Share to:

 

Ratna Moetoe Manikam

Iklan dalam majalah Poestaka Timoer

Ratna Moetoe Manikam (EYD: Ratna Mutu Manikam), juga dikenal dengan judul Djoela Djoeli Bintang Tiga (EYD: Jula Juli Bintang Tiga), adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia).

Alur

Film ini berkisah tentang tiga dewi, Ratna Mutu Manikam (Ratna Asmara) dan adik-adiknya Laila Kesuma dan Kumala Juwita. Ratna dan Kumala jatuh cinta dengan seorang raja manusia bernama Sultan Darsyah Alam (Astaman) dan bersaing memperebutkan hatinya.[1] Ketika Darsyah memilih Ratna, Kumala begitu geram dan berencana menghancurkannya. Laila menguping amarah Kumala dan memberitahu kakaknya. Ratna meminta pendapat Batara Guru. Dewa tua tersebut memberitahu Ratna bahwa Darsyah akan menjadi pasangan hidupnya. Dengan bantuan cincin magisnya yang bernama Ratna, Darsyah mampu menggagalkan balas dendam Kumala.[1]

Produksi

Ratna Moetoe Manikam disutradarai Sutan Usman Karim dengan nama samaran Suska.[1] Ia sebelumnya bekerja sebagai editor di harian Persamaan di Padang dan menyutradarai Panggilan Darah (1941) untuk New Java Industrial Film milik The Teng Chun. Terinspirasi oleh kesuksesan The Thief of Bagdad (1940), Suska menyadari bahwa cerita klasik yang dibuatkan versi modernnya akan berhasil di pasaran.[2] Ia lantas merancang alur Ratna Moetoe Manikam dengan mengadaptasi sebuah drama panggung berjudul Djoela Djoeli Bintang Tiga, drama yang lazim dipertunjukkan oleh kelompok sandiwara stamboel waktu itu.[2]

Film ini dibintangi Ratna Asmara, Astaman, Ali Yugo, dan Inoe Perbatasari.[1] Ratna Asmara dan Astaman pada waktu itu juga sedang terlibat dalam pembuatan film Noesa Penida yang disutradarai Andjar Asmara.[3] Hajopan Bajo Angin menjadi pengarah artistiknya.[4]

Menurut sutradara Tan Tjoei Hock, pembuatannya terganggu oleh pendudukan Jepang pada awal 1942;[1] pasukan Jepang menutup semua rumah produksi lokal, termasuk New JIF.[5] Tan kabarnya menyelesaikan pembuatan film ini sesuai perintah militer Jepang.[6] Sejarawan film Indonesia Misbach Yusa Biran menulis bahwa film ini dirilis pada masa pendudukan, namun tahunnya tidak disebutkan.[6]

Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[7] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[8]

Referensi

  1. ^ a b c d e Filmindonesia.or.id, Ratna Moetoe Manikam.
  2. ^ a b Biran 2009, hlm. 216, 276–277.
  3. ^ Biran 2009, hlm. 278.
  4. ^ Filmindonesia.or.id, Kredit.
  5. ^ Biran 2009, hlm. 284.
  6. ^ a b Biran 2009, hlm. 218.
  7. ^ Heider 1991, hlm. 14.
  8. ^ Biran 2009, hlm. 351.

Kutipan

Kembali kehalaman sebelumnya