Rumah Bubungan TinggiBalay Bubungan Tinggi (dalam bahasa Banjar) atau Balay Cacak Burung adalah salah satu jenis rumah Baanjung yaitu rumah tradisional suku Banjar di Kalimantan Selatan dan bisa dibilang merupakan ikonnya Rumah Banjar karena jenis rumah inilah yang paling terkenal karena menjadi maskot rumah adat khas provinsi Kalimantan Selatan. Di dalam kompleks keraton Banjar dahulu kala bangunan rumah Bubungan Tinggi merupakan pusat atau sentral dari keraton yang menjadi istana kediaman raja yang disebut Dalam Sirap yang dahulu tepat di depan rumah tersebut dibangun sebuah Balai Seba pada tahun 1780 pada masa pemerintahan Panembahan Batuah. Rumah Bubungan Tinggi mirip Rumah tardisonal Betawi yang disebut Rumah Bapang,[1] namun pada Rumah Bubungan Tinggi dibangun dengan konstruksi panggung dan memiliki anjung pada kiri dan kanan bangunannya yang sangat mirip dengan rumah adat Maanyan. Makna FilosofisMeskipun Suku Banjar sekarang adalah suku yang berdiri sendiri dengan adat budaya berlandaskan unsur keagamaan Islam yang kuat. Namun banyak sekali adat-istiadatnya yang masih mempertahankan tradisi leluhurnya (Dayak Kaharingan), diantaranya adalah Rumah Adat Bubungan Tinggi. Rumah Adat Bubungan Tinggi merupakan lambang mikrokosmos dalam makrokosmos yang besar. Penghuni seakan-akan tinggal di dunia tengah yang diapit oleh dunia atas yang dilambangkan dengan atap / bubungan dan dunia bawah yang dilambangkan dengan bentuk rumah panggung / barumahan, dimana mereka hidup dalam keluarga yang besar sedang kesatuan dari dunia atas dan dunia bawah melambangkan Mahatala dan Jatha. Rumah Banjar Bubungan Tinggi melambangkan persatuan dan harmoni dunia atas dan dunia bawah dalam Dwitunggal Semesta seperti halnya kepercayaan suku-suku dayak. Pada peradaban agraris, rumah dianggap sakral/keramat karena dianggap sebagai tempat bersemayam secara gaib oleh para Dewata seperti pada Rumah Balai Suku Dayak Meratus (Banjar arkhais) yang berfungsi sebagai rumah ritual. Pada masa kerajaan Nagara Dipa, sosok nenek moyang diwujudkan dalam bentuk patung pria dan wanita yang dipuja dan ditempatkan dalam istana. Pemujaan arwan nenek moyang yang berwujud pemujaan Maharaja Suryanata dan Putri Junjung Buih merupakan simbol persatuan alam atas dan alam bawah dalam kepercayaan Kaharingan-Hindu. Suryanata sebagai manifestasi Dewa Matahari (Dewa Surya) dalam unsur Hindu. Matahari yang selalu dinanti terbitnya dari ufuk timur sebagai sumber kehidupan. Sedang Putri Junjung Buih merupakan lambang air, sekaligus lambang kesuburan dan tanah dalam unsur Kaharingan Banjar. Pada arsitektur Rumah Bubungan Tinggi pengaruh unsur-unsur itu masih dapat ditemukan. Bentuk ukiran burung enggang dan naga yang disamarkan (didestilir) juga merupakan simbol perpaduan alam atas dan alam bawah. Wujud bentuk Rumah Bubungan Tinggi dengan atapnya yang menjulang ke atas merupakan citra dasar dari sebuah pohon hayat yang merupakan lambang kosmis. Pohon Hayat merupakan simbol kesatuan dimensi-dimensi dari satu-kesatuan semesta. Ukiran tumbuh-tumbuhan yang subur pada tawing halat (sekateng) merupakan perwujudan filosofi Pohon Kehidupan (Batang Garing) dalam kepercayaan suku Dayak Kaharingan. Selain itu, atap yang menjulang juga merupakan citra sebuah payung yang melambangkan orientasi kekuasaan ke atas. Payung juga merupakan perlambang kebangsawanan yang biasa menggunakan payung kuning sebagai perangkat kerajaan sebagai tanda martabat dan kemewahan Kerajaan Banjar. Wujud bentuk Rumah yang simetris yang terlihat pada bentuk sayap bangunan (Anjung) yang terdiri atas Anjung Kanan dan Anjung Kiwa sekilas sangat mirip dengan bentuk rumah adat Suku Dayak Maanyan. Hal ini berkaitan dengan filosofi simetris (seimbang) dalam pemerintahan Kerajaan Banjar, yang membagi kementrian menjadi Mantri Panganan (Kelompok Menteri Kanan) dan Mantri Pangiwa (Kelompok Menteri Kiri) masing-masing terdiri atas empat menteri. Mantri Panganan bergelar Patih dan Mantri Pangiwa bergelar Sang, tiap tiang menteri memiliki pasukan masing-masing. Ciri-CiriMenurut Tim Depdikbud Kalsel, ciri-cirinya:
KonstruksiKonstruksi rumah adat Banjar atau rumah ba-anjung dibuat dengan bahan kayu. Faktor alam Kalimantan yang penuh dengan hutan rimba telah memberikan bahan konstruksi yang melimpah kepada mereka, yaitu kayu (ulin). Sesuai dengan bentuk serta konstruksi bangunan rumah adat Banjar tersebut maka hanya kayulah yang merupakan bahan yang tepat dan sesuai dengan konstruksi bangunannya. Bagian Konstruksi PokokKonstruksi pokok dari rumah adat Banjar dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
Tubuh bangunan induk yang memanjang terus ke depan dibagi atas ruangan-ruangan yang berjenjang lantainya. RuanganRuangan-ruangan yang berjenjang lantainya ialah:
UkuranTentang ukuran tinggi, lebar dan panjang setiap rumah adat Banjar pada umumnya relatif berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran pada waktu itu didasarkan atas ukuran depa atau jengkal. Ukuran depa atau jengkal tersebut justru diambil dari tangan pemilik rumah sendiri; sehingga setiap rumah mempunyai ukuran yang berbeda. Ada kepercayaan di sana yang mengatakan bahwa setiap ukuran haruslah dengan hitungan yang ganjil bilangan ganjil. Penjumlahan ganjil tersebut tidak saja terlihat di dalam hal ukuran panjang dan lebar, tetapi juga sampai dengan jumlah hiasan tangga, anak tangga, layang-layang puncak dan lain-lain. Jikalau diukur, maka panjang bangunan induk rumah adat Banjar pada umumnya adalah 31 meter sedang lebar bangunan induk adalah 7 meter dan lebar anjung masing-masing 5 meter. Lantai dari permukaan tanah sekitar 2 meter yaitu kolong di bawah anjung dan palidangan; sedangkan jarak lantai terendah rata-rata 1 meter, yaitu kolong lantai ruang palatar. Tata ruang dan kelengkapanTata ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi membedakan adanya tiga jenis ruang yaitu ruang terbuka, setengah terbuka dan ruang dalam. Ruang terbuka terdiri dari pelataran atau serambi, yang dibagi lagi menjadi surambi muka dan surambi sambutan. Ruang setengah terbuka diberi pagar rasi disebut Lapangan Pamedangan. Sedangkan ruang dalam dibagi menjadi Pacira dan Panurunan (Panampik Kacil), Paluaran (Panampik Basar), Paledangan (Panampik Panangah) yang terdiri dari Palidangan Dalam, Anjung Kanan dan Anjung Kiwa, serta Panampik Padu (dapur). Secara ringkas berikut ini akan diuraikan situasi ruang dan kelengkapannya; Di depan surambi muka biasanya terdapat lumpangan tempat air untuk membasuh kaki. Pada surambi muka juga terdapat tempat air lainnya untuk pembasuhan pambilasan biasanya berupa guci. Ruangan ini lantainya lebih tinggi, dikelilingi pagar rasi. Biasanya pada ruang ini terdapat sepasang kursi panjang.
Setelah masuk Pacira akan didapatkan tanggui basar dan tanggui kacil di arah sebelah kiri, sedangkan arah sebelah kanan terdapat pengayuh, dayung, pananjak dan tombak duha. Di sayap kanan ruangan terdapat gayung, sandal dan terompah tergantung di Balabat Panurunan. Sebagai perlengkapan penerangan dalam ruangan ini terdapat dua buah lampu gantung.
Ruangan ini cukup besar digunakan untuk berbagai kegiatan keluarga dan kemasyarakatan apabila masih kekurangan ruang Tawing Halat yang memisahkan dengan Palidangan dapat dibuka. Di bagian tengah di depan Tawing Halat ini terletak bufet. Di atasnya agak menyamping ke kiri dan ke kanan terdapat gantungan tanduk rusa. Di tengah ruangan terdapat dua buah lampu gantung. Lantainya diberi lampit dan kelengkapan bergerak seperti paludahan, kapit dan gelas, parapen, rehal. Ruangan ini terdiri dari Paledangan Dalam dan Anjung Kiwa - Anjung Kanan. Fungsi ruang sama dengan Paluaran, namun biasanya diperuntukkan bagi kaum wanita. Di sini terdapat kelengkapan lemari besar, lemari buta, kanap, kendi. Lantainya diberi hambal sebagai alas duduk.
Ruang Anjung Kanan merupakan ruang istirahat yang dilengkapi pula dengan alat rias dan perlengkapan ibadah. Sedangkan Anjung Kiwa merupakan tempat melahirkan dan tempat merawat jenazah. Di sini juga di beri perlengkapan seperti lemari, ranjang, meja dan lain-lain.
Di samping untuk tempat perlengkapan masak dan kegiatannya, ruang padu ini juga digunakan untuk menyimpan bahan makanan. Perlengkapan umum yang terdapat di dalamnya adalah dapur, rak dapur, pambanyuan, lemari, tajau, lampit dan ayunan anak. Bentuk arsitektur dan pembagian ruang rumah tradisional Bubungan Tinggi mempunyai kesamaan prinsip antara satu dengan lainnya, dengan perbedaan-perbedaan kecil yang tidak berarti. Dari sini dapat dilihat bahwa rumah tradisional Bubungan Tinggi tersebut mempunyai keterikatan dengan nilai tradisional masyarakatnya. Jadi meskipun pada awalnya bentuk tersebut dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan fungsi dan adaptasi terhadap lingkungan, tetapi karena sifatnya yang berulang-ulang kemudian dari bentuk fungsional tersebut berubah menjadi bentuk yang tradisional. galeri
Rujukan
Pranala luar
|