Share to:

 

Rumah Lanting

Proses pemindahan rumah lanting dengan bantuan perahu bermesin.
Lukisan Rumah Lanting di tepi sungai Martapura Kota Banjarmasin tahun 1854.
Rumah Lanting menyerupai model Rumah Kampung (Kamponghuis) mengapung di atas sungai pada Kawasan pecinan (Chineesche Kamp) di Banjarmasin pada tahun 1862
Rekonstruksi rumah Lanting penampakan sisi depan.
Rekonstruksi rumah Lanting penampakan sisi belakang.

Rumah Lanting adalah rumah rakit tradisional dengan pondasi rakit mengapung terdiri dari susunan tiga buah batang pohon kayu yang besar. Rumah Lanting selalu oleng dimainkan gelombang dari kapal yang hilir mudik di sungai. Rumah Lanting banyak terdapat di sepanjang sungai-sungai di Kalimantan. Rumah Lanting juga terdapat di sepanjang sungai Musi di Palembang, Sumatera Selatan dengan sebutan rumah rakit.

Rumah lanting merupakan salah satu dari 12 rumah adat yang ada di Banjar. Keberadaannya tidak terlepas dari situasi zaman dulu ketika sungai memegang peranan penting dalam kehidupan orang Banjar.[1]

Ciri-ciri

Bubungan rumah lanting umumnya memakai atap pelana. Model atap pelana tersebut untuk bangunan di daratan dalam bahasa Indonesia disebut atap kampung, sehingga tipe rumah beratap pelana yang dibangun di daratan tersebut dinamakan Rumah Kampung.

Bagian dalam rumah Lanting, terdiri dari ruang tamu dan ruang tidur. Kamar mandi atau toilet biasanya letaknya terpisah dari bangunan utama.

Sebagaimana rumah lainnya, rumah lanting juga memiliki pintu (lawang), biasanya menghadap ke sungai dan daratan. Ada juga jendela kecil (lalungkang) di sisi kiri dan kanan. Untuk memudahkan penghuninya atau tamu-tamunya, dibuat juga jembatan (titian) sempit dari kayu yang menghubungkan rumah dengan daratan atau rumah lain.

Agar dapat mengapung, rumah lanting memiliki landasan pelampung berupa tiga balok kayu. Supaya tidak hanyut terbawa air, rumah lanting biasanya diikat pada tiang kayu yang menancap di dasar sungai.

Langka

Pada era 1970-an, hampir semua rumah warga di pinggir sungai berbentuk lanting. Namun seiring dengan perkembangan zaman, rumah lanting mulai ditinggalkan.[2] Beberapa yang masih bertahan tinggal di sungai lebih memilih rumah panggung yang lebih permanen dan stabil, sehingga tidak terombang-ambing oleh kondisi permukaan air. Rumah permanen yang ada saat ini menggunakan tiang panjang yang menancap di tepian sungai.

Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama, masalah biaya. Untuk membangun sebuah rumah lanting, diperlukan dana besar, terlebih untuk mendatangkan kayu gelondongan yang kini kian sulit dicari seiring menyusutnya hutan. Selain itu, rumah lanting juga ternyata rentan dicuri. Apabila pemilik rumah lengah, kayu-kayu tersebut bisa digergaji dan diambil. Sebab, kayu itu sendiri bisa laku mahal.

Faktor kedua, perawatannya yang tidak mudah. Rumah lanting memang memiliki sifat tahan banjir, tetapi ketika air sungai surut, rumah tersebut akan terdampar dalam posisi miring dan gampang rusak.

Faktor ketiga, masyarakat sudah memiliki kemudahan di darat. Perdagangan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan harian tidak perlu lagi diselesaikan di sungai.

Galeri

Referensi

  1. ^ Seman, Syamsiar (2000). Rumah-rumah Adat Banjar Bahari: Prasarana Hunian Langka. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 
  2. ^ Werdiono, Defri (2013-07-13). Asdhiana, I Made, ed. "Rumah Lanting Berganti Wajah". Kompas.com. Portal Kompas.com. Diakses tanggal 2017-09-23. 
Kembali kehalaman sebelumnya