Pertempuran Tarawa1°25′37.00″N 172°58′32.00″E / 1.4269444°N 172.9755556°E
Pertempuran Tarawa adalah sebuah pertempuran dalam Palagan Pasifik pada Perang Dunia II yang berlangsung dari tanggal 20 November sampai 23 November 1943 yang berlokasi di Atol Tarawa di Kepulauan Gilbert. Hampir 6.400 orang Jepang, Korea dan Amerika terbunuh dalam pertempuran itu, sebagian besar di sekitar pulau kecil Betio (ujung paling barat daya Atol Tarawa).[3] Pertempuran Tarawa adalah ofensif pertama Amerika di wilayah kritis Pasifik Tengah. Dan untuk pertama kalinya dalam Perang Pasifik Amerika Serikat menghadapi perlawanan serius Jepang terhadap pendaratan amfibi.[4] Previous landings met little or no initial resistance,[5][N 1] Pendaratan-pendaratan sebelumnya belum pernah menemui perlawanan yang berarti, tapi di Tarawa 4.500 serdadu Jepang lengkap dan siap, dan mereka bertempur sampai hampir orang terakhir, memakan korban besar dari Korps Marinir AS. AS telah menderita kerugian yang sama selama kampanye-kampanye sebelumnya, sebagai contoh, lebih dari enam bulan di Kampanye Guadalkanal, tapi kerugian di Tarawa terjadi hanya dalam waktu 76 jam. Latar belakangKeputusan-keputusan strategis AmerikaDalam rangka membangun pangkalan-pangkalan udara maju yang mampu mendukung operasi-operasi di Pasifik Tengah, menuju Filipina dan lalu ke Jepang, AS berencana untuk merebut Kepulauan Mariana. Kepulauan Mariana memiliki pertahanan yang kuat. Doktrin AL saat itu menyatakan bahwa untuk berhasil, pesawat yang berpangkalan di darat diperlukan untuk memperlemah pertahanan musuh dan melindungi pasukan invasi. Pulau-pulau terdekat yang mampu mendukung upaya seperti itu adalah Kepulauan Marshall di timur laut Guadalkanal. Merebut Kepulauan Marshall akan menyediakan pangkalan yang dibutuhkan untuk melancarkan ofensif ke Kepulauan Mariana, tetapi komunikasi langsung dari Kepulauan Mariana ke Hawaii terpotong oleh garnisun dan pangkalan udara Jepang di pulau kecil Betio, di sebelah barat Atol Tarawa di Kepulauan Gilbert. Maka dari itu, untuk melancarkan invasi ke Kepulauan Mariana, pertempuran harus dimulai jauh di timur, di Tarawa. Setelah menyelesaikan Kampanye Guadalkanal, Divisi 2 Marinir telah ditarik mundur ke Selandia Baru untuk beristirahat dan memulihkan diri.[6] Korban tewas diganti dan anggotanya diberi kesempatan untuk memulihkan diri dari malaria dan penyakit lainnya yang telah melemahkan mereka selama pertempuran di Kepulauan Solomon.[7] Pada tanggal 20 Juli 1943, Pimpinan Gabungan mengarahkan Laksamana Chester Nimitz untuk menyiapkan rencana untuk operasi ofensif di Kepulauan Gilbert. Pada bulan Agustus, Laksamana Raymond Spruance diterbangkan ke Selandia Baru untuk bertemu dengan komandan baru Divisi 2 Marinir, Jenderal Julian Smith,[6] dan memulai perencanaan invasi dengan para komandan divisi. Persiapan JepangBerlokasi sekitar 2.400 mil (3.900 km) barat daya dari Pearl Harbor, Betio adalah pulau terbesar di Atol Tarawa. Pulau kecil dan datar ini terletak di bagian paling selatan laguna, dan merupakan pangkalan bagi sebagian besar serdadu Jepang. Berbentuk seperti segitiga yang panjang dan tipis, pulau kecil ini panjangnya sekitar 2 mil (3,2 km). Pulau ini sempit dengan bagian terlebarnya adalah 800 yard (730 m). Sebuah dermaga panjang dibangun menonjol keluar dari pantai utara dimana kapal-kapal kargo bisa membongkar muatannya sambil buang sauh di luar terumbu karang dangkal selebar 500-meter (550 yd) yang mengelilingi pulau tersebut. Pantai utara pulau ini menghadap ke dalam laguna, sementara sisi selatan dan barat menghadap perairan terbuka. Menyusul serangan pengalihan Kolonel Evans Carlson ke Pulau Makin pada bulan Agustus 1942, pimpinan Jepang menjadi sadar akan kerentanan dan pentingnya Kepulauan Gilbert secara strategis. Pasukan Pendarat Khusus 6 AL Yokosuka memperkuat pulau itu pada bulan Februari 1943. Dipimpin oleh Laksamana Muda Tomonari Saichiro (友成佐一郎) seorang insinyur yang berpengalaman yang mengarahkan pembangunan struktur pertahanan yang canggih di Betio. Saat mereka tiba, Yokosuka 6 menjadi pasukan garnisun, dan nama kesatuan tersebut diganti menjadi Pasukan Khusus Pertahanan Pangkalan 3. Tujuna utama Tomonari dalam skema pertahanan Jepang adalah menghentikan para penyerang di laut atau menahan mereka di pantai. Pos tembak dan liang tembak dibangun dalam jumlah besar, dengan bidang tembak yang bagus ke arah laut dan pantai berpasir. Di pedalaman pulau ada pos komando dan sejumlah perlindungan besar yang dirancang untuk melindungi pasukan yang bertahan dari serangan udara dan bombardemen. Pertahanan pulau tidak disiapkan untuk pertempuran di pedalaman pulau. Struktur di pedalaman berukuran besar dan berventilasi, tapi tidak memiliki lubang tembak. Pasukan yang bertahan hanya bisa menembak dari ambang pintu.[8] Jepang bekerja keras hampir setahun lamanya untuk memperkuat pulau.[9] Untuk membantu garnisun dalam pembangunan pertahanan, 1.247 anggota pasukan pionir 111, mirip dengan Seabee-nya AL AS, beserta 970 anggota Batalyon konstruksi Armada Keempat didatangkan. Sekitar 1.200 orang di kelompok ini adalah pekerja paksa asal Korea. Garnisunnya sendiri terdiri dari pasukan AL Kekaisaran Jepang. Pasukan Pendarat Khusus AL adalah komponen Marinir dari AL Kekaisaran Jepang, dan dikenal oleh intelijen AS sebagai lebih terlatih, lebih disiplin, lebih ulet dan memiliki kepemimpinan satuan kecil yang lebih baik daripada unit yang setara di AL Kekaisaran Jepang. Pasukan Khusus Pertahanan Pangkalan 3 yang ditugaskan di Tarawa berkekuatan 1.112 orang. Mereka diperkuat oleh Pasukan Pendarat Khusus 7 Sasebo, berkekuatan 1.497 orang. Mereka dipimpin oleh Letkol Takeo Sugai. Kesatuan ini didukung oleh 14 tank ringan Tipe 95 pimpinan Letda Ohtani. Empat belas meriam pertahanan pantai, termasuk empat meriam Vickers 8-inchi yang dibeli saat Perang Jepang-Rusia dari Inggris, terlindung bunker beton di sekeliling pulau untuk berjaga dari pendekatan melalui perairan terbuka.[3] Diperkirakan meriam-meriam besar ini akan mempersulit pasukan pendarat untuk memasuki laguna dan menyerang pulau dari sisi utara. Pulau ini memiliki 500 pos tembak atau “penjara” terbuat dari kayu dan pasir, banyak dari mereka diperkuat dengan semen. Empat puluh alat artileri tersebar di sekitar pulau di dalam bermacam-macam liang temabk yang diperkuat. Sebuah lapangan udara dibangun menembus pepohonan tepat di tengah pulau. Parit-parit menghubungkan semua titik di pulau, memudahkan pasukan untuk bergerak ke mana dibutuhkan dalam keadaan terlindung. Saat pimpinan percaya meriam pantai mereka akan melindungi mereka dari pendekatan ke dalam laguna, serangan terhadap pulau diantisipasi akan datang dari perairan terbuka di pantai-pantai barat dan selatan. Laksamana Muda Keiji Shibazaki, seorang perwira tempur berpengalaman dari kampanye-kampanye di China, meggantikan Tomonari pada tanggal 20 Juli 1943, untuk mengantisipasi pertempuran yang akan datang. Shibazaki melanjutkan persiapan pertahanan sampai hari invasi tiba. Dia menyemangati pasukannya dengan berkata "akan memakan satu juta orang dalam seratus tahun untuk menaklukkan Tarawa". Pasukan yang menyerangFormasi tempur AmerikaArmada Kelima AS[10]
Pasukan Penyerang Operasi Galvanic
Korps Amfibi Kelima Divisi 2 Marinir
Artileri Divisi (Letkol Presley M. Rixey)[12] Formasi tempur JepangPasukan pertahanan Kepulauan Gilbert[13]
Pertempuran20 NovemberPasukan invasi Amerika ke Kepulauan Gilbert adalah yang terbesar yang pernah disusun untuk sebuah operasi tunggal di Pasifik, terdiri dari 17 kapal induk (6 standar, 5 ringan, dan 6 kawal), 12 kapal tempur, 8 kapal penjelajah berat, 4 kapal penjelajah ringan, 66 kapal perusak, dan 36 kapal angkut. Yang menumpang kapal-kapal angkut adalah Divisi 2 Marinir dan bagian dari Divisi Infantri 27 Angkatan Darat, dengan jumlah total 35.000 orang. Saat armada invasi mendekat pada dini hari, empat meriam 8-inci di pulau menyalak. Duel artileri segera terjadi saat baterai utama kapal-kapal tempur Colorado dan Maryland membalas tembakan tersebut. Tembakan balasan pun tepat sasaran, dengan beberapa peluru 16-inci mengenai sasarannya. Satu peluru menembus gudang amunisi salah satu meriam, memicu ledakan besar. Tiga dari empat meriam tersebut segera dilumpuhkan. Satu yang tersisa melanjutkan tembakannya, meski tidak akurat, sepanjang hari kedua. Kerusakan yang dialami meriam-meriam besar tersebut membuat pintu masuk ke laguna terbuka. Menyusul duel artileri dan sebuah serangan udara pada pukul 06:10, bombardemen dari laut dimulai dan berlangsung selama tiga jam. Dua penyapu ranjau dengan dua kapal perusak untuk menyediakan tembakan pelindung memasuki laguna pada dini hari dan membersihkan perairan dangkal dari ranjau.[14] Lampu pemandu dari salah satu penyapu ranjau mengarahkan kapal pendarat ke dalam laguna, di mana mereka menanti berakhirnya bombademen. Rencananya adalah mendaratkan para Marinir di pantai-pantai utara yang terbagi menjadi tiga bagian: Pantai Red 1 di ujung barat pulau, Pantai Red 2 di tengah, sebelah barat dermaga, dan Pantai Red 3 di timur dermaga.[15] Pantai Green adalah pantai pendaratan yang disiapkan untuk pendaratan H+1. Pantai Black 1 dan 2 berada di pantai selatan pulau dan tidak digunakan. Landasan udara yang membentang dari timur ke barat, membagai pulau menjadi utara dan selatan. Perencana tempur Marinir mengharapkan pasang naik normal untuk menyediakan kedalaman 1,5 meter di terumbu karang supaya perahu-perahu Higgins mereka yang berlambung 1,2 meter bisa lewat. Namun pada hari itu dan esoknya, samudera mengalami pasang laut perbani sehingga permukaan laut tidak naik. Menurut para pengamat, “sang laut diam saja “, menyebabkan kedalaman air di terumbu karang hanya 1 meter saja. Sayangnya, komandan satuan tugas telah menolak saran dari seorang perwira penghubung Selandia Baru yang berpengalaman di pulau itu kalau pasang naiknya tidak sesuai pada hari pendaratan.[16][17] Bombardemen berakhir dan Marinir memulai serangan mereka dari laguna pada pukul 09:00, tiga puluh menit lebih lambat daripada yang diharapkan, tapi menemukan kalau laut di sekitar terumbu karang terlalu dangkal untuk dapat dilewati perahu pendarat mereka.[18] Hanya LVT “Alligator” yang beroda rantai yang mampu melewatinya. Dalam jeda bombardemen, tentara Jepang yang selamat darinya kembali mengawaki liang-liang tembak mereka. Pasukan Jepang dari pantai selatan dipindahkan ke pantai utara. Saat LVT melewati terumbu karang menuju perairan dangkal, jumlah pasukan Jepang di liang-liang tembak bertambah, dan volume tembakan bermacam senjata yang dihadapi LVT berangsur meningkat. LVT-LVT menderita banyak lubang peluru yang menembus lambung mereka yang tak berperisai dan banyak yang dilumpuhkan. Para ‘Alligator’ yang berhasil mendarat terbukti tak sanggup mendaki tembok laut, menyebabkan para pasukan gelombang serang pertama terjepit di tembok kayu di sepanjang pantai. Sejumlah ‘Alligator’ kembali ke terumbu karang untuk mencoba membawa masuk pasukan yang terjebak di sana, tapi sebagian besar dari LVT ini terlalu berlubang untuk tetap dapat laik laut, menyebabkan para Marinir terjebak di terumbu karang sejauh 460 m lepas pantai. Separuh dari LVT-LVT itu dilumpuhkan saat hari pertama berakhir. Kolonel David Shoup adalah perwira senior pasukan pendarat, dan dia langsung memimpin para Marinir saat tiba di pulau. Walaupun terluka oleh peluru meriam yang meledak saat mendarat di dermaga, Shoup telah membersihkan dermaga dari penembak runduk Jepang dan mengumpulkan Marinir dari gelombang pertama yang terjebak di belakang tembok laut. Dua hari berikutnya, bekerja tanpa henti di bawah hujan peluru, dia mengarahkan serangan terhadap posisi-posisi Jepang yang dijaga kuat, merangsek maju tanpa mempedulikan rintanga-rintangan dan tembakan musuh. Selama itu, Kolonel Shoup berulang kali terancam tembakan senjata ringan dan artileri Jepang dan menginspirasi anak buahnya. Untuk tindakannya di Betio, beliau dianugerahi Medal of Honor. Upaya-upaya awal untuk mendaratkan tank sebagai pendukung jarak dekat dan untuk melewati tembok laut gagal ketika kapal pendarat LCM yang membawa mereka tersangkut di belakang terumbu karang. Beberapa dari kapal ini terkena tembakan saat berada di laguna menunggu untuk maju ke pantai, ada yang langsung karam, ada juga yang terpaksa mundur karena kemasukan air. Dua tank Stuart didaratkan di ujung timur pantai tapi langsung dilumpuhkan dalam sekejap. Komandan Batalyon 3, Resimen 2 menemukan beberapa LCM di dekat terumbu karang dan memerintahkan mereka untuk mendaratkan tank Sherman mereka dan menuju ke Pantai Red 2. LCM-LCM itu menurunkan rampa mereka dan enam buah tank bergerak mendaki terumbu karang dan menembus ombak. Mereka dipandu ke pantai oleh para Marinir yang berjalan kaki, tapi beberapa dari tank-tank ini jatuh ke lubang yang disebabkan oleh bombardemen pembuka serangan dan tenggelam.[19] Tank-tank Sherman yang tersisa di ujung barat pulau terbukti lebih efektif daripada tank Stuart yang lebih ringan. Mereka membantu memajukan garis depan sejauh 300 yard (270 m) dari pantai. Satu buah terjebak di perangkap dan yang lainnya dilumpuhkan oleh sebuah ranjau magnetis. Tank yang satu lagi terkena tembakan tepat di meriam 75mm-nya sehingga tak bisa digunakan. Tank itu akhirnya digunakan sebagai pos tembak portabel sepanjang hari itu. Peleton ketiga berhasil mendaratkan keempat tank-nya di Red 3 sekitar tengah hari dan mengoperasikan mereka dengan sukses hari itu, tapi saat hari berakhir hanya satu tank yang masih beroperasi. Sebelum tengah hari para Marinir telah berhasil maju sampai lini pertahanan pertama Jepang. Sebelum pukul 15:30 lini tersebut telah berpindah ke pedalaman di beberapa tempat tapi secara umum masih di sepanjang lini pertahanan pertama. Kedatangan tank membuat lini berpindah di pantai Red 3 dan di ujung pantai Red 2 (sisi kanan, bila dilihat dari utara), dan sebelum malam tiba lini telah berpindah separuh pulau, dekat dengan landas pacu utama. Sebagai tambahan, Mayor Michael P. Ryan, seorang komandan kompi, telah mengumpulkan sisa-sisa kompinya bersama dengan Marinir dan pelaut lainnya dari gelombang-gelombang pendaratan lain, juga dua tank Sherman, dan telah mengalihkan mereka ke bagian yang pertahanannya lebih lemah di pantai Green. Unit impromptu ini kemudian disebut sebagai “Anak-anak yatim Ryan” (Ryan’s Orphans). Ryan, yang dikira sudah gugur, mengarahkan tembakan meriam dari laut dan melancarkan serangan yang membersihkan ujung barat pulau.[20] Jalur komunikasi yang dipasang Jepang hanya dikubur dangkal dan hancur saat terkena bombardemen dari laut, secara efektif mencegah kendali langsung komandan Keiji Shibazaki akan pasukannya. Pada tengah hari, beliau dan stafnya meninggalkan pos komando di ujung barat lapangan udara, agar bisa digunakan untuk berteduh dan merawat korban terluka, dan bersiap untuk pindah ke sisi selatan pulau. Beliau telah memerintahkan dua tank ringan Tipe 95-nya untuk bertindak sebagai pelindung gerak pindahnya, tapi sebuah peluru meriam 5-inci meledak di tengah-tengah personel markas besarnya saat mereka sedang berkumpul di luar pos komando pusat yang terbuat dari beton, mengakibatkan kematian sang komandan dan sebagian besar stafnya. Kehilangan ini menambah kerumitan masalah komando Jepang.[21][22] Saat malam tiba pada hari pertama, para prajurit Jepang yang bertahan terus melanjutkan tembakan sporadis untuk mengusik musuh, tapi tidak melancarkan serangan terhadap para Marinir yang bertahan di pantai dan di wilayah yang dimenangkan hari itu. Dengan Laksamana Muda Shibazaki tewas dan jalur komunikasi mereka tercabik, tiap kesatuan Jepang jadi terisolasi, dan hal itu telah terjadi sejak mulainya bombardemen angkatan laut. Para Marinir membawa sebuah baterai Howitzer Kemas 75mm (meriam Howitzer yang bisa dibongkar-pasang) ke darat lalu merakit mereka untuk siap digunakan keesokan harinya, tapi sebagian besar gelombang kedua belum bisa mendarat. Mereka menghabiskan malam itu mengapung di laguna tanpa makanan atau minuman, mencoba tidur di perahu-perahu pendarat mereka. Sejumlah marinir Jepang menyelinap di malam hari, berenang ke arah bangkai-bangkai Landing Vehicle Tracked di laguna, dan juga ke Saida Maru (斉田丸), sebuah bangkai kapal uap Jepang di barat dermaga utama. Mereka menunggu fajar tiba untuk menyerang pasukan Amerika Serikat dari belakang. Malam yang panjang berlalu, tapi karena tidak adanya arahan yang terpusat, pasukan Jepang tak bisa berkoordinasi untuk serangan balasan terhadap para Marinir yang pertahanannya masih lemah di pulau itu. Serangan balasan yang ditakutkan tidak pernah tiba dan para Marinir bergeming. Saat hari pertama berakhir, dari 5.000 Marinir yang mendarat, 1.500 menjadi korban, tewas atau terluka. November 21
Dengan para Marinir hanya memiliki garis depan yang tipis di pulau, hari kedua difokusakan untuk pasukan di Pantai Red 2 dan 3 menerobos ke pedalaman dan memecah pasukan Jepang menjadi dua bagian, mengembangkan kantong dekat lapangan udara sampai ke pantai selatan. Pasukan di Red 1 diarahkan untuk mengamankan Pantai Green untuk pendaratan bala bantuan. Pantai Green adalah seluruh ujung barat pulau. Upaya untuk merebut Pantai Green mulanya menemui perlawanan keras. Tembakan meriam AL membantu mengurangi jumlah pos tembak dan tempat meriam yang menghalangi. Sambil beringsut maju, para pengamat artileri mampu mengarahkan tembakan meriam AL tepat ke pos-pos senapan mesin dan pusat pertahanan yang tersisa. Dengan rintangan utama dikurangi, para Marinir berhasil merebut posisi-posisi tersebut dalam waktu sekitar satu jam dengan korban relatif kecil. Operasi di pantai Red 2 dan Red 3 lebih sulit. Pada malam hari musuh telah mendirikan beberapa pos senapan mesin baru di dekat posisi pasukan AS di kedua pantai tersebut, dan tembakan dari pos-pos tersebut memisahkan pasukan Amerika di Pantai Red 2 dan 3 untuk beberapa saat. Sebelum tengah hari, pasukan AS telah mendatangkan senapan mesin berat mereka, dan pos-pos Jepang tersebut dilumpuhkan. Sebelum petang mereka telah menyeberangi landasan udara dan menduduki bangunan pertahanan di sisi selatan. Sekitar pukul 12:30 sebuah pesan tiba, menyatakan kalau pasukan Jepang sedang menyeberang gosong dari ujung paling timur Betio menuju Bairiki, pulau kecil di seberangnya. Sebagian Resimen Marinir ke-6 kkemudian diperintahkan untuk mendarat di Bairiki untuk menyegel jalur mundur musuh. Mereka berkumpul, beserta tank dan artileri kemas, dan baru bisa mulai mendarat pada pukul 16:55. Mereka ditembaki dengan senapan mesin, sehingga pesawat dikirim untuk menemukan lokasi senapan-senapan mesin tersebut dan membungkamnya. Pasukan kemudian mendarat tanpa ditembaki lagi, dan kemudian diketahui bahwa sumber tembakan tadi adalah sebuah pos tembak berisi 12 senapan mesin. Di dalamnya ada sekaleng kecil bensin yang kemudian terbakar karena terkena tembakan pesawat. Saat bensin itu terbakar, seluruh penghuni pos tembak tersebut juga ikut terbakar. Kemudian, satuan-satuan lain dari Resimen 6 mendarat tanpa perlawanan di Pantai Green sebelah utara (dekat Pantai Red 1). Di penghujung hari, Seluruh ujung barat pulau sudah dikuasai AS, juga garis yang cukup bersambung di antara Red 2 dan Red 3 di sekeliling apron lapangan udara. Kelompok terpisah telah begerak ke seberang lapangan udara dan mendirikan lingkar di sisi selatan, berhadapan dengan Pantai Black 2. Kelompok-kelompok ini tidak saling berhubungan satu sama lain, dengan jarak lebih dari 500 yard (460 m) antara pasukan di Red 1/Green dengan di Red 2, dan lini di sisi utara pulau dari Red 2/Red 3 tidak bersambung. 22 NovemberHari ketiga pertempuran paling banyak terdiri dari mengkonsolidasi lini-lini yang ada di sepanjang Red 1 dan 2, sebuah terobosan ke arah dermaga, dan mendaratkan peralatan dan tank ke Pantai Green pada pukul 08:00.[23] Sepanjang pagi pasukan yang mendarat di Red 1 mengalami kemajuan menuju ke Red 2 tapi menderita korban. Sementara resimen 6 Mrinir yang telah mendarat di Pantai Green di selatan Red 1 mulai membentuk formasi sementara batalyon lainnya dari Resimen 6 mendarat. Sebelum siang Batalion 1 dari Resimen 6 Marinir sudah cukup teroganisir dan diperlengkapi untuk melakukan ofensif. Pada pukul 12:30 mereka menekan pasukan Jepang ke pesisir selatan pulau. Sebelum petang mereka telah mencapai ujung timur lapangan udara dan telah membentuk lini berkesinambungan dengan pasukan yang mendarat di Red 3 dua hari sebelumnya.[24] Sebelum malam pasukan Jepang yang tersisa dipaksa mundur ke sebidang kecil tanah di timur landasan udara atau beroperasi di beberapa kantung-kantung terisolasi dekat Red 1/Red 2 dan di dekat pinggir barat landasan udara. Malam itu pasukan Jepang bersiap untuk serangan balasan yang dimulai pukul 19:30.[25] Satuan-satuan kecil dikirim untuk menyusup ke lini-lini AS untuk bersiap melakukan serangan skala penuh. Pasukan yang sedang bergabung itu diceraiberaikan oleh tembakan artileri terkonsentrasi, dan serangan tersebut tak pernah terjadi. Upaya lainnya, sebuah serangan banzai besar-besaran dilancarkan pada pukul 03:00 dan menemui sedikit keberhasilan, memakan 173 korban, termasuk 45 orang tewas.[26] Dengan dukungan dari kapal perusak Schroeder dan Sigsbee, para marinir menghabisi 325 tentara Jepang.[26] November 23Pada pukul 05:10, satu dari 17 kapal induk pendukung, Liscome Bay, ditorpedo oleh sebuah kapal selam Jepang dan karam dengan korban 687 orang awaknya. Kapal tersebut telah melakukan tugasnya memberikan dukunagn udara bagi para Marinir, tapi karamnya Liscome Bay tidak mempengaruhi hasil perang darat. Namun korban jiwanya merupakan lebih dari 30% total korban jiwa pihak Amerika pada Pertempuran Tarawa. Diantara yang gugur di kapal induk tersebut adalah pahlawan Pearl Harbor, Doris Miller. Pada pukul 04:00 Jepang menyerang Batalyon 1 Resimen 6 Marinir dengan kekuatan penuh. Sekitar 300 prajurit Jepang melancarkan serangan Banzai ke lini Kompi A dan B. Dibantu oleh howitzer kemas 75mm milik Batalion 1 Resimen 10 dan kapal perusak Schroeder dan Sigsbee, para Marinir berhasil menhana serangan tersebut tapi hanya setelah meminta tembakan artileri dalam jarak 75 meter dari lini mereka.[27] Saat serangan berakhir satu jam kemudian ada 200 jenazah prajurit Jepang di garis depan Marinir dan 125 lainnya di luar itu. Pada pukul 07:00 pesawat tempur dan pembom tukik AL mengempukkan pertahanan Jepang di ujung timur pulau. Setelah serangan udara yang berlangsung selama 30 menit tersebut, howitzer-howitzer milik Batalion 1 Resimen 10 menembaki posisi-posisi Jepang tersebut. 15 menit kemudian AL melaksanakan bagian terakhir dari bombardemen tersebut dengan serangan artileri selama 15 menit. Pada pukul 08:00 Batalion 3 Resimen 6 dipimpin oleh Letkol McLeod menyerang, Batalion 1 Resimen 6 ditarik mundur setelah menderita 45 korban tewas dan 128 terluka dalam pertempuran malam sebelumnya. Karena bentuk pulau yang menyempit, Kompi I dan L dari Batalion 3 Resimen 6 membentuk keseluruhan garis depan Marinir dengan Kompi K sebagai cadangan. Marinir bergerak maju dengan cepat melibas sedikit prajurit Jepang yang tersisa di ujung timur Betio. Mereka memiliki dua tank Sherman yang dinamai Colorado dan China Gal, lima tank ringan sebagai pendukung dan pasukan zeni sebagai pendukung langsung.[28] Kompi I dan L maju 320 meter sebelum mengalami perlawanan serius dalam bentuk bunker-bunker yang saling berhubungan di garis depan Kompi I. Letkol McLeod memerintahkan Kompi L untuk terus maju, dan melewati posisi Jepang. Pada saat ini Kompi L menjadi garis depan di bagian pulau yang lebarnya 183 meter, sementara Kompi I menghabisi titik pertahanan terkuat Jepang dengan bantuan tank Colorado dan tim-tim demolisi/pelontar api dari zeni. Saat Kompi I mendekat, para prajurit Jepang keluar dari tempat pertahanan mereka dan mencoba mundur melalui sebuah ngarai sempit. Sadar akan percobaan mundur tersebut, komandan tank Colorado menembaki prajurit-prajurit yang sedang melarikan diri tersebut. Jenazah-jenazah prajurit Jepang yang hancur membuat mustahil intuk mengetahuii berapa orang yang tewas akibat tembakan tunggal dari Colorado itu tapi diperkirakan sekitar 50 samapi 75 orang yang tewas. Sementara Kompi L dari Batalion 3 Resimen 6 maju ke ujung timur pulau, Batalion 3 resiman 2 dan Batalion 1 Resimen 8 membersihkan kantung-kantung pertahanan Jepang yang masih ada antara Pantai Red 1 dan Red 2. Kantung pertahanan ini telah memberikan perlawanan terhadap para pendaratan Marinir di Red 1 dan Red 2 sejak Hari H dan mereka belum bisa menghadapinya.[29] Batalion 1 Resimen 8 maju menuju kantung dari timur (Red 2) sementara Batalyon 3 Resimen 2 maju dari barat (Red 1). Mayor Hewitt Adams memimpin sebuah peleton infantri didukung oleh dua howitzer kemas dari laguna menuju ke posisi-posisi Jepang untuk melengkapi pengepungan. Sebelum tangah hari kantung tesebut telah dibersihkan. Di ujung timur pulau, Kompi L dari Batalyon 3 Resimen 6 terus bergerak maju, melewati kantung-kantung perlawanan dan meninggalkan mereka untuk dibersihkan oleh tank, zeni dan dukungan udara. Sebelum pukul 13:00 mereka telah mencapai ujung timur Betio. Batalion 3 Resimen 6 menewaskan sekitar 475 serdadu Jepang pada pagi hari H+3 dengan kerugian 9 tewas dan 25 terluka. Kemabali ke kantung pertahanan di Pantai Red 1/Red 2 korban teas dari pihak Jepang tak dapat dihitung secara akurat. Diperkirakan 1 000 tentara Jepang masih hidup dan bertempur pada malam hari H+2, tersisa 500 orang pada pagi hari H+3 dan hanya tersisa 50-100 saat pulau dinyatakan aman pada pukul 13:30 H+3.[30] KesudahanUntuk beberapa hari ke depan Batalion 2 Resimen 6 Marinir bergerak ke pulau-pulau di atol tersebut dan membersihkan wilayah itu dari pasukan Jepang dan selesai pada tanggal 28 November. Divisi 2 Marinir menarik diri segera setelah itu dan menarik diri secara total pada awal tahun 1944. Dari 3.636 tentara Jepang penghuni garnisun, hanya satu perwira dan 16 prajurit yang menyerah. Dari 1.200 pekerja paksa Korea yang dibawa ke Tarawa untuk membangun pertahanan, hanya 129 yang selamat. Secara total, 4.690 dari yang bertahan di pulau itu tewas.[31] Divisi 2 Marinir menderita 894 korban tewas, 48 perwira dan 846 prajurit, sementara 84 orang yang terluka akhirnya wafat karena luka fatal yang mereka derita, terdiri dari delapan perwira dan 76 prajurit. 2 188 orang lainnya terluka dalam pertempuran, 102 perwira dan 2.086 prajurit. Dari sekitar 12.000 anggota Divisi 2 Marinir di Tarawa, 3.166 perwira dan prajurit menjadi korban.[32] Hampir semua dari korban ini jatuh dalam jangka 76 jam mulai dari pendaratan pukul 09:10 tanggal 20 November sampai Pulau Betion dinyatakan aman pada pukul 13:30 tanggal 23 November.[33] Jumlah korban yang besar yang diderita di Tarawa[34] menyulut protes publik di Amerika Serikat, dimana tajuk utama koran-koran yang mengabarkan kerugian besar tersebut tak dapat dipahami untuk pulau yang begitu kecil dan tak tampak penting.[3][35] Reaksi publik diperparah oleh komentar tanpa tedeng aling-aling dari beberapa komandan Korps Marinir. Jenderal Holland M. Smith, komandan Korps Amfibi V yang telah meninjau pantai-pantai setelah pertempuran, menyamakan keadaannya seperti Serangan Pickett di Gettysburg. Di Washington, Komandan Korps Marinir yang baru dilantik, Jenderal Alexande Vandegrift, veteran Guadalkanal yang sangat dihormati dan berjasa, meyakinkan Kongres, menyatakan bahwa “Tarawa adalah sebuah serangan dari awal sampai akhir.” Sebuah editorial dari New York Times pada tanggal 27 Desember 1943 memuji Marinir atas keberhasilan mereka menaklukkan pertahanan gernisun Tarawa yang keras dan fanatik, dan memperingatkan bahwa serangan-serangan di masa depan di Kepulauan Marshall mungkin menimbulkan kerugian yang lebih besar. "Kita harus meneguhkan hati untuk menebusnya".[3] Setelah perang, Jenderal Holland Smith menulis di biografinya, yang mana sangat mengkritik Angkatan Laut, berkomentar:
Beberapa komandan yang terlibat, termasuk Laksamana Chester Nimitz, Laksamana Raymond Spruance, Letjen Julian C. Smith dan Letkol David Shoup tidak setuju dengan Jenderal Smith. Nimitz pun berkata:
Nimitz meluncurkan kampanye Kepulauan Marshall 10 minggu setelah direbutnya Tarawa. Pesawat yang berangkat dari lanud-lanud di Betio dan Apamama terbukti yang berharga, tapi pengaruh aksi di Tarawa terhadap keberhasilan di Kepulauan Marshall terbukti menjadi pelajaran yang didapat dari pertempuran itu sendiri.[butuh rujukan] Kerugian di Tarawa merupakan akibat dari beberapa faktor, di antaranya adalah slaha menghitung air pasang dan tinggi terumbu karang, cacat operasional dari perahu pendarat yang tersedia, tidak mampunya bombardemen AL untuk memperlemah pertahanan musuh yang terlindung dengan baik, dan kesulitan koordinasi dan komunikasi antara pasukan-pasukan yang terlibat. Untuk pertama kalinya pendaratan amfibi AS dihadapi oleh lawan yang sangat siap. Pendaratan-pendaratan sebelumnya seperti di Kampanye Guadalkanal adalah serangan dadakan dan tidak menghadapi perlawanan yang berarti. Pada saat itu, Tarawa adalah atol yang paling kuat pertahanannya yang pernah diserang Sekutu di Pasifik.[36] Secara total, sekitar 6.400 orang Jepang, Korea dan Amerika tewas di pulau kecil itu dalam kurun waktu 76 jam.[3] Di akhir pertempuran, korban tewas AS memenuhi pantai dan mengambang di laut. Serka Norman T. Hatch dan kamerawan Marinir lainnya yang hadir di sana memperoleh gambar yang kemudian digunakan dalam film dokumenter.[37] With the Marines at Tarawa berisi adegan-adegan yang menayangkan korban jiwa AS yang sangat brutal sehingga keputusan untuk melepas film tersebut ke publik diserahkan kepadan Presiden Franklin Delano Roosevelt. Setelah pertempuran selesai, Divisi 2 Marinir dikirim ke Hawaii, meninggalkan Batalion 2 Resimen Marinir 6 untuk membersihkan medan tempur dari amunisi yang tidak meledak, mengamankan kegiatan pembangunan kembali landasan udara oleh pasukan zeni dan membantu proses pemakaman. Divisi 2 Marinir berada di Hawaii selama enam bulan untuk memulihkan diri, sampai ditugaskan kembali untuk pendaratan amfibi besar berikutnya, Pertempuran Saipan di Kepulauan Mariana pada bulan Juni 1944. Pelajaran yang didapat di Tarawa akan diterapkan ke semua serangan amfibi berikutnya saat Amerika bergerak menyeberangi Pasifik Tengah. Menurut wartawan perang Robert Sherrod:
PeninggalanLebih dari 100 serdadu Amerika yang gugur disana tidak pernah dipulangkan.[39] Pada bulan November 2013, sisa-sisa jenazah satu serdadu Amerika dan empat serdadu Jepang ditemukan di "tempat yang tak tersentuh dan masih menampilkan kondisi medan tempur pada waktu itu dan semua sisa-sisa jenazah tersebut ditemukan di tempat mereka gugur".[40] Jenazah 36 anggota Marinir, termasuk Lettu Alexander Bonnyman, Jr., dimakamkan di pemakaman medan tempur yang lokasinya hilang saat perang selesai. Pemakaman tersebut ditemukan pada bulan Maret 2015.[41] Pada tanggal 26 Juli 2015, sisa-sisa jenazah tersbut dipulangkan ke AS, tiba di Pangkalan Gabungan Pearl Harbot-Hickam di Honolulu Hawaii.[42] Kegagalan-kegagalan yang terjadi di pendaratan Tarawa menjadi faktor utama dalam pembentukan Underwater Demolition Teams (UDT) yang merupakan pendahulu Navy SEAL setelah “kebutuhan akan UDT di Pasifik Selatan menjadi sangat jelas“ di Tarawa.[43] "Pendaratan di Atol Tarawa menekankan perlunya pengintaian hidrografik dan penghancuran rintangan lewat bawah air sebelum pendaratan amfibi". "Setelah pendaratan Tarawa, Laksamana Muda Richmond K. Turner mengarahkan pembentukan sembilan Tim Underwater Demolition. 30 perwira dan 150 prahurit dipindahkan ke Pangkalan Pelatihan Amfibi Waimānalo untuk membentuk inti dari program pelatihan penghancuran bawah air. Kelompok ini menjadi Underwater Demolition Teams (UDT) ONE dan TWO".[44] Galeri
Lihat pula
Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Pertempuran Tarawa.
|