Share to:

 

Penambangan timah

Manusia telah melakukan penambangan timah sejak Zaman Perunggu, karena timah merupakan bahan baku dari perunggu. Timah merupakan unsur yang relatif langka yang terkandung dalam kerak bumi, dengan kadar sekitar 2 ppm, jauh dibawah besi yang mencapai 50 ribu ppm.

Sejarah

Ekstraksi timah dan penggunaannya dapat ditelusuri hingga ke awal Zaman Perunggu, yaitu 3000 SM, ketika tembaga diamati dapat berpadu dengan logam lain (polimetalik) dan menghasilkan logam dengan sifat fisik yang berbeda.[1] Objek perunggu pertama memiliki kandungan timah dan arsenik kurang dari dua persen sehingga diyakini merupakan hasil dari pemaduan secara tidak sengaja dikarenakan kandungan bijih tembaga yang tidak murni.[2] Setelah itu, diketahui kemudian bahwa penambahan timah atau arsenik ke dalam tembaga dapat menghasilkan logam yang lebih keras dan menjadikan pencetakan logam lebih mudah. Metode ini mengubah secara drastis teknik pengerjaan logam dan membawa peradaban manusia dari jaman kapur dan Zaman Tembaga menuju jaman perunggu.[2] Eksploitasi timah pertama diketahui berada di sekitar endapan kasiterit.[3]

Peta Eropa yang dibuat oleh Strabo, menunjukkan keberadaan pulau Cassiterides di sebelah barat laut semenanjung Iberia, sebuah pulau hipotetis yang dipercayai oleh Herodotus sebagai asal muasal timah

Bukti pertama keberadan timah sebagai bahan baku perunggu terdapat di kawasan Timur Dekat dan Balkan, sekitar tahun 3000 SM.[2] Namun masih belum diketahui di mana timah pertama kali ditambang, karena endapan timah sangat langka dan bukti sejarah penambangan awal amatlah langka. Kawasan tambang paling awal di Eropa diketahui berada di Erzgebirge, di perbatasan Jerman dan Republik Ceko, bertanggal tahun 2500 SM. Dari sana, timah diyakini diperdagangkan ke utara hingga ke Laut Baltik dan ke selatan hingga ke laut Mediterania, mengikuti rute amber. Pengetahuan mengenai penambangan timah kemudian menyebar ke kawasan lain di Eropa dengan ditemukannya bukti penambangan timah di Devon dan Cornwall, Inggris, dan juga di semenanjung Iberia sekitar tahun 2000 SM.[2] Endapan timah ini dieksploitasi lebih lanjut pada era Romawi ketika kawasan tersebut jatuh ke tangan kerajaan Romawi Kuno, antara abad ketiga sebelum masehi dan abad pertama setelah masehi.[4] Permintaan terhadap timah meNjadikan jaringan perdagangan di antara berbagai kebudayaan di Mediterania pada era klasik terbentuk.[5][6] Di abad pertengahan, timah yang dihasilkan di endapan Jerman dan Iberia mulai kehilangan perannya di panggung perdagangan Eropa dan digantikan oleh timah yang dihasilkan di tambang Cornwall dan Devon.[4]

Di Timur Jauh, sabuk timah yang membentang dari Yunan hingga ke Semenanjung Malaya mulai dieksploitasi antara 3000 dan 2000 sebelum masehi. Endapan timah di Yunan tercatat telah digunakan pada Dinasti Han, Dinasti Jin, Dinasti Tang, dan Dinasti Song.[7]

Kawasan lainnya mengembangkan industri penambangan timah jauh lebih terlambat. Di Afrika, Suku Bantu mulai mengekstraksi dan melebur bijih timah pada abad 11 dan 15 masehi, di benua Amerika pada tahun 1000 masehi, dan Australia setelah kehadiran bangsa Eropa, yaitu pada abad ke 18 masehi.[2]

Produksi bijih timah dunia

Berikut ini adalah tabel produksi tambang timah dunia pada tahun 2006.

Produksi tambang dan smelter (ton), 2006[8]
Negara Produksi tambang Produksi smelter
Indonesia 117,500 80,933
China 114,300 129,400
Peru 38,470 40,495
Bolivia 17,669 13,500
Australia 7072 0
Thailand 225 27,540
Malaysia 2,398 23,000
Belgia 0 8,000
Rusia 5,000 5,500
Kongo 15,000 0

Di tahun 2007, China merupakan produsen timah terbesar di dunia (43% produksi dunia) berkat konsentransi endapan bijih timah di Yunan, diikuti dengan Indonesia dalam nisbah yang hampir serupa, kemudian diikuti oleh Peru.[9][10]

Dampak lingkungan dan sosial

Di bulan Agustus 2012, sampul majalah Bloomberg Businessweek memuat kabar mengenai penambangan timah di Indonesia, khususnya di pulau Bangka yang menjadi semakin berbahaya dan semakin merusak seiring semakin sulitnya bijih timah didapatkan. Sekitar sepertiga timah dunia dihasilkan di pulau Bangka dan tetangganya, pulau Belitung.[11]

Karena endapan bijih timah semakin dalam, jumlah kematian akibat longsoran tambang semakin meningkat. Setidaknya di tahun 2011 satu penambang meninggal setiap minggunya. Jumlah kematian meningkat pada tahun berikutnya. Harga yang didapatkan penambang amatlah rendah sehingga metode penambangan masih sangat sederhana dan penerapan standar keamanan seperti pembuatan teras padat lubang tambang tidak dilakukan.[11]

Bahaya lainnya adalah serangan dari buaya air asin yang terjadi di sekitar tambang. Pulau Bangka dan Pulau Belitung merupakan lokasi di mana serangan buaya air asin mencapai angka yang tertinggi, dan banyak diantara kasus terjadi di dekat tambang timah dan menyerang pekerja tambang.[12]

Pengerukan sedimen untuk mendapatkan bijih timah telah merusak terumbu karang tempat habitat ikan laut sehingga merugikan penangkapan ikan setempat. Kondisi ini terus terjadi sekalipun telah diberlakukan larangan terhadap penambangan bijih di air laut pada radius empat mil.[11]

Referensi

  1. ^ Cierny, J.; Weisgerber, G. (2003). "The "Bronze Age tin mines in Central Asia". Dalam Giumlia-Mair, A.; Lo Schiavo, F. The Problem of Early Tin. Oxford: Archaeopress. pp. 23–31. ISBN 1-84171-564-6. 
  2. ^ a b c d e Penhallurick, R.D. (1986). Tin in Antiquity: its Mining and Trade Throughout the Ancient World with Particular Reference to Cornwall. London: The Institute of Metals. ISBN 0-904357-81-3. 
  3. ^ Charles, J.A. (1979). "The development of the usage of tin and tin-bronze: some problems". Dalam Franklin, A.D.; Olin, J.S.; Wertime, T.A. The Search for Ancient Tin. Washington D.C.: A seminar organized by Theodore A. Wertime and held at the Smithsonian Institution and the National Bureau of Standards, Washington D.C. March 14–15, 1977. pp. 25–32. 
  4. ^ a b Gerrard, S. (2000). The Early British Tin Industry. Stroud: Tempus Publishing. ISBN 0-7524-1452-6. 
  5. ^ Lo Schiavo, F. (2003). "The problem of early tin from the point of view of Nuragic Sardinia". Dalam Giumlia-Mair, A.; Lo Schiavo, F. The Problem of Early Tin. Oxford: Archaeopress. pp. 121–132. ISBN 1-84171-564-6. 
  6. ^ Pulak, C. (2001). "The cargo of the Uluburun ship and evidence for trade with the Aegean and beyond". Dalam Bonfante, L.; Karageogrhis, V. Italy and Cyprus in Antiquity: 1500–450 BC. Nicosia: The Costakis and Leto Severis Foundation. pp. 12–61. ISBN 9963-8102-3-3. 
  7. ^ Murowchick, R.E. (1991). The Ancient Bronze Metallurgy of Yunnan and its Environs: Development and Implications. Michigan: Ann Arbour. 
  8. ^ World Mineral Production 2002–06 (PDF). British Geological Survey. hlm. 89. Diakses tanggal 2009-07-07. 
  9. ^ Shiyu, Yang (1991). "Classification and type association of tin deposits in Southeast Yunnan Tin Belt". Chinese Journal of Geochemistry. 10 (1): 21–35. doi:10.1007/BF02843295. 
  10. ^ Carlin Jr., James F. "Mineral Commodity Summary 2008: Tin" (PDF). United States Geological Survey. 
  11. ^ a b c Cam, Simpson (23 August 2012). "The Deadly Tin Inside Your Smartphone". Bloomberg Businessweek (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 September 2015. Diakses tanggal 10 June 2022. 
  12. ^ "Salinan arsip". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2017-07-18. Diakses tanggal 2022-12-17. 

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya