Pabrik Gula Jatibarang6°58′5″S 109°3′40″E / 6.96806°S 109.06111°E Pabrik Gula Jatibarang atau Suikerfabriek Djatibarang adalah pabrik gula peninggalan Belanda di Hindia Belanda yang termasuk dalam komoditas yang diikutsertakan dalam program Cultuurstelsel. PG Jatibarang dibangun tahun 1842. Semasa pendudukan Belanda di Indonesia dulu, pemerintah Hindia Belanda membangun 3 pabrik gula di kabupaten Brebes yaitu:
PG Jatibarang setelah kemerdekaan Indonesia masuk dalam wilayah PTPN IX (Persero), karena besarnya biaya operasional dan perawatan serta berkurangnya lahan untuk penanaman tebu, maka dari 3 pabrik gula itu digabungkan menjadi satu, yaitu di Jatibarang. PG Jatibarang ini melakukan giling tebu terakhirnya pada tahun 2017. SejarahPabrik Gula Jatibarang dibangun pada tahun 1842 oleh Perusahaan NV Mij tot Exploitatie der Suiker Onderneming, pemilik SF Djatibarang ini adalah Otto Carel Holmbreg yang merupakan seorang pria berkebangsaan Belanda. Pabrik Gula Jatibarang didirikan bersamaan dengan Pabrik Gula Dukuhwringin yang berada di Slawi. Berdirinya SF Djatibarang tidak dapat dipisahkan antara Holmberg dengan Lucassen yang awalnya mengajukan sistem kontrak gula untuk membangun sebuah perusahaan industri gula. Pada awal Maret 1839, Lucassen dan Holmberg yang saat itu berada di Belanda mengajukan petisi kepada Raja Willem l atas dasar studi mandiri teoretisnya tentang pembuatan gula yang lebih modern, keduanya meminta agar diberikan kontrak gula untuk membangun sebuah pabrik gula seluas 600 hektar di Jawa. Namun niat kerjasama Lucassen dan Holmberg untuk bersama-sama membangun pabrik gula akhirnya gagal karena masalahnya tidak satu pun dari mereka memiliki pengetahuan teknis yang diperlukan tentang pengelolaan tebu menjadi gula, mereka berdua memutuskan untuk membangun pabrik gula sendiri-sendiri. Lucassen memilih mengasosiasikan dirinya dengan Hoevenaar. Terkait kapasitas pengolahan yang optimal, mereka mengubah permintaan dari satu pabrik menjadi dua pabrik dengan masing-masing mendapatkan tanah 400 hektar. Pada tahun 1840 Menteri Koloni JC Baud mengeluarkan sistem kontrak gula. Lucassen yang dibantu Hoevenaar mendapatkan dana sebesar 120.000 gulden untuk pembelian mesin dan 130.000 gulden untuk pembangun pabrik. Sedangkan Holmberg secara independen meminta dan memperoleh kontrak gula yang identik, tetapi ia mendapatkan dana hanya sebesar 80.000 gulden, yang berarti bahwa ia harus menginvestasikan lebih banyak dari modalnya sendiri. Setelah dana persiapan untuk pembangunan pabrik, Lucassen dan Holmberg mengunjungi keluarga Hoevenaar di Paris. Dari tempat inilah Lucassen dan Holmberg menjalin kerjasama dengan pengusaha baja Perancis Derosne et Cail. Pengusaha inilah yang sebelumnya membuat mesin-mesin pabrikasi di Karibia dan Amerika . Mereka berdua juga mengumpulkan para insinyur-insiyur muda asal Skotlandia untuk merancang pabrik. Setelah beberapa waktu menetap di Paris, Lucassen, Holmberg, dan Hoevenaar yang juga membawa para pekerja berangkat menuju Jawa menggunakan kapal. Kapal yang mereka tumpangi juga membawa mesin-mesin dan beberapa material bangunan yang digunakan untuk membangun pabrik. Berbulan-bulan lamanya mereka mengarungi lautan, hingga akhirnya mereka sampai di Pulau Jawa, mereka kemudian menuju sekitar Tegal yang wilayah tanahnya menjadi sistem kontrak gula. Holmberg diberikan konsensi tanah dekat wilayah Slawi yang letaknya tidak terlalu jauh dengan Lucassen dan Hoevenaar yang mendirikan Pabrik Gula Kemanglen dan Dukuhwringin. Holmberg yang hanya bermodal uang 80.000 gulden itu memberanikan diri untuk membuat dua pabrik gula sekaligus. Pada tahun 1841 Holmberg membangun Pabrik Gula Adiwerna di Ujungrusi, ditahun itu juga ia membangun konstruksi awal Pabrik Gula Jatibarang terlebih dahulu. Setelah selesainya pembangunan Pabrik Gula Adiwerna, Holmberg kemudian melanjutkan pembangunan Pabrik Gula Jatibarang pada tahun 1842. Pabrik Gula Jatibarang dan Pabrik Gula Adiwerna sendiri dibangun dengan sistem Cultuurstelsel atau sistem tanam paksa. Setelah berhasil mendirikan dua buah pabrik gula, Holmberg membangun sebuah pabrik gula lagi di Pagongan yang dibangun pada tahun 1848. Beberapa tahun kemudian perusahaan gula milik Holmberg ini mengalami kesuksesan, bahkan bisa mengalahkan kesuksesan Lucassen dan Hoevenaar yang lebih senior. Hal ini membuat Holmberg menjadi salah satu pengusaha paling sukses yang dipunyai oleh Belanda.
Kesuksesan Holmberg inilah yang membuat para investor Belanda membangun sebuah perusahaan industri gula lainnya di Brebes, maka beberapa tahun kemudian Belanda membangun Pabrik Gula Banjaratma dan Pabrik Gula Ketanggungan Barat (Pabrik Gula Kersana). Berdasarkan PP No.24 tanggal 16 April 1959 tentang Penetapan Perusahaan–perusahaan Pertanian atau Perkebunan Milik Belanda dibawah penguasaan RI SK Mentan No.229/UM/57, tanggal 10 Desember 1957 dibentuk Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN Baru). Berdasarkan UU No. 19 PRP tahun 1960 tentang Perusahaan Negara, terdapat pembaharuan struktur dan jabatan-jabatan inti PPN cabang Jawa Tengah agar tetap dipimpin oleh kepala perwakilan jawatan perkebunan yang membawahi PPN dari unit Semarang Barat dipimpin oleh kuasa direksi mengelola diantaranya Pabrik Gula Jatibarang. Kelanjutan dari PG Jatibarang mengalami perubahan-perubahan yang berdasarkan Peraturan Pemerintah dan kepemilikan yang antara lain:
Pabrik Gula Jatibarang ini terakhir kali beroperasi pada tahun 2017, hingga saat ini PG Jatibarang dijadikan sebagai Agrowisata besaran hijau dan Sejarah. Gambaran Umum
Produksi Gula
Topografi
Prasarana Pendukung
Bangunan PentingMbesaranMbesaran berasal dari kata Besar-an yang artinya besar (rumah besar) sehingga masyarakat sekitarnya menyebutnya dengan nama Mbesaran. Dari tahun ketahun, rumah Mbesaran ditempati oleh administrator (pimpinan pabrik gula) beserta keluarga dari mulai Pemerintahan Belanda hingga saat penyerahan pabrik gula dari Pemerintah Belanda kepada Pemerintahan RI pada tahun 1957. Hingga tahun 2009 masih ditempati oleh administrator, namun pada tahun 2010 Mbesaran tersebut sudah tidak ditempati oleh administrator karena dirasa terlalu besar dengan kondisi saat ini. Sehingga administratur pada saat itu, yakni Ir. Djoko Wahjoediono, mengambil kebijakan untuk tidak menempati rumah Mbesaran, yang lalu dijadikan sebagai tempat wisata dan dijadikan salah satu museum. Stasiun di PG JatibarangRemise adalah salah satu stasiun/bagian yang ada di dalam PG Jatibarang dan juga pabrik gula lainnya di Indonesia. Remise PG Jatibarang termasuk yang megah dan besar dari seni arsitekturnya. Selain remise ada beberapa stasiun lainnya seperti:
Remise adalah tempat berkumpulnya lokomotif, baik lokomotif uap maupun diesel, juga disebut sebagai garasinya lokomotif. Bangunannya juga masih asli dengan arsitektur dan desain dari Belanda. Kondisinya masih sangat baik dari mulainya didirikannya pabrik ini tahun 1842 hingga kini masih kokoh berdiri. Hal ini menandakan bahwa pada masa tersebut arsitektur bangunannya dibuat untuk jangka waktu yang lama sehingga kualitasnya sangat baik. Bangunan remise menghadap ke timur dan terdiri dari 9 pintu masuk untuk loko dan dapat menyimpan sekitar 10 loko atau lebih. Di depan remise juga terdapat sebuah meja putar untuk membalik arah lokomotif. Armada LokomotifBerikut daftar lokomotif Lori yang dimiliki oleh Pabrik Gula Djatibarang
Tradisi TahunanMetikanSetiap tahun, setiap masa pemanenan tebu atau istilahnya metik diadakan pasar malam. Sebagian masyarakat menyebutnya metikan atau bancakan untuk beberapa wilayah Brebes bagian barat. Tradisi ini masih berlangsung sampai kini. Manten TebuTemanten tebu adalah simbol dari hasil tebu yang meruah, boneka-bonekaan yang terbuat dari batang tebu itu didandani mirip pengantin dan diarak keliling kota dan setelah diarak maka akan diadakan walimahan yang dihadiri oleh para pegawai pabrik gula. Alamat PabrikJalan Raya Jatibarang - Slawi 52261, Kecamatan Jatibarang, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah - Indonesia Lihat pula |