Pasca kebenaranPasca kebenaran merupakan istilah untuk menunjukkan keadaan di mana fakta obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi[1]. Pasca kebenaran adalah keadaan di mana manusia lebih reaktif terhadap hal-hal yang terkait perasaan dan keyakinan daripada fakta. Istilah ini pertama kali muncul dalam tulisan Steve Tesich pada Januari 1992. Tiga unsur penting dalam pasca kebenaran adalah - Arus informasi yang masif - Emosi mengalahkan fakta - Sensasi lebih menarik daripada esensi[2] Sejarah di DuniaIstilah pasca kebenaran pertama kali diperkenalkan oleh Steve Tesich dalam esainya pada tahun 1992 yang diterbitkan di majalah The Nation.[3] Dalam tulisan itu, Tesich mengamati bahwa masyarakat Amerika Serikat mulai menerima kebohongan pemerintah terkait skandal Iran-Contra dan Perang Teluk.[4] Ia mencatat bahwa fakta objektif mulai kehilangan pengaruhnya dalam menentukan opini publik, terutama ketika masyarakat lebih nyaman dengan kebohongan yang selaras dengan kepentingan mereka. Namun, gagasan tentang bagaimana kebenaran dapat dimanipulasi telah dibahas jauh sebelum Tesich. Filsuf seperti Friedrich Nietzsche pada abad ke-19 menulis tentang bagaimana manusia cenderung membentuk "kebenaran" mereka sendiri berdasarkan interpretasi subjektif. Pemikiran ini menjadi fondasi bagi beberapa analisis modern mengenai pasca kebenaran Kemunculan era pasca kebenaran berkaitan erat dengan perkembangan media dan teknologi. Pada 1990-an dan awal 2000-an, internet mulai menggantikan media tradisional sebagai sumber informasi utama. Platform digital, terutama media sosial seperti Facebook dan Twitter, memungkinkan individu untuk berbagi dan mengakses informasi tanpa filter. Akibatnya, berita palsu, disinformasi, dan propaganda dapat menyebar lebih cepat dibandingkan fakta yang telah diverifikasi.[5] David Roberts, seorang jurnalis, memperkenalkan istilah ini ke dalam konteks politik pada 2010 dalam artikelnya di Grist. Ia menggambarkan bagaimana politisi semakin sering mengabaikan fakta demi narasi emosional yang lebih menarik bagi pemilih. Fenomena ini mencapai puncaknya pada tahun 2016, yang sering disebut sebagai "tahun pasca kebenaran". Dua peristiwa utama menjadi sorotan: referendum Brexit di Inggris dan pemilihan presiden Amerika Serikat yang dimenangkan oleh Donald Trump.[6] Dalam kedua peristiwa ini, banyak klaim palsu yang disebarkan secara luas melalui media sosial dan memengaruhi keputusan masyarakat. Akademisi dan pengamat politik seperti Matthew d’Ancona, dalam bukunya Post Truth: The New War on Truth and How to Fight Back (2017), menjelaskan bagaimana emosi dan keyakinan subjektif telah menggantikan fakta dalam membentuk opini publik.[7] Istilah Pasca kebenaran kemudian diakui secara luas ketika Oxford Dictionaries menetapkannya sebagai "Kata Tahun Ini" (Word of the Year) pada 2016.[8] Dalam pengumumannya, Oxford Dictionaries mendefinisikan pasca kebenaran sebagai situasi di mana fakta objektif menjadi kurang berpengaruh dibandingkan emosi dan keyakinan pribadi dalam membentuk opini publik. Banyak penulis dan peneliti telah berkontribusi dalam memahami fenomena ini. Yuval Noah Harari dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century (2018) mengaitkan pasca kebenaran dengan evolusi manusia yang cenderung lebih mempercayai narasi mitos daripada fakta ilmiah.[9] Sementara itu, Ralph Keyes dalam bukunya The Post-Truth Era: Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004) telah lebih dahulu menyoroti bagaimana kebohongan kecil menjadi bagian integral dari kehidupan modern, membuka jalan bagi berkembangnya post truth.[10] Selain itu, Cass Sunstein dalam karya-karyanya seperti On Rumors: How Falsehoods Spread, Why We Believe Them, and What Can Be Done (2009) menguraikan mekanisme penyebaran informasi palsu dalam lingkungan digital. Ia menjelaskan bagaimana algoritma media sosial memperkuat bias pengguna melalui fenomena gelembung penyaring dan echo chamber. Seiring berkembangnya era pasca-kebenaran, para peneliti dan filsuf terus berusaha mencari solusi untuk menghadapinya. Diskusi akademis dan politis mengenai era ini menunjukkan bahwa kemunculan pasca kebenaran bukan hanya masalah media, tetapi juga budaya, psikologi manusia, dan dinamika politik global. Perkembangannya di IndonesiaDi Indonesia sendiri, fenomena pasca kebenaran dimulai sejak Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017 dan Pemilihan Presiden tahun 2019 adalah gerbang transisi digital politik di Indonesia, dimana terjadi lonjakan informasi yang tersebar di media sosialnya.[11] Berdasarkan data Masyarakat Telematika (Mastel) tahun 2019, diketahui bahwa 56% pengguna jejaring maya di Indonesia mulanya tidak mengetahui sama sekali bahwa informasi yang mereka terima adalah palsu. Pada konteks pemilihan presiden Indonesia 2019, kedua kandidat sama-sama diterpa propaganda dan pesan post-truth yang selalu negatif.[12] Jokowi yang digambarkan sebagai seorang pembohong merupakan propaganda yang jahat, tetapi kondisi itu tidak cukup untuk mewakili era post truth. Sama seperti isu Prabowo yang melanggar hak asasi manusia di masa lalu, juga tidak cukup dikategorikan sebagai post truth karena isu tersebut berkaitan dengan hukum yang bisa dibuktikan ketika ada political will dari lembaga penegak hukum. Fenomena krisis kepakaran ini juga telah muncul di Indonesia terutama yang menyangkut disiplin ilmu sejarah. Contohnya seperti kasus foto salah satu pahlawan nasional, RA Kartini yang memakai jilbab dan berkaca mata,[13] kasus ceramah Ustaz Adi Hidayat tentang nama asli Kapitan Pattimura,[14] isu pergerakan Sesar Cimandiri di Sukabumi dan Erupsi Gunung Gede,[15] hingga Kerajaan Sriwijaya fiktif,[16] dan kekeliruan dalam buku Borobudur peninggalan Nabi Sulaiman karya Fahmi Basya.[17] Dampak Fenomena Pasca Kebenaran[18]Pertama, disorientasi dan kekacauan masyarakat. Masyarakat menjadi bingung dan bimbang antara informasi yang benar dan palsu. Disorientasi dan kekacauan mengenai kebenaran di tengah masyarakat tersebut menjadikan mereka sangat rentan dimanfaatkan oknum tertentu untuk pelbagai kepentingan. Kedua, yakni pemanfaatan situasi chaos untuk kepentingan sempit.[19] Kekacauan menjadi peluang dan kesempatan bagi oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mereguk keuntungan pribadi. Ketiga, yakni merajanya populisme di kancah politik dan sosial kemasyarakatan. Kekacauan dan disorientasi membuka peluang bagi para politikus yang populis untuk mengambil hati rakyat. Bentuknya bisa dengan menjanjikan program yang tidak realistis tetapi menarik, menyebarkan ketakutan dan memproklamasikan diri sebagai juru selamat, atau menyerang serta mendiskriminasi kelompok atau kalangan tertentu demi menyenangkan masyarakat luas supaya memperoleh dukungan. Keempat, polarisasi horizontal di kalangan masyarakat.[20] Dampak jangka panjang dari kekacauan masyarakat akibat gejala-gejala Pasca-Kebenaran pada akhirnya juga mengancam keharmonisan masyarakat itu sendiri. Adanya banjir informasi yang simpang siur kebenarannya dapat menyebabkan perpecahan (disintegrasi) dalam masyarakat. Daftar Referensi
|