Saptohoedojo
Saptohoedojo atau lengkapnya Dr.Hc.RM, Saptohoedojo, FRSA, (06 Januari 1925 – 03 September 2003)[1] adalah seorang pelukis beraliran Realis yang lahir di Solo. Ia merupakan anak ke 7 dari 18 bersaudara. Dia masih keturunan ningrat. Ayahnya seorang dokter kraton bergelar Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Hendronoto. Ibunya keturunan pujangga Ronggowarsito. Kesuksesan Saptohoedojo tidak terlepas dari peranan keluarga yang mengalirkan darah seni. Antara lain Eyang Ki Padmo Susastro seorang pujangga Keraton, penulis Tata Cara Kejawen, yang menulis dongeng rakyat "Kancil Nyolong Timun" serta memperoleh anugerah seni. Pamannya Ki Harjowirogo adalah seorang penulis Wayang Purwo dan pendiri Balai Pustaka. Tidak ketinggalan kakak-kakaknya seperti Sumitro seorang pelukis, Surono pembuat OERI (Oeang Republik Indonesia) pertama dan pembuat lambang Penerangan, Dukut Hendronoto yang dikenal pak Ouq pendiri Taman Ria dan pembuat lambang PON pertama, RM Winarno salah seorang pendiri PERDI yang tulisannya di media massa sangat tajam dengan nama samaran "Cloboth". Riwayat HidupSapto kecil yang akrab dipanggil Pieq, mempunyai bakat yang lebih di bidang melukis. Ketika tahun 1938, ada sebuah lomba lukis yang diadakan perusahaan sabun di Jakarta. Sapto ikut mengirim beberapa karya lukis dari bahan cat air dan menjadi juara dan terus menjadi juara apabila ada lomba lukis yang diadakan di Solo. Berjiwa petualang dan pemberani, bahkan di samping mempunyai hobi olahraga, Pieq juga hobi berkelahi. Pernah waktu sekolah di HIS (Sekolah Dasar) Ksatriyan Solo, is sering berpapasan dengan seorang bertubuh tinggi besar berkulit agak hitam dan setiap berpapasan matanya selalu melotot. Belakangan Pieq tahu bahwa Ia bernama Slamet, murid Arjuna School. Kemudian, dia mengirim surat tantangan duel ke Arjuna School. Alhasil, tantangan tersebut ditanggapi. Maka ditentukanlah tempat untuk berduel, yaitu di tanah rumput dekat pohon beringin, tak jauh dari Arjuna School. Di sana Sapto dan Slamet beradu, mereka saling piting, saling tonjok, dan bergulingan. Belum sampai selesai pertarungan tersebut mendadak ada kontrolir perkebunan datang melerai. Pertarungan berakhir seri. Setelah Proklamasi, Sapto bergabung dengan Tentara Pelajar dan bertemu dengan Slamet lawannya dulu, tentunya dengan suasana yang berbeda dan menjadi sangat akrab. Akhirnya dia tahu bahwa nama lengkapnya adalah Slamet Riyadi, nama yang sangat populer di kalangan pejuang, nama yang kemudian menjadi Pahlawan Nasional. Pada masa setelah kemerdekaan, dunia pendidikan memang tidak menentu dikarenakan Belanda membonceng tentara sekutu yang hendak melucuti tentara Jepang untuk kembali menjajah Indonesia. Dia tidak pernah lulus HIS yang kemudian menjadi SMP Negeri 1 Solo. Setelah tidak lagi bersekolah, dia mulai sering berkhayal untuk "minggat" ke luar negeri. Akhirnya, ditentukan bahwa Singapura adalah negara tujuanya, negara yang akan memberikan penderitaan dan kebahagiaan, negara yang akan mewujudkan mimpi-mimpinya. Bulan Maret 1947 dia berketetapan untuk berangkat. Hanya dengan bekal uang dua ribu perak hasil penjualan sepeda Hima kesayangan, tidak ada apa-apa di ranselnya selain beberapa potong baju dan celana, perlengkapan melukis, pastel, kuas, dan gulungan kanvas. Saat itu Saptohoedojo berumur 22 tahun berjalan kaki menuju Pelabuhan Tegal hanya bermodal ketekadan hati untuk meraih mimpi. Dari Pelabuhan Tegal dia menumpang kapal tongkang milik pedagang Cina. Seumur hidup Pieq belum pernah naik kapal, walaupun hanya sebuah sampan di sungai. Selama 19 hari dia terombang-ambing di laut, dihajar oleh ganasnya Laut Jawa. Di kapal itulah Sapto merasakan betapa tipisnya batas antara hidup dan mati. Menuju daratan Singapura, sebuah negara yang belum pernah dilihatnya, walaupun hanya dalam peta karena sangat terbatasnya pelajaran geografi pada waktu itu. Satu-satunya pengetahuan Sapto hanyalah bahwa Singapura terletak di semenanjung Malaya dekat Riau. Setelah tiba di Singapura, pemikiran pertama yang terlintas adalah bagaimana untuk memenuhi panggilan sang perut yang tiap hari minta sesuap nasi. Bermula bekerja menjadi penjaga malam toko Bombay milik orang India agar bisa tetap tidur di emper toko tersebut, makan dari tong sampah sisa makanan restoran Cina, menjadi tukang angkut ember berisi tinja agar dapat membeli makan untuk dua hari. Dari situ Sapto mulai dapat berhemat dan menyewa kamar berdinding "gedhek" (anyaman bambu) berukuran 2 x 1,5 meter di bilangan Jalan Gelang. Hidup terasa lebih tenteram, walau sebagai pendatang gelap ia harus tetap kucing-kucingan dengan polisi kota yang mungkin akan menangkapnya. Sedikit harapan mulai timbul ketika berkenalan dengan pendatang asal Jawa yang mengusahakan beberapa buah taksi. Sebagai seorang bangsawan, Sapto memang mengerti tentang mobil, karena sejak kecil ayahnya telah mempunyai mobil. Lantas Sapto menjadi sopir taksi. Usai mencari penumpang, Pieq kembali mengangkat kuas dan memulas cat di kanvas, sehingga kamarnya terasa sempit dengan banyaknya karya lukisnya yang tergantung di gedhek. Sebagai seorang sopir, Sapto mempunyai langganan yang bernama Mr. Russel, seorang konsul Inggris di Singapura yang mempunyai minat tinggi pada karya-karya seni. Dengan setengah memaksa, ia menyeret sang konsul untuk masuk ke dalam kamar dan menghadapkanya ke seputar dinding kamarnya. Di situ tergantung lukisan-lukisan karyanya. Setelah terus menerus berusaha meyakinkan Mr. Russel bahwa dirinya adalah pelukis, akhirnya atas bantuan si konsul beberapa bulan kemudian Saptohoedojo diperbolehkan untuk memamerkan lukisan-lukisanya di British Council. Itulah untuk pertama kalinya Saptohoedojo memamerkan hasil karyanya. Sebuah pameran yang menginspirasi hidupnya untuk menggantungkan hidupnya dari kuas dan cat. MonumenUntuk mengenang karyanya, sebuah patung dirinya didirikan di Makam Seniman Giri Sapto, Imogiri, Bantul, Yogyakarta.[2][3][4][5] Referensi
|