malaya". Radio Australia. Australian Broadcasting Corporation. Diakses tanggal 24 May 2014. 

Pranala luar


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "Note", tapi tidak ditemukan tag <references group="Note"/> yang berkaitan

Kembali kehalaman sebelumnya