Share to:

 

Psikologi pendidikan

Psikologi perkembangan adalah studi ilmiah tentang bagaimana dan mengapa manusia berubah selama hidupnya. Awalnya berkaitan dengan bayi dan anak-anak, bidang ini telah diperluas untuk mencakup masa remaja, perkembangan dewasa, penuaan, dan seluruh umur.

Psikologi pendidikan adalah cabang dari ilmu psikologi yang mengkhususkan diri pada cara memahami pengajaran dan pembelajaran dalam lingkungan pendidikan.[1] Studi mengenai proses pembelajaran, baik dari sudut pandang kognitif maupun perilaku, mengijinkan ilmuwan untuk memahami perbedaan individu dalam hal intelegensi, perkembangan kognitif, afektif, motivasi, regulasi diri, konsep diri, serta peranannya dalam proses belajar. Bidang psikologi pendidikan banyak mengandalkan pengujian dan pengukuran dengan metode kuantitatif, untuk meningkatkan aktivitas pendidikan seperti desain pemberian instruksi, manajemen kelas, dan asesmen, yang bertujuan untuk memfasilitasi proses pembelajaran dalam berbagai setting pendidikan sepanjang hidup.[2]

Bidang dalam psikologi pendidikan meliputi studi tentang memori, proses konseptual, dan perbedaan individu (melalui psikologi kognitif) dalam mengonseptualisasikan strategi baru mengenai proses belajar pada manusia. Psikologi pendidikan telah dibangun atas dasar teori pengkondisian operan, fungsionalisme, strukturalisme, konstruktivisme, psikologi humanistik, psikologi Gestalt, dan pemrosesan informasi.[2]

Psikologi pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang berdasarkan riset psikologis yang menyediakan serangkaian tahap-tahap untuk membantu individu melaksanakan tugas sebagai seorang guru dalam proses mengajar-belajar secara lebih efektif. Definisi ini hanya sebatas pada proses interaksi antar guru-siswa dalam kelas. Psikologi pendidikan pada masa awal perkembangan dan pemanfaatannya belum dikenal banyak orang tetapi seiring dengan perkembangan sains dan teknologi, akhirnya lahir dan berkembanglah secara resmi sebagai sebuah cabang khusus psikologi yang disebut psikologi pendidikan. Pada umumnya para ahli memandang bahwa Johann Friedrich Herbart adalah bapak psikologi pendidikan. Namanya diabadikan sebagai nama sebuah aliran psikologi yang disebut Herbartianisme pada tahun 1820-an. Konsep utama pemikiran Herbartianisme adalah massa aperseptif, sebuah istilah yang khusus diperuntukkan bagi pengetahuan yang telah dimiliki individu. Dalam pandangan Herbart, proses belajar atau memahami sesuatu bergantung pada pengenalan individu terhadap hubungan-hubungan antara ide-ide baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki.[3]

Latar belakang historis

William James (1842-1910)

Bidang psikologi pendidikan didirikan oleh beberapa perintis bidang psikologi sebelum abad ke-20.[1]

John Dewey

Tokoh kedua yang berperan besar dalam membentuk psikologi pendidikan adalah John Dewey (1859-1952).[4]

E. L. Thorndike

Perintis ketiga adalah E. L. Thorndike (1874-1949).[5]

Seni dan ilmu pengetahuan dari mengajar

Keberhasilan seorang guru dalam mengajar sangat berkaitan dengan penguasaan sains serta seni dan keahlian mengajarnya.[6]

Psikologi pendidikan merupakan sumbangsih dari ilmu pengetahuan psikologi terhadap dunia pendidikan dalam kegiatan pendidikan pembelajaran, pengembangan kurikulum, proses belajar mengajar, sistem evaluasi, dan layanan konseling merupakan serta beberapa kegiatan utama dalam pendidikan terhadap peserta didik, pendidik, orang tua, masyarakat, dan pemerintah agar tujuan pendidikan dapat tercapai secara sempurna dan tepat guna.[7]

Tokoh

William James

William James mengemukakan bahwa aliran atau paham yang dianut menitikberatkan pada kebenaran yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan memperhatikan kegunaannya secara praktis. Penilaian dan pertimbangan individu tergantung kepada akibatnya, kepada kerjanya, dan kepada keberhasilan perbuatan yang disiapkan oleh pertimbangan tersebut. Pertimbangan yang telah dibuat dianggap benar jika bermanfaat bagi pelakunya, jika memperkaya hidup serta kemungkinan-kemungkinan hidup lainnya. Aliran filsafat yang dicetuskan oleh William James ini disebut sebagai aliran filsafat pragmatisme.[8] William James merumuskan pragmatisme sebagai sikap memalingkan diri dari segala sesuatu, prinsip-prinsip, kategori-kategori, keniscayaan-keniscayaan awal yang tidak penting, untuk kemudian beralih pada segala sesuatu, hasil-hasil, konsekuensi-konsekuensi, serta fakta-fakta baru yang lebih penting. Pragmatisme bersifat kritis terhadap semua sistem-sistem filsafat lama yang dianggap telah membuat kesalahan seperti mencari sesuatu yang puncak, mutlak, dan esensi-esensi abadi. Para penganut pragmatisme menekankan pada pentingnya sains empiris, dunia yang berubah dan masalah-masalahnya, serta alam sebagai seluruh realitas inklusif diluar keyakinan ilmiah tidak dianggap penting.[9] William James menjelaskan secara eksplisit bahwa kepentingan dan tujuan individu adalah salah satu elemen penting dalam filsafat pragmatisnya. James memahami prinsip objektivitas (realitas), kebenaran, dan realitas merupakan gagasan transendental yang sudah harus disingkirkan karena sudah tidak sesuai dengan syarat-syarat yang absolut, universal, abadi dan sama sekali tidak mengikuti dinamika kehidupan manusia itu sendiri.[10]

John Dewey

John Dewey, menjelaskan bahwa pendidikan berarti perkembangan, perkembangan yang dimaksud adalah sejak lahir hingga menjelang kematian. Pendidikan juga berarti sebagai bentuk kehidupan manusia. Bagi Dewey, proses pendidikan itu tidak mempunyai tujuan diluar dirinya, tetapi terdapat dalam pendidikan itu sendiri. Proses pendidikan juga bersifat kontinu, reorganisasi, rekonstruksi, dan pengubahan pengalaman hidup manusia. Pendidikan juga dapat dianggap sebagai organisasi pengalaman hidup, pembentukan kembali pengalaman hidup, dan juga perubahan pengalaman hidup sendiri.[11] Teori John Dewey tentang pendidikan tidak dapat lepas dari minatnya terhadap bidang filsafat. Filsafat menurut Dewey merupakan sebuah aliran untuk memecahkan masalah kehidupan, sedangkan pendidikan berisi metode pelatihan manusia untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Filsafat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan serta merupakan dasar dari teori-teori pendidikan yang ada sekarang.[12] Teori yang dibuat oleh Dewey untuk dunia pendidikan sering disebut dengan progresivisme. Menurut John Dewey, progresivisme merupakan sebuah aliran filsafat yang berorientasi ke masa yang akan datang yang memposisikan manusia (peserta didik) sebagai salah satu subjek pendidikan yang memiliki bekal dan potensi dalam pengembangan dirinya dan memiliki kemampuan untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi selama hidupnya. John Dewey juga memandang bahwa sekolah sebagai lingkungan masyarakat yang kecil, dimana hal itu menjadi cerminan daripada sekolah tersebut. Sekolah dianggap menjadi salah satu bentuk kehati-hatian dalam pengelolaan terhadap masyarakat.[13]

Edward Lee Thorndike

Edward Lee Thorndike. Landasan teori Thorndike awal mula diletakkan dalam eksperimen yang dilakukannya pada binatang. Penelitiannya dirancang untuk menentukan apakah binatang tersebut dapat memecahkan masalah dengan jalan berfikir ataukah melalui suatu proses yang lebih mendasar sifatnya. Menurut Thorndike, diperlukan penelitian karena tidak cukup tersedia data objektif untuk menguji bagaimana proses belajar manusia.[14] Teori yang dikemukakan oleh Thorndike disebut dengan teori koneksionisme. Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respons. Stimulus yang dimaksud adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Respon yang dimaksud adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar yang dapat berupa pikiran, perasaan, dan gerakan atau tindakan. Perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkret yaitu yang dapat diamati, sedangkan yang dikatakan tidak konkret yaitu yang tidak dapat diamati secara langsung.[15] Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum seperti hukum kesiapan, hukum latihan, dan hukum akibat.[16]

Carl Ransom Rogers

Carl Ransom Rogers menekankan perlunya sikap saling menghargai dan tanpa prasangka (antara klien dan terapis) dalam membantu individu mengatasi masalah-masalah kehidupannya. Carl Rogers menyakini bahwa berbagai masukan yang ada pada diri seseorang tentang dunianya sesuai dengan pengalaman pribadinya. Masukan-masukan ini mengarahkannya secara mutlak ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dirinya.[17] Dalam mendalami psikologi humanistik, Carl Rogers mempunyai dua konsep. Konsep yang pertama dia menyatakan bahwa terapis yang lebih efektif adalah apabila seseorang bisa menciptakan iklim psikologis yang memberi peluang kepada klien untuk mengeksplorasi, menganalisis, memahami dan mencoba sendiri untuk memecahkan masalah yang dialaminya.[18] Menurut Rogers, teknik-teknik yang digunakan pada saat asessmen dan pendapat para terapis bukan hal yang penting dalam melakukan terapi kepada klien. Hasil karya Rogers yang paling terkenal dan masih menjadi literatur sampai hari ini adalah metode konseling yang disebut terapi berpusat pada orang.[19] Menurut Carl Rogers dalam teori belajar bebasnya, menyatakan bahwa tidak ada paksaan atau tekanan dalam belajar. Guru tidak bembuat rencana dalam pembelajaran untuk peserta didik, tidak memberikan kritik atau ceramah kecuali apabila siswa menghendakinya, tidak menilai atau mengkritik pekerjaan murid kecuali apabila siswa memintanya.[20]

Wilhelm Wundt

Wilhelm Wundt, sejarah psikologi sebagai ilmu pengetahuan berasal dari penelitian Wundt. Keunikan psikologi yang pertama adalah dimulai dari sejarah diakuinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan yang diawali eksperimen Wundt tentang ingatan di tahun 1885. Psikologi bukan lagi ilmu yang berada di awang-awang namun dapat terukur secara empiris.[21] Menurut Wilhelm Wundt psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kesadaran manusia. Wundt percaya bahwa gejala-gejala dari jiwa tersn atas beberapa elemen. Dalam menganalisa elemen-elemen kejiwaan para ahli psikolog mempelajari melalaui proses elementer dari kesadaran manusia. Dari sinilah data diketahui bahwa objek utama dalam psikologi menurut Wilhelm Wundt adalah kesadaran itu sendiri.[22] Wilhelm Wundt juga mengemukakan bahwa bahasa dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip psikologis. Penggabungan antara dua ilmu psikologi dan linguistik sering disebut dengan psikolinguistik. Psikolinguistik sering dianggap sebagai suatu disiplin ilmu yang bertujuan mencari satu teori bahasa yang secara linguistik bisa diterima dan secara psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya serta dapat dipergunakan secara universal.[23]

Emil Kraepelin

Emil Kraepelin, seorang psikiater Jerman yang dikenal sebagai perancang alat tes kepribadian di Eropa. Pada tahun 1894, Kraepelin melakukan berbagai cara untuk mengukur pengaruh kelelahan, lapar, dan obat-obatan seperti menggunakan asosiasi bebas. Pada tahun 1895, Kraepelin membuat seri tes untuk mengukur faktor-faktor dasar dari karakter individu. Tes ini menggunakan perhitungan aritmatika sederhana dan dirancang untuk mengukur pengaruh latihan, daya ingat, kepekaan terhadap gangguan kelelahan dan pengalihan perhatian.[24] Emil Kraepelin membuat 4 macam alat tes yang digunakan dalam dunia pendidikan, yaitu: koordinasi motorik, asosiasi kata-kata, fungsi persepsi, dan ingatan.[25] Tes yang dibuat oleh Kraepelin mengalami banyak modifikasi dan tinjauan ulang dari tekanan skoring dan interpretasinya. Tes ini digunakan untuk mengungkap faktor bakat yang dimiliki individu seperti kecepatan, ketelitian, keajegan, dan ketahanan kerja pada saat mengalami tekanan.[26]

Alfred Binet

Alfred Binet, seorang ahli psikologi dari Perancis yang mengembangkan tes inteligensi modern pertama pada tahun 1881. Pada saat itu, pemerintah Perancis mengeluarkan aturan yang mewajibkan semua anak untuk mendaftar masuk sekolah. Pemerintah meminta Binet untuk membuat tes guna mendeteksi anak-anak yang terlambat dari segi kognitif dan intelektualnya.[27] Pada awalnya, Alfred Binet melakukan pengukuran inteligensi dengan mengukur lingkaran tempurung kepala anak-anak (metode kraniometri). Namun, metode ini pada akhirnya ditinggalkan oleh Binet dan pada tahun 1905 Binet dan Theodore Simon mencetuskan skala inteligensi yang pertama yang dikenal dengan nama skala Binet-Simon. Kemudian pada tahun 1916 dilakukan revisi pada skala tersebut yang disebut dengan revisi Stanford. Setelah direvisi skala tersebut berubah menjadi skala Stanford-Binet dan menjadi skala standar dalam psikologi klinis, psikiatri, dan konseling pendidikan.[28] Untuk mengetahui dan mengukur kecerdasan siswa, sekolah biasanya menggunakan teori dan skala dari Alferd Binet yang biasa kita kenal dengan kecerdasan intelektual. Pengelompokan tingkat kecerdasan intelektual adalah sangat superior (> 130), superior (120-129), di atas rata-rata (110-119), rata-rata (90-109), di bawah rata-rata (80-89), batas lemah mental/pikiran (70-79), debil (50-69), imbecil (26-49), dan idiot (=25). Tingkat kecerdasan siswa dinilai berdasarkan skor yang diperoleh dari jawaban yang diberikan atas soal-soal seputar nalar dan logika untuk mengetes kemampuan logikanya.[29]

Henry Alexander Murray

Henry Alexander Murray, menjelaskan bahwa dasar teoritis dari alat tes Jadwal Preferensi Kepribadian Edwards adalah teori kebutuhan. Menurut Murray, kepribadian manusia dapat dijelaskan dengan memaparkan konsep kebutuhan sebagai sesuatu yang menggerakkan dan memotivasi perilaku manusia. Ketika kebutuhan-kebutuhan ini aktif dan terpenuhi dalam diri individu, maka akan memunculkan berbagai macam perilaku-perilaku yang diarahkan untuk mencapai kebutuhan tersebut dan pada akhirnya akan menggambarkan karakterisitik individu. Kebutuhan-kebutuhan dapat muncul baik dari proses internal seperti rasa haus dan lapar maupun dari lingkungan eskternal seperti ancaman dari orang asing atau lingkungan sekitar. Dalam dunia pendidikan alat tes Jadwal Preferensi Kepribadian Edwards yang berdasarkan teori kebutuhan Murray dapat mengetahui performa akademis seorang mahasiswa yang positif melalui proses perolehan nilai yang memuaskan, maka diperlukan kombinasi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Misalnya, kebutuhan untuk berprestasi yang tinggi akan memunculkan dorongan untuk memperlihatkan prestasi yang lebih baik sehingga nilai-nilai akademis akan menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Sebaliknya, apabila kebutuhan untuk mendapatkan bantuan dan dukungan dari orang lain berada dalam kategori tinggi, maka mahasiswa tersebut akan menjadi mahasiswa yang kurang mandiri dan kurang yakin untuk memperlihatkan kemampuan dan performa akademis yang terbaik apabila tidak ada orang yang memberikan bantuan atau dukungan.[30] Menurut Murray, kebutuhan adalah potensi atau kesiapan seseorang untuk merespon dengan cara dalam situasi tertentu. Respon yang dimaksud adalah tindakan pemenuhan dari kebutuhan itu sendiri.[31]

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ a b Santrock, John W. Psikologi Pendidikan, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 4-14.
  2. ^ a b Snowman, Jack (1997). Educational Psychology: What Do We Teach, What Should We Teach?. "Educational Psychology", 9, 151-169
  3. ^ Supriyanto 2017, hlm. 230.
  4. ^ Glassman, M. (Inggris)"Dewey and Vygotsky: Society, Experience, and Inquiry in Educational Practice", Educational Researcher, 2001, hal. 3-14.
  5. ^ Beatty, B. "From Laws of Learning to a Science of Values", American Psychologist, 1998, hal. 1145-1152.
  6. ^ Johnson, J. A. (Inggris)Introduction to the Foundations od American Education, Boston: Allyn & Bacon, 2002.
  7. ^ Education and Personal Relationships: A Philosophical Study, Routledge (1974), ISBN 0-416-76210-7 ISBN 978-0-416-76210-5
  8. ^ Meiyani 2013, hlm. 210.
  9. ^ Wasitohadi 2012, hlm. 176.
  10. ^ Kalumbang 2018, hlm. 257.
  11. ^ Saleh 2012, hlm. 2-3.
  12. ^ Wasitohadi 2014, hlm. 53.
  13. ^ Wulandari 2020, hlm. 74.
  14. ^ Makki 2019, hlm. 79.
  15. ^ Rusli dan Kholik 2013, hlm. 63.
  16. ^ Amsari 2018, hlm. 53.
  17. ^ Qodir 2017, hlm. 194.
  18. ^ Sanusi 2013, hlm. 127.
  19. ^ Ratu 2010, hlm. 10.
  20. ^ Sumantri dan Ahmad 2019, hlm. 13.
  21. ^ Koentjoro 2002, hlm. 8.
  22. ^ Tridinanti 2016, hlm. 2.
  23. ^ Busro 2016, hlm. 209-210.
  24. ^ Sukadji 1993, hlm. 25.
  25. ^ Daulay 2016, hlm. 412-413.
  26. ^ Setiyowati 2018, hlm. 1.
  27. ^ Purwanto 2010, hlm. 483.
  28. ^ Rohmah 2011, hlm. 130.
  29. ^ Veriansyah, Sarwono dan Rindarjono 2018, hlm. 43.
  30. ^ Tuapattinaja dan Saragih 2016, hlm. 39.
  31. ^ Sucipto dan Saleh 2019, hlm. 44.

Daftar pustaka

  1. Amsari, D. (2018). "Implikasi teori belajar E. Thorndike (Behavioristik) dalam pembelajaran matematika". Jurnal Basicedu. 2 (2): 52–60. ISSN 2580-1147. 
  2. Busro, M. (2016). "Kajian kalam psikolinguistik, perangkat penelitian, strategi, dan penggunaan metode penelitian" (PDF). Journal Al Hikmah. 6 (2): 209–218. ISSN 2088-2556. 
  3. Daulay, N. (2016). "Implementasi tes psikologi dalam bidang pendidikan". Jurnal Tarbiyah. 21 (2): 402–421. ISSN 0854-2627. 
  4. Kalumbang, Y. P. (2018). "Kritik pragmatisme Richard Rorty terhadap epistemologi barat modern" (PDF). Jurnal Filsafat. 28 (2): 253–284. doi:10.22146/jf.36413. 
  5. Koentjoro, K. (2002). "Rethinking peran psikologi di abad-abad mendatang". Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi. 7 (14): 6–13. doi:10.20885/psikologika.vol7.iss14.art1. 
  6. Makki, A. (2019). "Mengenal sosok Edward Lee Thorndike aliran fungsionalisme dalam teori belajar". Jurnal Studi Islam. 14 (1): 78–91. ISSN 2579-7131. 
  7. Meiyani, N. (2013). "Penerapan aliran filsafat pragmatisme dalam orientasi dan mobilitas anak tunanetra". Jassi Anakku. 12 (2): 209–220. ISSN 1412-9337. 
  8. Purwanto, I. (2010). "Konsep dan pengukurannya". Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan. 16 (4): 477–485. ISSN 2460-8300. 
  9. Qodir, A. (2017). "Teori belajar humanistik dalam meningkatkan prestasi belajar siswa". Jurnal Pendidikan. 4 (2): 188–202. ISSN 2354-7960. 
  10. Ratu, B. (2010). "Psikologi humanistik (Carl Rogers) dalam bimbingan dan konseling". Kreatif. 17 (3): 10–18. ISSN 2010-0051. 
  11. Rohmah, U. (2011). "Tes intelegensi dan pemanfaatannya dalam dunia pendidikan". Jurnal Kependidikan dan Kemasyarakatan. 9 (1): 125–139. doi:10.21154/cendekia. 
  12. Rusli, R. K., &, Kholik, M. A. (2013). "Teori belajar dalam psikologi pendidikan". Jurnal Sosial Humaniora. 4 (2): 62–67. ISSN 2087-4928. 
  13. Saleh, K. (2012). "Pendidikan humanis antara barat dan Islam-telaah kritis pemikiran pendidikan John Dewey". Dinamika Ilmu. 12 (2): 1–17. doi:10.21093/di.v12i2.30. 
  14. Sanusi, U. (2013). "Pembelajaran dengan pendekatan humanistik (Penelitian pada Mts Negeri Model Cigugur Kuningan)". Jurnal Pendidikan Agama Islam. 11 (2): 123–142. ISSN 2337-4276. 
  15. Setiyowati, N. (2018). "Hubungan antara kemampuan intelegensi (Cfit) dan potensi performa kerja (Dari hasil Kraepelin test) pada calon karyawan bank swasta di Jawa Timur". Jurnal Sains Psikologi. 3 (1): 1–5. ISSN 2597-7008. 
  16. Sucipto, N. H., &, Saleh, A. R. (2019). "Individual needs terhadap subjective well-being". Journal of Psychology. 7 (1): 42–48. doi:10.15408/tazkiya.v7i1.13503. 
  17. Sukadji, S. (1993). "Kecepatan dan ketelitian kerja yang diukur menggunakan tes Kraepelin". Jurnal Psikologi. 20 (1): 23–31. ISSN 0215-8884. 
  18. Sumantri, B. A., &, Ahmad, N. (2019). "Teori belajar humanistik dan implikasinya terhadap pembelajaran pendidikan agama Islam". Jurnal Pendidikan Dasar. 3 (2): 1–18. doi:10.36088/fondatia.v3i2.216. 
  19. Supriyanto, D. (2017). "Sejarah singkat psikologi pendidikan". Jurnal Program Studi Pgmi. 4 (2): 229–238. ISSN 2477-667X. 
  20. Tridinanti, G. (2016). "Pemerolehan bahasa asing dalam pengajaran bilingual untuk anak usia dini". Jurnal Global Expert. 5 (1): 1–6. ISSN 2477-3794. 
  21. Tuapattinaja, J. M. &, Saragih, J. I. (2016). "Gambaran profil epps pada mahasiswa usu". Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi. 11 (1): 37–46. ISSN 2549-2136. [pranala nonaktif permanen]
  22. Veriansyah, I., Sarwono, S., &, Rindarjono, M. G. (2018). "Hubungan tingkat intelegensi (Iq) dan motivasi belajar geografi dengan hasil belajar siswa kelas x sekolah menengah atas negeri Singkawang Kota tahun ajaran 2016/2017". Jurnal Geoeco. 4 (1): 41–50. ISSN 2597-6044. [pranala nonaktif permanen]
  23. Wasitohadi, W. (2012). "Pragmatisme, humanisme dan implikasinya bagi dunia pendidikan di Indonesia". Satya Widya. 28 (2): 175–190. doi:10.24246/j.sw.2012.v28.i2.p175-190. 
  24. Wasitohadi, W. (2014). "Hakekat pendidikan dalam perspektif John Dewey tinjauan teoritis". Satya Widya. 30 (1): 49–61. doi:10.24246/j.sw.2014.v30.i1.p49-61. 
  25. Wulandari, T. (2020). "Teori progresivisme John Dewey dan pendidikan partisipatif dalam pendidikan Islam". Jurnal Kajian Kependidikan Islam. 5 (1): 71–86. doi:10.22515/attarbawi.v4i2.1927. 
Kembali kehalaman sebelumnya