Share to:

 

Balai Pustaka

PT Balai Pustaka
Perusahaan indukDanareksa
StatusBeroperasi
Didirikan22 September 1917; 107 tahun lalu (1917-09-22)
PendiriAdviseur voor Inlandsch Zaken
Negara asalIndonesia
Kantor pusatJakarta
Tokoh kunciAchmad Fachrodji (Direktur Utama)
Jenis terbitan
  • Buku sastra
  • Buku pendidikan
  • Buku bacaan umum
  • Kamus
  • Pustaka Digital
  • Taman Bacaan Masyarakat
Situs resmiwww.balaipustaka.co.id

Balai Pustaka (Ejaan Van Ophuijsen: Balai Poestaka) adalah perusahaan Indonesia yang bergerak di bidang penerbitan, percetakan dan multimedia. Berdiri sejak era pendudukan Belanda yakni pada 1917, Balai Pustaka kemudian bertransformasi menjadi Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Balai Pustaka terkenal sebagai penerbit sejumlah karya literatur Indonesia ternama seperti Salah Asuhan, Siti Nurbaya, dan Layar Terkembang. Sejak 2022, PT Balai Pustaka telah resmi menjadi Anggota Holding BUMN PT Danareksa (Persero).

Sejarah

Era pendudukan Belanda

Balai Pustaka didirikan dengan nama Komisi untuk Bacaan Rakyat (bahasa Belanda: Commissie voor de Volkslectuur, selanjutnya KBR) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 15 Agustus 1908. Lembaga itu berada di bawah naungan Biro Penasehat Urusan Pribumi (bahasa Belanda: Adviseur voor Inlandsch Zaken) yang termasuk ke dalam Departemen Pendidikan dan Keagamaan (bahasa Belanda: Departement van Onderwijs en Eeredienst).[1] KBR atau lebih dikenal dengan nama "Balai Poestaka" pada tanggal 17 September 1917.[2] KBR menerbitkan kira-kira 350 judul buku per tahun yang meliputi kamus, buku referensi, keterampilan, sastra, sosial, politik, agama, ekonomi, dan penyuluhan.[3]

Kios Balai Poestaka di Purwokerto pada masa Hindia Belanda.

Tujuan didirikannya Balai Pustaka ialah untuk mengembangkan bahasa-bahasa daerah utama di Hindia Belanda. Bahasa-bahasa ini adalah bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Melayu, dan bahasa Madura.

Ada visi alternatif yang menyebutkan bahwa pendiriannya kala itu konon untuk mengantisipasi tingginya gejolak perjuangan bangsa Indonesia yang hanya bisa disalurkan lewat karya-karya tulisan. Berbagai tulisan masyarakat anti-Belanda bermunculan di koran-koran daerah skala kecil, sehingga perusahaan penerbitan ini lalu didirikan Belanda dengan tujuan utama untuk meredam dan mengalihkan gejolak perjuangan bangsa Indonesia lewat media tulisan dan menyalurkan nya secara lebih manusiawi sehingga tidak bertentangan dengan kepentingan Belanda di Indonesia.

Tujuan lain yang dilakukan oleh KBR yaitu menerjemahkan atau menyadur hasil sastra Eropa hal ini juga bertujuan agar rakyat Indonesia buta terhadap informasi yang berkembang di negaranya sendiri.

Tidak semua usaha yang dilakukan oleh KBR negatif. Usaha-usaha yang positif antara lain: mengadakan perpustakaan di tiap-tiap sekolah, mengadakan peminjaman buku-buku dengan tarif murah secara teratur, memberikan bantuan kepada usaha-usaha swasta untuk menyelenggarakan taman bacaan, menerbitkan majalah-majalah Sari Pustaka dan Panji Pustaka dalam bahasa Melayu Kejawen dalam bahasa Jawa, dan majalah Parahiangan dalam bahasa Sunda. Selain itu, KBR menerbitkan majalah anak-anak dalam bahasa Melayu, Kanak-Kanak, dan dalam bahasa Jawa, Taman Botjah.[2]

Langkah maju yang dilakukan KBR, yang telah berhasil sebagai pencetak, penerbit, dan penjual majalah, adalah mengubah KBR menjadi Yayasan Resmi Balai Pustaka pada tahun 1917.

Buku Balé Poestaka (Supraba lan Suminten, 1923)

Salah satu novel dalam bahasa Melayu terbitan Balai Pustaka kala itu yang ternama berjudul Siti Noerbaja karangan Marah Roesli, seorang penulis dari Minangkabau.

Di era itu juga menjadi penanda penyebaran sastra Jawa Modern. Jumlah buku berbahasa Jawa lebih banyak dibandingkan yang berbahasa Melayu. Dari penelusuran George Quinn, pada katalog Balai Pustaka di 1920, ada 40 buku berbahasa Madura, 80 judul berbahasa Melayu, hampir 100 buku berbahasa Sunda, dan hampir 200 berbahasa Jawa. Pada tahun ini pula lahir novel Serat Rijanto karangan Raden Bagoes Soelardi yang menjadi tonggak sastra Jawa modern.

Era pendudukan Jepang - sekarang

Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), Balai Pustaka tetap eksis namun menggunakan nama lain, yaitu Gunseikanbu Kokumin Tosyokyoku (軍政監部国民図書局). Nama ini artinya kurang lebih adalah "Biro Pustaka Rakyat, Pemerintah Militer Jepang" dan merupakan terjemahan dari nama Belanda Commissie voor de Volkslectuur.

Era Orde Baru

Pada era Orde Baru sebagai sebuah perusahaan penerbitan, Balai Pustaka memasuki masa kejayaannya. Karena saat itu terdapat kebijakan yang mengharuskan instansi pemerintahan melakukan penerbitan buku dan sejenisnya melalui Balai Pustaka. Pada tahun 1995 atas inisiasi dari Ibu Tien Soeharto, Balai Pustaka bersama Yayasan Supersemar akan membangun Taman Pustaka dan Literasi Indonesia atau TAMPUSINDO seluas 130 hektare di timur Taman Wisata Mekarsari, Daerah Jonggol, Bogor yang kala itu menjadi kandidat Ibukota Indonesia. Taman Pustaka dan Literasi Nasional atau TAMPUSINDO, akan difungsikan sebagai objek wisata edukasi, museum, galeri pustaka, dan pusat gerakan literasi dan menulis di Indonesia. Selain itu dikawasan TAMPUSINDO juga akan dijadikan sebagai Kantor Pusat Balai Pustaka dan Sekretariat Nasional Himpunan Penerima Beasiswa Supersemar. Namun, rencana itu gagal akibat lahan tersebut yang masih dimiliki oleh Yayasan Supersemar menjadi objek sitaan Kejaksaan Agung karena dugaan korupsi Soeharto.

Era Reformasi

Pasca Reformasi Balai Pustaka justru mengalami kemunduran. Menurut Menteri BUMN, Mustafa Abubakar pada 2010, Balai Pustaka terancam bangkrut dan akan dilikuidasi karena terus mengalami kerugian.[4]

Pada tanggal 24 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menyerahkan mayoritas saham perusahaan ini ke Danareksa, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di lintas sektor.[5]

Pegawai dan Kontributor[6]

Ketika masih bernama Commisie voor de Inlansche School en Volkslectuur, badan penerbitan ini dipimpin oleh G.A.J. Hazeu yang dibantu enam orang anggota. Pemimpin selanjutnya adalah D.A. Rinkes yang menjabat ketika badan ini sudah bernama Kantor voor de Volkslectuur.

Sejumlah sastrawan Indonesia pernah menjadi redaktur Balai Pustaka, di antaranya Sutan Takdir Alisjahbana, Nur Sutan Iskandar, Achdiat K. Mihardja, Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Rusman Sutiasumarga, Hamid Jabbar, Abdul Hadi W.M., dan Subagio Sastrowardoyo

Setelah cendekiawan pribumi menulis untuk Balai Pustaka, kecurigaan semula tentang niat Pemerintah Hindia Belanda di balik Balai Pustaka berangsur berkurang. Beberapa cendekiawan itu adalah Mohammad Yamin, Agus Salim, Sutomo, Mariah Ulfah Santoso, Amir Syarifuddin, Mangunsarkoro, Margonohadikumo, Sumanang, dan Bahder Johan.

Balai Pustaka Digital

Animasi (2016), Balai Pustaka mengembangkan konten buku menjadi film animasi, seperti Film Lutung Kasarung dan Timun Emas

Audio Book (2017), Balai Pustaka meluncurkan Audio Book. Audio Book ini diangkat dari buku-buku back list serta buku baru Balai Pustaka yang kembali diterbitkan dan dibuat dalam format Audio Book.

edubp (2019), merupakan perpustakaan digital berbentuk Smartbox yang berisikan Platform, Konten, Animasi, dan Video yang dikemas dengan menarik dan dapat dinikmati oleh pengguna Smartphone dan PC desktop tanpa memakai kuota internet. Smartbox ini dapat digunakaan secara bersaman.

Referensi

  1. ^ Swantoro (2016), hlm.61
  2. ^ a b Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. (2004). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 979-9012-12-0 hlm. 116
  3. ^ "Si Tua yang Ingin Lahir Kembali" Diarsipkan 2010-01-24 di Wayback Machine., KOMPAS, 22 September 2007
  4. ^ "Two state-owned firms face liquidation", The Jakarta Post, 1 November 2010 Diarsipkan 2011-09-19 di Wayback Machine..
  5. ^ Hutauruk, Dina Mirayanti (7 Februari 2022). Winarto, Yudho, ed. "Danareksa Bertransformasi Sebagai Holding Pengelola BUMN Lintas Sektor". Kontan.co.id. Kontan. Diakses tanggal 7 Februari 2022. 
  6. ^ Dewan Redaksi Ensiklopedi Sastra Indonesia. (2004). Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. ISBN 979-9012-12-0 hlm. 116-117

Bahan bacaan

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya