Perang Utsmaniyah–Venesia (1570–1573)
Perang Utsmaniyah-Venesia IV atau Perang Siprus (bahasa Italia: Guerra di Cipro) adalah perang antara Kesultanan Utsmaniyah dan Republik Venesia yang berlangsung dari tahun 1570 sampai tahun 1573. Republik Venesia kelak dibantu Liga Suci, koalisi negara-negara Kristen yang terbentuk atas prakarsa Paus Pius V. Peristiwa terpenting sepanjang masa pemerintahan Sultan Selim II ini dipicu oleh invasi Utsmaniyah atas Siprus, jajahan Republik Venesia. Ibu kota Siprus, Nikosia, dan sejumlah kota lain di pulau itu direbut dalam waktu singkat oleh bala tentara Utsmaniyah yang jauh lebih kuat. Famagusta menjadi satu-satunya kota yang masih dikuasai Republik Venesia. Namun, bala bantuan dari negara-negara Kristen datang terlambat. Famagusta telanjur jatuh ke tangan bala tentara Utsmaniyah pada bulan Agustus 1571, sesudah 11 bulan terkepung. Dua bulan kemudian, armada gabungan negara-negara Kristen datang dan menghancurkan armada Kesultanan Utsmaniyah dalam Pertempuran Lepanto. Walaupun begitu, dalam waktu singkat, Kesultanan Utsmaniyah dapat memulihkan kekuatan tempur angkatan lautnya, sehingga Republik Venesia terpaksa mengupayakan perundingan damai, merelakan Siprus kepada Kesultanan Utsmaniyah, dan membayar rampasan perang sebesar 300.000 keping dukat. Latar belakangPulau Siprus yang luas dan makmur dijajah Republik Venesia sejak tahun 1489. Siprus dan Kreta adalah negeri-negeri pulau jajahan Republik Venesia yang paling penting. Populasi Siprus berjumlah kira-kira 160.000 jiwa pada pertengahan abad ke-16.[1] Selain lokasinya yang memudahkan Republik Venesia mengendalikan perniagaan di kawasan Syam, Siprus juga menghasilkan kapas dan gula yang sangat laris di pasaran.[2] Demi melindungi jajahan terjauhnya ini, Venesia rela membayar upeti tahunan sebesar 8.000 dukat kepada Kesultanan Mamluk di Mesir. Sesudah Kesultanan Mamluk ditundukkan Utsmaniyah pada tahun 1517, aliran upeti tahunan dari Venesia pun beralih ke Kesultanan Utsmaniyah.[3][4] Meskipun demikian, letak Siprus yang strategis di perairan timur Laut Tengah, di antara Anatolia, yang merupakan jantung wilayah Utsmaniyah, dan Syam serta Mesir, yang merupakan provinsi-provinsi baru Utsmaniyah, membuat Kesultanan Utsmaniah tergoda untuk menguasainya sendiri.[5][6] Lebih-lebih kebijakan pemerintah penjajah Venesia di Siprus untuk melindungi gerombolan-gerombolan bajak laut yang mengganggu lalu-lintas kapal-kapal Utsmaniyah, termasuk kapal-kapal pengangkut jemaah Haji menuju Mekah, sudah sangat menjengkelkan para petinggi Kesultanan Utsmaniyah.[7][8] Sesudah menuntaskan perang berlarut-larut melawan wangsa Habsburg di Hungaria pada tahun 1568, Kesultanan Utsmaniyah pun leluasa mengalihkan perhatiannya ke Siprus.[9] Sultan Selim II, yang sudah bertekad menguasai Siprus sebelum naik takhta pada tahun 1566, segera mengesampingkan urusan pemberian bantuan kepada kaum Morisko (penduduk Muslim yang dipaksa atau terpaksa memilih menjadi Kristen daripada meninggalkan Spanyol pada awal tahun 1500-an), yang sedang memberontak melawan Kerajaan Spanyol, dan usaha membendung sepak terjang Portugis di Samudra Hindia.[10] Keputusan untuk mengutamakan usaha pencaplokan Siprus dapat dimaklumi, mengingat Selim terkenal dengan julukan "Si Pemabuk", yang konon ia dapatkan lantaran gemar menenggak anggur buatan Siprus,[11] tetapi dalang perang, menurut keterangan-keterangan tertulis dari masa itu, adalah Yusuf Nasi, seorang Yahudi Portugis, sahabat karib Selim, yang diangkat menjadi Adipati Naksos sesudah Selim naik tahta. Yusuf Nasi sengaja memanas-manasi Selim agar memurkai Republik Venesia, dengan harapan diangkat menjadi Raja Siprus sesudah pulau itu dicaplok Kesultanan Utsmaniyah. Ia bahkan sudah menyiapkan mahkota dan bendera kerajaan.[12] Sekalipun ada penjanjian damai dengan Venesia (yang terakhir kali diperbaharui pada 1567)[8][13] dan ada penentangan dari golongan yang menghendaki perdamaian (di bawah kepemimpinan Wazir Agung Sokollu Mehmed Pasya), golongan yang menghendaki peperangan di lingkungan istana Utsmaniyah berhasil mewujudkan kehendak mereka.[14] Golongan ini berhasil mendapatkan dukungan berupa fatwa dari pejabat Syeikh ul-Islam, yang menyatakan bahwa pengingkaran atas perjanjian itu dapat dibenarkan karena Siprus "dahulu kala adalah negeri Islam" (selama waktu yang singkat pada abad ke-7) dan harus direbut kembali.[8][15][16] Dana perang dihimpun melalui penyitaan dan penjualan kembali gedung-gedung biara dan gereja milik Gereja Ortodoks Yunani.[17] Guru pembimbing Sultan, Lala Mustafa Pasya, ditunjuk sebagai panglima angkatan darat dalam ekspedisi itu.[18] Müezzinzade Ali Pasya ditunjuk sebagai Kapudan Pasya; yang karena sama sekali tidak berpengalaman di bidang kelautan, mengangkat Piyale Pasya yang cakap dan berpengalaman sebagai pembantu utamanya.[19] Niat pihak Utsmaniyah sudah tampak jelas bagi orang-orang Venesia, sehingga mereka sejak jauh-jauh hari sudah mengantisipasi serangan atas Siprus. Kekhawatiran akan pecahnya perang telah merebak pada 1564–1565, ketika pasukan Utsmaniyah ternyata bertolak menuju Malta, dan muncul kembali pada penghujung 1567 dan permulaan 1568, begitu peningkatan kekuatan angkatan laut Utsmanisyah semakin jelas terlihat.[20] Pemerintah Venesia semakin cemas tatkala armada Utsmaniyah berlabuh di Siprus pada September 1568 dengan membawa serta Nasi. Kunjungan ini tampak seolah-olah suatu kunjungan damai biasa, tetapi maksud sebenarnya yang tak sepenuhnya ditutup-tutupi adalah untuk memata-matai pertahanan pulau itu.[21] Pertahanan Siprus, Kreta, Korfu, dan jajahan-jajahan Venesia lainnya diperkuat pada 1560-an, dengan memanfaatkan jasa insinyur militer ternama, Sforza Pallavicini. Garnisun-garnisunnya ditambah, dan dilakukan upaya-upaya untuk membuat pertahanan Kreta dan Siprus yang terpencil letaknya itu menjadi lebih mandiri dengan jalan mendirikan bengkel-bengkel peleburan besi dan penggilingan serbuk mesiu.[22] Sekalipun demikian, kenyataannya Siprus tidak akan mampu bertahan lama tanpa bala bantuan.[9] Letaknya yang terbuka, terpencil, sangat jauh dari Venesia, dan dikelilingi oleh wilayah kekuasaan Utsmaniyah, menjadikannya berada seolah "di moncong serigala", sebagaimana yang ditulis seorang sejarawan kala itu.[23] Pada akhirnya, kekurangan pasokan dan serbuk mesiu menjadi penyebab utama jatuhnya benteng-benteng Venesia ke tangan Utsmaniyah.[23] Venesia juga tidak dapat mengandalkan bantuan dari kekuatan Kristen utama di Mediterania, Spanyol Habsburg, yang sedang sibuk memadamkan Pemberontakan Belanda dan pemberontakan Morisko di dalam negeri Spanyol sendiri.[24] Permasalahan lain pihak Venesia adalah sikap masyarakat pulau Siprus. Perlakuan kejam dan beratnya beban pajak yang ditimpakan ke atas masyarakat Ortodoks Yunani setempat oleh orang-orang Katolik Venesia telah menimbulkan ketidakpuasan yang mendalam, sehingga rakyat pada umumnya malah bersimpati pada pihak Utsmaniyah.[25] Menjelang awal 1570, persiapan-persiapan Utsmaniyah dan peringatan-peringatan yang dikirimkan oleh bailo di Konstantinopel, Marco Antonio Barbaro, telah meyakinkan Dewan Signoria bahwa perang tak terhindarkan lagi. Bala bantuan dan dana buru-buru dikirim ke Kreta dan Siprus.[26] Pada Maret 1570, seorang utusan Utsmaniyah ditugaskan ke Venesia dengan membawa sebuah ultimatum yang menuntut penyerahan Siprus dengan segera.[9] Meskipun ada suara-suara dalam Dewan Signoria Venesia yang mengusulkan agar pulau itu diserahkan dengan ganti wilayah di Dalmatia dan hak-hak dagang istimewa, harapan akan datangnya bantuan dari negara-negara Kristen lainnya menjadikan Venesia yakin dapat mempertahankan Siprus, dan ultimatum Utsmaniyah pun ditolak mentah-mentah.[27] Penaklukan Utsmaniyah atas SiprusPada 27 Juni, kekuatan tempur penyerang, sekitar 350–400 kapal dan 60.000–100.000 prajurit, berlayar menuju Siprus. Kekuatan tempur ini berlabuh dan mendaratkan pasukan tanpa mendapat perlawanan di Salines, dekat Larnaca, pesisir selatan Siprus pada 3 Juli, dan selanjutnya berbaris menuju ibu kota, Nikosia.[11][24] Orang-orang Venesia sebenarnya sudah berembuk mempertimbangkan perlawanan terhadap pendaratan pasukan Utsmaniyah. Tetapi, persenjataan berat milik Utsmaniyah terbilang unggul, dan kekalahan dalam melancarkan perlawanan hanya akan berarti binasanya kekuatan pertahanan pulau itu. Maka, pasukan Venesia memutuskan untuk mundur ke dalam benteng dan bertahan sampai bala bantuan tiba.[28] Pengepungan Nikosia dimulai pada 22 Juli dan berlangsung tujuh pekan, sampai dengan 9 September.[11] Trace italienne, yakni tembok dari padatan tanah yang baru dibangun untuk melindungi kota, dapat meredam gempuran Utsmaniyah dengan baik. Pihak Utsmaniyah di bawah pimpinan Lala Mustafa Pasya menggali lubang-lubang perlindungan mendekati benteng, dan sedikit demi sedikit menimbuni parit yang mengelilingi benteng, sementara senapan arquebus ditembakkan secara serentak dan beruntun guna melindungi para pekerja.[29] Akhirnya, serangan pada hari ke-45, yaitu 9 September, berhasil menerobos dinding benteng[30] setelah pihak bertahan kehabisan amunisi. Pembantaian 20.000 warga kota itu pun menyusul.[31] Bahkan ternak babi, yang dianggap najis oleh umat Muslim, juga dibantai. Hanya perempuan dan anak-anak yang ditawan hidup-hidup untuk nantinya dijual sebagai budak belian.[29] Sebuah armada Kristen gabungan berkekuatan 200 kapal, terdiri atas skuadron Venesia (dipimpin Girolamo Zane), skuadron Kepausan (dipimpin Marcantonio Colonna), dan skuadron Napoli-Genova-Spanyol (dipimpin Giovanni Andrea Doria) yang baru dapat berkumpul di Kreta menjelang akhir Agustus dan kemudian berlayar menuju Siprus, berbalik haluan begitu mendapat kabar kejatuhan Nikosia.[27][32] Menyusul jatuhnya Nikosia, benteng Kirenia di utara menyerah tanpa perlawanan, dan pada 15 September, pasukan berkuda Turki telah tampak di depan benteng pertahanan terakhir Venesia, Famagusta. Pada saat ini, di pihak Venesia, jumlah korban tewas dan ditawan (termasuk penduduk setempat) sudah mencapai 56.000 orang.[33] Orang-orang Venesia yang mempertahankan Famagusta berjumlah 8.500 orang dengan 90 pucuk senjata berat, dipimpin oleh Marco Antonio Bragadin. Mereka diperkirakan akan mampu bertahan selama 11 bulan menghadapi kekuatan tempur yang terdiri atas 200.000 prajurit, dengan 145 pucuk senjata,[34] sehingga tersedia cukup waktu bagi Sri Paus guna mengimbau negara-negara Kristen Eropa yang enggan untuk membentuk sebuah Liga Anti-Utsmaniyah.[35] Pihak Utsmaniyah mempersiapkan meriam-meriam mereka pada 1 September.[31] Selama bulan-bulan berikutnya, mereka mulai menggali parit-parit sedalam tiga mil yang saling berselang-seling membentuk sebuah jaringan yang luas mengelilingi benteng, yang dapat dijadikan tempat berlindung bagi pasukan-pasukan Utsmaniyah. Begitu penggalian parit-parit perlindungan mendekati dan berada dalam jarak tembak dari tembok benteng, didirikanlah sepuluh benteng dari kayu, padatan tanah, dan berbal-bal kapas.[36] Akan tetapi pihak Utsmaniyah tidak memiliki kekuatan angkatan laut yang cukup besar untuk juga sepenuhnya memblokade kota dari lautan, sehingga orang-orang Venesia tetap dapat memulihkan pasokan persediaan dan memasukkan bala bantuan ke dalam benteng. Setelah kabar pemulihan pasokan itu sampai ke telinga Sultan, ia memanggil kembali Piyale Pasya dan membiarkan Lala Mustafa seorang diri memimpin pengepungan.[37] Pada waktu yang sama, usulan Sokollu Mehmed Pasya untuk berdamai dengan Venesia dimentahkan. Sang Wazir Agung menawarkan konsesi pos dagang di Famagusta jika Republik Venesia bersedia melepaskan Siprus, tetapi orang-orang Venesia, didorong oleh keberhasilan mereka yang belum lama berselang dalam merebut Durazzo di Albania, serta sedang berjalannya negosiasi pembentukan sebuah liga Kristen, menolak tawaran itu.[24][38] Oleh karena itu pada 12 Mei 1571, benteng Famagusta mulai digempur dengan gencar, dan pada 1 Agustus, dengan habisnya amunisi dan persediaan, garnisun pun menyerahkan kota itu.[36] Pengepungan Famagusta merenggut korban sebanyak 50.000 jiwa di pihak Utsmaniyah.[39] Pihak Utsmaniyah membiarkan warga Kristen kota itu dan prajurit-prajurit Venesia yang tersisa untuk meninggalkan Famagusta dengan aman, tetapi tatkala Lala Mustafa mengetahui bahwa beberapa tahanan Muslim telah dibunuh selama pengepungan berlangsung, ia pun memerintahkan agar Bragadin dimutilasi dan dikuliti hidup-hidup, sementara rekan-rekannya dihukum mati. Kulit Bragadin kemudian diarak keliling pulau, sebelum akhirnya dikirim ke Konstantinopel.[40] Liga SuciSelagi bala tentara Utsmaniyah berperang di Siprus, Venesia berusaha mencari sekutu. Kaisar Romawi Suci Maximilian II yang baru saja menyelesaikan perjanjian damai dengan Utsmaniyah tidak berniat mengingkarinya. Prancis sendiri telah lama bersahabat dengan Utsmaniyah dan bermusuhan dengan Spanyol, sementara Polandia sedang menghadapi Muskovia.[41] Habsburg Spanyol, kekuatan Kristen terbesar di Mediterania, mula-mula tidak tertarik untuk membantu Venesia dan masih kecewa dengan penolakan Venesia untuk mengirimkan bala bantuan semasa peristiwa pengepungan Malta pada 1565.[9][42] Terlebih lagi Felipe II dari Spanyol hendak mengerahkan segenap kekuatan tempurnya guna menghadapi negara-negara Berber di Afrika Utara. Keengganan Spanyol untuk ikut serta membela Republik Venesia, serta keengganan Doria untuk mempertaruhkan keselamatan armadanya, sungguh-sungguh menghambat kelancaran upaya pembentukan angkatan laut gabungan pada 1570.[33] Akan tetapi, berkat giatnya mediasi yang dilakukan oleh Paus Pius V, sebuah persekutuan guna menghadapi Utsmaniyah, yakni "Liga Suci", dapat terwujud pada 15 Mei 1571, yang menghimpun sebuah armada gabungan berkekuatan 200 galai, 100 kapal perbekalan, dan sebala pasukan yang terdiri atas 50.000 prajurit. Guna mendapatkan persetujuan Spanyol, isi perjanjian pembentukan Liga Suci juga berisi janji Venesia untuk membantu Spanyol di Afrika Utara.[9][27][43] Berdasarkan syarat-syarat pembentukan persekutuan baru itu, selama musim panas, armada Kristen berhimpun di Messina, di bawah pimpinan Don Juan de Austria, adik tiri Raja Felipe II, yang tiba pada 23 Agustus. Namun pada waktu itu Famagusta sudah jatuh ke tangan Utsmaniyah, dan segala pengerahan upaya untuk menyelamatkan Siprus hanya akan berakhir sia-sia.[27] Sebelum berlayar ke timur, Don Juan harus mengatasi rasa saling curiga dan saling memusuhi antar anggota Liga Suci, khususnya antara Venesia dan Genova. Sang laksamana dari Spanyol itu mengatasi permasalahan ini dengan mengacak seluruh pasukan dari berbagai negara dan membentuk regu-regu yang terdiri atas kapal-kapal dari negara-negara yang berbeda. Doria ditugaskan memimpin regu sayap kanan, Don Juan sendiri memimpin regu tengah, Laksamana Venesia Agostino Barbarigo memimpin regu sayap kiri, dan Laksamana Spanyol Álvaro de Bazán memimpin regu cadangan.[44] Sebelum mengetahui nasib Famagusta, armada gabungan itu bertolak dari Messina pada 16 September, dan berlabuh di Corfu sepuluh hari kemudian. Di Corfu, armada gabungan itu menerima kabar kemenangan Utsmaniyah. Sementara itu, armada Utsmaniyah di bawah pimpinan Müezzinzade Ali Pasya telah melepas sauh di Lepanto (Nafpaktos), dekat jalur masuk ke Teluk Korintus.[45][46] Pertempuran LepantoKedua belah pihak segera berusaha menghimpun kekuatan tempur masing-masing untuk mengalahkan lawan dalam sebuah pertempuran pamungkas. Menurut beberapa perkiraan, kekuatan yang terkumpul mencakup antara 70 sampai 90 persen dari keseluruhan kapal galai yang ada di Mediterania kala itu.[47] Armada-armada kedua belah pihak kurang lebih berimbang: armada Utsmaniyah lebih besar dengan 300 kapal dibanding armada Kristen dengan 200 kapal, tetapi kapal-kapal Kristen lebih kokoh; masing-masing armada mengangkut sekitar 30.000 prajurit, dan meskipun pihak Kristen memiliki meriam dua kali lipat jumlahnya daripada yang dimiliki lawannya, pihak Utsmaniyah dapat mengimbanginya dengan sebala besar pasukan pemanah.[48] Pada 7 Oktober, kedua armada saling tempur dalam Pertempuran Lepanto, yang berujung pada kemenangan di pihak armada Kristen, sementara armada Utsmaniyah hancur binasa, kehilangan sekitar 25.000–35.000 orang belum lagi sekitar 12.000 budak galai yang dibebaskan.[49][50][51] Di pihak Utsmaniyah, Müezzinzade Ali Pasya tewas tertembak di kepala, dan konon kepalanya ditusuk dengan tombak dan dijadikan trofi perang.[52] Bagi banyak orang, pertempuran itu sendiri dikenal sebagai salah satu titik balik penentu dalam perseteruan panjang Utsmaniyah-Kristen, karena pertempuran itu mengakhiri hegemoni angkatan laut Utsmaniyah yang merajalela seusai Pertempuran Preveza pada 1538.[9] Meskipun demikian hasil jangka pendeknya cukup minim: musim dingin parah yang selanjutnya datang menghalangi Liga Suci untuk melanjutkan penyerangan, sementara pihak Utsmaniyah memanfaatkan kesempatan itu untuk lekas-lekas memulihkan kekuatan angkatan lautnya.[53] Pada saat yang sama, Venesia menderita kekalahan di Dalmatia, daerah kekuasaannya yang menjadi target Utsmaniyah: Pulau Hvar diserang armada Utsmaniyah, dan bala tentara Turki membumihanguskan kota Hvar, kota Stari Grad dan kota Vrboska.[54] Situasi strategis seusai Pertempuran Lepanto terangkum dalam ucapan Wazir Agung Utsmaniyah kepada bailo Venesia: "Orang-orang Kristen telah membakar janggutku (maksudnya armada Utsmaniyah), tetapi aku telah menetak putus sebelah lengannya. Janggutku akan tumbuh kembali. Tetapi lengannya (maksudnya Siprus) tidak".[55] Sekalipun berkata demikian, armada Utsmaniyah sesungguhnya menderita kerugian besar—bukan soal jumlah kapal yang hilang, melainkan soal hilangnya hampir semua perwira, awak, teknisi, dan prajurit berpengalaman dalam armadanya. Sadar akan sulitnya mencari tenaga-tenaga pengganti yang sudah sangat berpengalaman, pada tahun berikutnya, Venesia dan Spanyol menghukum mati semua tenaga ahli Utsmaniyah yang mereka tawan.[56] Selain itu, meskipun kemenangan pihak persekutuan menghasilkan sedikit dampak stategis, andaikata Utsmaniyah yang menang di Lepanto, dampak yang ditimbulkannya akan jauh lebih dahsyat: kemenangan Utsmaniyah bakal menyapu bersih tenaga-tenaga ahli dalam angkatan laut Kristen, dan armada Utsmaniyah bakal leluasa merajalela di Mediterania, yang tentunya akan berdampak buruk bagi Malta, Kreta, dan bahkan mungkin juga bagi Kepulauan Balears dan Venesia sendiri.[57] Pertempuran Lepanto dan kekalahan Utsmaniyah di Malta enam tahun sebelumnya meneguhkan pembagian Mediterania secara de facto, yakni kawasan timur di bawah kendali penuh Utsmaniyah dan kawasan barat di bawah kendali wangsa Habsburg beserta sekutu-sekutu Italianya.[58] Ketika kembali beroperasi pada tahun berikutnya, armada persekutuan Kristen mendapati angkatan laut Utsmaniyah sudah pulih seperti sediakala dengan kekuatan 200 kapal di bawah pimpinan Kılıç Ali Pasya. Armada Spanyol di bawah pimpinan Don Juan baru memasuki Laut Ionia pada bulan September, sehingga pihak Utsmaniyah unggul jumlah untuk sementara waktu. Meskipun demikian, laksamana Utsmaniyah sadar betul akan kelemahan armadanya, yakni jeleknya mutu kapal-kapal armada Utsmaniyah yang dikerjakan secara terburu-buru dengan menggunakan kayu basah, dan awak yang tidak berpengalaman, sehingga ia sengaja menghindari bentrok dengan armada Liga Suci pada bulan Agustus, dan akhirnya berhasil mencapai benteng Modon dengan selamat. Kedatangan armada Spanyol dengan 55 kapalnya membuat jumlah kapal kedua belah pihak menjadi berimbang, dan membuka peluang bagi armada persekutuan Kristen untuk menimpakan kekalahan telak terhadap armada Utsmaniyah, tetapi perpecahan antar pimpinan Kristen dan keengganan Don Juan menyebabkan peluang itu terbuang percuma.[59][60] Konflik kepentingan antarnegara anggota Liga Suci mulai muncul ke permukaan, dan ikatan persekutuan pun mulai renggang. Pada tahun 1573, armada Liga Suci batal berlayar berbarengan. Don Juan malah menyerang dan merebut Tunis hanya untuk kelak direbut kembali oleh Utsmaniyah pada 1574.[61][62] Venesia yang khawatir kehilangan kedaulatannya atas Dalmatia serta kemungkinan terjadinya invasi atas Friuli,[63] dan sangat ingin menutupi kerugiannya serta kembali berniaga dengan Kesultanan Utsmaniyah, mengupayakan perundingan-perundingan sepihak dengan pihak Kesultanan Utsmaniyah.[60][64] Perdamaian dan kesudahan perangMarco Antonio Barbaro, bailo Venesia yang dipenjarakan oleh Utsmaniyah sejak 1570, melakukan proses negosiasi. Mengingat Republik Venesia sudah tidak mampu merebut kembali Siprus, kesepakatan damai yang ditandatangani pada tanggal 7 Maret 1573 pun menegaskan status baru Siprus sebagai provinsi Utsmaniyah, dan mewajibkan Venesia membayar pampasan perang sebesar 300.000 keping dukat.[60] Selain itu, tapal batas kedua negara di Dalmatia juga bergeser akibat pendudukan Turki atas dataran-dataran gigir yang tak seberapa luas tetapi penting, meliputi kawasan-kawasan pertanian tersubur di sekitar kota-kota, sehingga sangat merugikan perekonomian kota-kota Venesia di Dalmatia.[65] Kesepakatan damai antara Republik Venesia dan Kesultanan Utsmaniyah bertahan sampai tahun 1645, tatkala pecah perang perebutan Kreta yang berlangsung lama.[66] Siprus tetap tunduk di bawah pemerintahan Utsmaniyah sampai tahun 1878, tatkala pulau itu direlakan Utsmaniyah menjadi wilayah protektorat Britania Raya melalui Konvensi Siprus. Di atas kertas, kesultanan Utsmaniyah terus berdaulat atas Siprus sampai pecah Perang Dunia I, ketika pulau itu dianeksasi oleh Inggris, dan dijadikan jajahannya pada tahun 1925.[67] Referensi
Sumber
|