Share to:

 

Rumah Gadang Kerajaan Koto Besar

Rumah gadang kerajaan Koto Besar adalah rumah adat tradisional Minangkabau yang dimiliki oleh Kerajaan Koto Besar. Rumah gadang ini berlokasi di Nagari Koto Besar, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat. Rumah gadang ini saat ini merupakan sebuah situs cagar budaya yang ada di Kabupaten Dharmasraya. Rumah gadang ini dibangun pada masa Kerajaan Pagaruyung dimana banyak terdapat kerajaan-kerajaan kecil pada waktu itu yang berada di bawah naungan dari Kerajaan Pagaruyung.[1]

Lokasi

Rumah gadang kerajaan Koto Besar ini berada di Jorong Koto Besar, Nagari Koto Besar, Kecamatan Koto Besar, Kabupaten Dharmasraya, Provinsi Sumatera Barat.[2] Lokasi bangunan tersebut berjarak lebih kurang 30 km dari pusat Pemerintahan Kabupaten Dharmasraya yang berda di Pulau Punjung.[3] Bangunan ini terletak tidak jauh dari jalan utama Koto Besar sehingga untuk menuju ke rumah gadang tersebut bisa dengan menggunakan kendaraan roda dua atau roda empat. Secara geografis atau bentangan alamnya, rumah gadang ini berada di dekat pemukiman penduduk dengan bentangan lahan datar. Secara umum topografi tanah di Kabupaten Dharmasraya terdiri atas tiga bagian yaitunya berbukit- bukit, bergelombang, dan datar dengan variasi ketinggian dari 100 meter - 1.500 meter di atas permukaan laut.[4][5]

Sejarah

Rumah gadang ini berdiri dilatarbelakangi dengan berdirinya sebuah kerajaan yang bernama kerajaan Koto Besar. Kerajaan ini sudah ada semenjak akhir abad ke 17 masehi. Kerjaan ini berdiri di bekas wilayah Kerajaan Melayu Dharmasraya.[6] Selain Koto Besar, terdapat beberapa kerajaan kecil lainnya di wilayah Dharmasraya yaitunya kerajaan Siguntur, Kerajaan Sitiung dan Kerajaan Padang Laweh. Tiga kerjaan tersebut berdiri di pinggiran sungai batang hari sedangkan kerajaan Koto Besar berada di daerah yang tidak berpusat di pinggiran sungai batang hari.[7][8] Lokasi dari bedirinya kerajaan-kerajaan tersebut disebut daerah rantau dalam konsep Minangkabau.[9] Kerajaan-kerjaan yang berada di daerah rantau tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan kerajaan Pagaruyung. Kerajaan Koto Besar merupakan salah satu kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Pagaruyung.[10]

Berdirinya kerajaan Koto Besar didahului peristiwa sumpah terlarang. Ketika adik dari Raja Pagaruyung kala itu, Sutan Sari Alam Yang Dipertuan Jati, Puti Reno Langguak, mengalami penyakit kusta. Tak ingin menular ke anggota kerajaan lain, maka Puti Reno Langguak diasingkan ke tepian sungai Lubuak Tajunjuang, tak jauh dari istana Kerajaan Pagaruyung. Awal pengasingan, katanya, dia diperhatikan pihak kerajaan dengan membesuk setiap saat. Namun, lambat laun, intensitas kunjungan semakin menurun.Lama kelamaan, Puti semakin merasakan kurangnya simpati dari anggota keluarga. Pada akhirnya, Merasa tersisih Puti Reno Langguak meninggalkan tempat pengasingan dan berjalan kaki menelusuri nagari-nagari, dengan tujuan yang belum jelas. Kepergian Puti Reno Langguak didampingi langsung oleh empat penghulu internal Kerajaan Pagaruyung, yakni Datuak Rajo Lelo, Datuak Rajo Sailan, Datuak Sampono, dan Datuak Rajo Mangkuto Alam.[1]

Dalam perjalanannya, Puti banyak singgah di nagari-nagari yang dilewati. Setiap persinggahan, dia selalu ditanya dari mana asalnya oleh penduduk setempat.Puti mengatakan ia berasal dari keluarga Kerajaan Pagaruyung. Mendengar hal itu, banyak yang berempati, lalu mengikuti dia ke mana pun melangkah, Setelah cukup banyak pengikut, akhirnya rombongan Puti berhenti di sekitar Nagari Koto Besar sekarang. Di sana mereka manaruko, membuka kampung, untuk menjadikan permukiman tetap. Lambat laun mereka berkembang biak, dan seiring itu pula penyakit kusta Puti berangsur pulih. Lalu didirikanlah kerajaan di Koto Besar. Setelah mendirikan kerajaan, Puti pun langsung memegang takhta. Tidak hanya itu, kerajaan tersebut mendapat pengakuan dari kerajaan-kerajaan sekitar. Keberadaan kerajaan ini tercium bagi Pagaruyung.

Mengetahui Puti telah sehat dan juga sudah mendirikan kerajaan mendatangi Koto Besar untuk mengajak Puti untuk pulang ke Pagaruyung.Namun Puti tidak mau pulang. Meski terus dibujuk, Puti tetap tak mau pulang. Lantaran habis kesabaran, tukas Dalpewan, Tuanku Sari Alam mengeluarkan sumpah, jika pihak Puti hingga keturunannya yang perempuan mengunjungi Pagaruyung, maka akan mengalami sakit perut yang berujung kematian. Mendapat sumpah itu, sambung Dalpewan, Puti membalas dengan isi sumpah yang nyaris sama. Dia membaca panji sumpah, kalau pihak Raja hingga keturunannya yang laki-laki mengunjungi Koto Besar juga akan mati dengan diawali sakit perut. Sumpah itu disaksikan oleh 4 datuak.Persumpahan tersebut, diaksikan urang tuo datuak 16 dari Kerajaan Koto Besar pada kala itu.[1]

Dari segi sejarah disebutkan bahwa daerah ini pada masa-masa Kerajaan Pagaruyung awal masih merupakan hutan belantara dan belum ada manusia yang tinggal di situ. Kemudian salah seorang tokoh kerajaan Pagaruyung karena sesuatu hal meninggalkan kerajaan dan berkelana sampai ke daerah Koto Besar ini. Tokoh tersebut bernama Puti Langguk dan di daerah yang semula hutan itu didirikanlah sebuah rumah, dan Puti Langguklah yang pertama kali menempati rumah tersebut. Setelah itu lama kelamaan penduduk daerah ini semakin banyak dan pada akhirnya berdirilah Kerajaan Koto Besar.[1]

Dengan berdirinya kerjaan Koto Besar di wilayah Dharmasraya, maka disana hadirlah sebuah pemerintahan yang di pimpin oleh raja. Kerajaan Kota Besar yang juga merupakan bahagian dari kerajaan pagaruyung tentu memiliki bentuk sistem pemerintahan yang sama. Dari sekian banyak persamaan salah satunya bentuk arsitektur bangunan. Bangunan yang terdapat di kerjaan Koto Besar tersebut di sebut sebagai rumah gadang Koto Besar. Rumah gadang Koto Besar tersebut memiliki bentuk yang sama dengan rumah gadang lainya pada umumnya. Selain itu fungsi dari rumah gadang itu sendiri juga sama dengan fungsi rumah gadang yang terdapat di wilayah Minangkabau yaitunya berfungsi untuk bermusyawarah. Namun, hanya terdapat beberapa perbedaan dari segi bentuk dari rumah gadang tersebut.[1]

Bangunan rumah gadang

Rumah Tuo Koto Besar, yang juga disebut sebagai rumah gadang Koto Besar merupakan rumah adat Minangkabau dengan ciri khasnya berupa atap gonjong dan juga berpanggung. Atap rumah ini terbuat dari bahan seng bergonjong empat dan bangunan rumahnya sendiri dari bahan kayu, dengan panggung berukuran tinggi kurang lebih 1,35 m dengan tiang berjumlah 15 buah berbentuk segi delapan. Bangunan rumah berbentuk empat persegi panjang dengan sebuah pintu dan empat buah jendela di bagian depan. Adapun sisi–sisi yang lain merupakan dinding tertutup. Pada bagian dalam ruangan merupakan ruangan yang terbuka tanpa ada penyekat dinding atau bilik. Secara keseluruhan, luas dari lahan rumah gadang kerajaan Koto Besat ini adalah 25 meter kali 30 meter, sedangkan luas bangunan dalam hal ini rumah gadang tersebut ialah 8 meter kali 12 meter.

Bangunan rumah gadang ini berada di pemukiman penduduk. Disebelah utara dan selatan dari bangunan ini di batasi oleh rumah-rumah penduduk dan di sebelah barat dari bangunan ini terdapat lahan atau ladang milik penduduk setempat, kemudian di sebelah timur dari bangunan tersebut terdapat jalan desa Koto Besar. Bangunan rumah gadang tersebut masih di fungsikan sebagaimana fungsi semestinya yang di pakai pada zaman dahulu, sebab Dari awal berdirinya bangunan, tempat ini digunakan sebagai tempat bermusyawarah dan mufakat. Tradisi ini masih dipertahankan sampai dengan sekarang. Rumah gadang kerajaan Koto Besar ini dimiliki oleh suku caniago. Datuak sekaligus raja dari Koto Besar ini menjadi pimpinan pengelolaan rumah gadang tersebut. Saat ini, selain kerajaan Koto Besar, rumah gadang tersebut juga di bantu dan di kelola oleh BPCB Sumbar dan Pemerintah Daerah Kabupaten Dharmasraya.[1]

Pewaris rumah gadang

Pada saat ini yang menjadi raja di kerajaan Koto Besar ialah Sutan Riska Tuanku Kerajaan sekaligus yang mewarisi pucuk pimpinan rumah gadang kerajaan Koto Besar. Beliau mewarisi gelar Yang di Pertuankan Sri Maharaja Diraja.[11] Sutan Riska melakukan sebuah gebrakan yang tak pernah dilakukan oleh pemangku adat sebelumnya, yaitu menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sempat putus selama ratusan tahun dengan pihak pewaris Kerajaan Pagaruyung. Penjalinan kembali hubungan kedua pewaris kerajaan ini dilakukan melalui upacara “maungkai sumpah, mambukak kabek” atau pencabutan sumpah terlarang antara pendiri Kerajaan Koto Besar Tuan Puti Langguk dan Raja Pagaruyung kala itu, Sutan Sahih Alam untuk tidak mengunjungi satu sama lain sampai waktu yang tak ditentukan.[7]

Pencabutan sumpah terlarang tersebut, dilakukan pada tanggal 25 Mei 2013 di kediaman pemangku adat Kerajaan Koto Besar, yang dihadiri oleh pewaris kerajaan di kedua belah pihak dan beberapa perwakilan dari pewaris kerajaan-kerajaan di wilayah adat Minangkabau, seperti Abdul Haris Tuanku Sati dari Kerajaan Pulau Punjung, Sutan Hendri Tuanku Bagindo Ratu dari Kerajaan Siguntur, Sutan Alif Tuanku Bagindo Muhammad dari Kerajaan Padang Laweh. Zulkarnaen Tuanku Rajo Disambah dari Kerajaan Sungai Pagu, dan Tuanku Rajo Firman dari Kerajaan Jambu Lipo.[12][13][14]

Referensi

  1. ^ a b c d e f "Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-20. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  2. ^ "Ibukota Dharmasraya Terus Persolek Diri - Pemerintah Kabupaten Dharmasraya". Pemerintah Kabupaten Dharmasraya Tau Jo Nan Ampek. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  3. ^ "Profil - Pemerintah Kabupaten Dharmasraya". Pemerintah Kabupaten Dharmasraya Tau Jo Nan Ampek. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  4. ^ "Pemeritah Kabupaten Dharmasraya". dharmasrayakab.go.id. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  5. ^ "Topografi - Pemerintah Kabupaten Dharmasraya". Pemerintah Kabupaten Dharmasraya Tau Jo Nan Ampek. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  6. ^ Istiawan, Budhi (2011). Menguak Tabir Dharmasraya,. Batusangkar: BPPP Sumatera Barat. hlm. 8–12.  line feed character di |publisher= pada posisi 14 (bantuan)
  7. ^ a b Ajisman, Efrianto (2010). Sejarah Kerajaan-Kerajaan di Dharmasraya,. Padang: BPSNT Press. hlm. 84.  line feed character di |publisher= pada posisi 6 (bantuan)
  8. ^ "Inilah Sejarah Kerajaan Pagaruyuang yang Belum Kamu Ketahui - Minangkabaunews". minangkabaunews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-06-19. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  9. ^ Sedjarah Minangkabau. Jakarta: Bhratara. 1970. hlm. 3. 
  10. ^ Politik Representasi Istana Basa Pagaruyung sebagai Identitas Minangkabau di Sumatera Barat. Bali: Program Studi Kajian Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. 2011. hlm. 378.  line feed character di |publisher= pada posisi 36 (bantuan); line feed character di |title= pada posisi 62 (bantuan);
  11. ^ "Catatan Dari Seminar Ekspedisi Pamalayu: Berdamai Dengan Sejarah". Berdikari Online. 2020-01-14. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  12. ^ "Google Kumpulan". groups.google.com. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  13. ^ "Arsip Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat. Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Naga" (PDF). webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-06-21. Diakses tanggal 2020-06-18. 
  14. ^ "Sumpah nenek moyang puti lungguak". Diakses tanggal 18 Juni 2020. 
Kembali kehalaman sebelumnya