Andrei Gennadyevich Karlov lahir di Moskow tahun 1954. Ia menuntut ilmu di Institut Hubungan Internasional Negeri Moskow dan Akademi Diplomatik Kemenlu Uni Soviet. Ia mengawali kariernya di Kementerian Luar Negeri Uni Soviet pada tahun 1976. Karlov memegang sejumlah jabatan diplomatik di Kedutaan Besar Rusia di Korea Utara. Ia menjabat sebagai Duta Besar Rusia untuk Turki sejak Juli 2013.[8]
Pelaku pembunuhan bernama Mevlüt Mert Altıntaş (24 Mei 1994 – 19 Desember 2016), seorang polisi bebas tugas atau mantan polisi Turki. Ia lulus dari Sekolah Kepolisian İzmir tahun 2014.[10] Sejumlah sumber melaporkan bahwa ia dipecat dari kepolisian atas dugaan keterlibatannya dalam upaya kudeta Turki 2016.[11][12][13]
Setelah menembak Karlov, Altıntaş kabarnya meneriakkan: "Allahu Akbar. Kami adalah orang-orang yang bersumpah setia kepada Muhammad untuk terus berjihad sepanjang hayat masih dikandung badan. Jangan lupakan Aleppo. Jangan lupakan Suriah. Apabila daerah kami tidak aman, daerah kalian juga tidak akan aman. Setiap orang yang terlibat dalam kekejaman ini akan merasakan akibatnya."[4][7][14][15] Altıntaş tewas saat melawan pasukan keamanan.[16]
Karlov dilarikan ke rumah sakit, lalu dinyatakan meninggal dunia.[4]
Beberapa pejabat pemerintahan dan kepala negara mengutuk serangan ini dan menyatakan belasungkawa kepada keluarga Karlov dan korban penembakan lainnya serta bangsa Rusia.[4][18][19]
Di Turki, Presiden Recep Tayyip Erdoğan mengatakan lewat pesan video bahwa "hubungan Rusia–Turki sangat penting bagi kawasan ini dan siapapun yang berniat mengganggu hubungan tersebut tidak akan mampu mencapai tujuannya." Ia sebelumnya sudah berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan menambahkan bahwa keduanya "sama-sama sepakat bahwa pembunuhan duta besar Rusia untuk Ankara oleh pelaku bersenjata merupakan tindakan provokasi oleh mereka yang hendak mengganggu hubungan kedua negara ini."[20]Kementerian Luar Negeri Turki berjanji tidak akan membiarkan "serangan ini mengancam persahabatan antara Turki dan Rusia."[21]
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan, "Terorisme tidak akan dibiarkan begitu saja. Kami akan melawannya habis-habisan."[22]
Presiden Vladimir Putin percaya bahwa "pembunuhan duta besar Rusia untuk Turki merupakan provokasi untuk mengganggu hubungan Rusia–Turki dan menggagalkan upaya Moskow, Iran, dan Turki mencari solusi bagi krisis Suriah." Ia juga memerintahkan pengetatan penjagaan keamanan di semua kedutaan besar Rusia dan ingin tahu "sosok yang menyuruh pelaku berbuat demikian".[23]