Misinformasi EbolaMisinformasi Ebola telah menyebarkan banyak teori konspirasi, tipuan, dan pengobatan alternatif mengenai virus Ebola, termasuk asal-usul wabah, perawatan untuk penyakit virus Ebola, dan tindakan pencegahan. Pengobatan yang belum terbukti dan tidak terbuktiSelama wabah virus Ebola Afrika Barat (2013-2016), sejumlah pengobatan yang belum terbukti dan palsu dipasarkan secara daring di Amerika Serikat, termasuk bisa ular, vitamin C, "Nano Silver", dan berbagai homeopati dan pengobatan herbal,[1][2] termasuk minyak cengkeh, bawang putih, dan sup ewedu.[3] Gary Coody, koordinator penipuan kesehatan nasional untuk FDA, menggambarkan para pemasok perawatan yang belum terbukti ini sebagai "seperti tukang atap pemburu badai, yang pergi dan mencoba menipu orang-orang setelah badai besar. Beberapa dari mereka mungkin melakukan kesalahan yang tidak disengaja; sedangkan beberapa perusahaan lainnya memang mencoba menipu orang."[4] Coody juga mengatakan masalah dengan pengobatan yang tidak masuk akal dan belum terbukti bukan hanya karena pengobatan tersebut tidak mungkin berhasil, tetapi juga karena perawatan tersebut dapat menyebabkan pasien menunda perawatan medis yang efektif dan tepat waktu di rumah sakit.[1] Metode yang tidak masuk akal dan tidak terbukti untuk mencegah EbolaSelama wabah tahun 2014 dan 2019, sejumlah obat palsu untuk pencegahan Ebola disebarkan secara daring. Salah satu benang merahnya adalah seringnya penggunaan minyak esensial.[5] Tidak ada bukti bahwa perawatan ini akan menurunkan risiko infeksi virus Ebola, dan tidak ada mekanisme masuk akal yang diketahui untuk efek tersebut.[5] Asal usul virusSelama wabah 2014 di Liberia, sebuah artikel di Liberian Observer menduga bahwa virus tersebut adalah senjata biologis yang dirancang oleh militer AS sebagai bentuk pengendalian populasi.[6] Teori lain yang tersebar di dunia maya selama pandemi ini menyatakan bahwa Tatanan Dunia Baru telah merekayasa virus tersebut untuk memberlakukan karantina dan larangan bepergian guna memperlunak kemungkinan terjadinya darurat militer.[6] Selama wabah 2019 di Republik Demokratik Kongo, tersebar rumor bahwa virus tersebut diimpor ke negara tersebut untuk keuntungan finansial,[7] atau sebagai bagian dari rencana untuk mendapatkan organ untuk pasar gelap.[8][9] Referensi
|