Serangan Seratus Resimen
Serangan Seratus Resimen (Hanzi sederhana: 百团大战; Hanzi tradisional: 百團大戰; Pinyin: Bǎituán Dàzhàn} (20 Agustus–5 Desember 1940)[8] adalah operasi militer besar yang dilancarkan oleh divisi Tentara Revolusioner Nasional Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang dipimpin oleh Peng Dehuai untuk melawan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang di Tiongkok Tengah. Pertempuran tersebut sudah lama menjadi fokus propaganda dalam sejarah Partai Komunis Tiongkok, tetapi menjadi "kejahatan" Peng Dehuai dalam Revolusi Kebudayaan. Isu-isu tertentu terkait pelaksanaan serangan dan konsekuensinya masih menjadi kontroversi. Latar belakangDalam rentang 1939–1940, pendudukan Jepang melancarkan lebih dari 109 operasi militer kecil yang masing-masing melibatkan sekitar 1.000 tentara dan 10 operasi militer besar dengan kekuatan masing-masing 10.000 orang untuk menghabisi gerilyawan Komunis di dataran Hebei dan Shandong. Selain itu, pemerintahan boneka antikomunis pimpinan Wang Jingwei juga melakukan serangan terhadap gerilyawan PKT. Terdapat juga sentimen umum di antara pasukan perlawanan anti-Jepang, khususnya di Kuomintang (KMT), bahwa PKT tidak memberikan cukup kontribusi terhadap upaya perang dan mereka hanya tertarik untuk memperluas basis kekuatan mereka. Di luar permasalahan ini, PKT merencanakan melancarkan serangan besar untuk membuktikan bahwa mereka sedang membantu upaya perang dan memperbaiki hubungan KMT-PKT. PertempuranTentara Jepang Wilayah Tiongkok Utara mengestimasi kekuatan tetap komunis sekitar 88.000 pada Desember 1939. Dua tahun kemudian, mereka merevisi estimasi tersebut menjadi 140.000. Pada malam sebelum pertempuran, pasukan Komunis bertambah kekuatannya hingga 400.000 orang dalam 115 resimen. Keberhasilan dan ekspansi Tentara Rute Kedelapan yang luar biasa melawan Jepang mendorong Zhu De dan pemimpin militer lainnya berharap mereka dapat mengalahkan tentara Jepang dalam perang. Hingga 1940, dengan penambahan tentara yang impresif, Zhu De memimpin serangan teratur oleh sebagian besar pasukan tetap komunis (46 resimen dari Divisi 115, 47 resimen dari Divisi 129, dan 22 resimen dari Divisi 120) terhadap kota-kota yang dikuasai Jepang dan jalur kereta api yang menghubungkan kota-kota tersebut. Berdasarkan pernyataan resmi PKT, pertempuran dimulai dari tanggal 20 Agustus. Dari tanggal 20 Agustus hingga 10 September, pasukan komunis menyerang jalur kereta api yang memisahkan wilayah-wilayah basis komunis, terutama jalur antara Dezhou-Shijiazhuang di Hebei, Shijiazhuang-Taiyuan di Shanxi tengah, dan Taiyuan - Datong di Shanxi utara. Pada awalnya, Peng memimpin pertempuran yang terdiri dari 20 resimen dan pada tanggal 22 Agustus, dia mendapati lebih dari 80 resimen ikut bergabung dan sebagian besar tanpa memberitahu Peng.[9] Mereka berhasil meledakkan jembatan dan terowongan serta merusak rel, dan melanjutkan sisa bulan September untuk menyerang garnisun Jepang secara frontal. Sekitar 600 mil (970 km) jalur kereta api hancur, dan tambang batu bara Jingxing, yang penting bagi industri perang Jepang, terpaksa tidak beroperasi selama enam bulan. Ini adalah kemenangan terbesar bagi PKT selama perang. Namun, dari bulan Oktober sampai Desember, Jepang melakukan serangan balasan, menguasai kembali jalur kereta api dan melakukan "operasi pembersihan" agresif di wilayah-wilayah pedalaman di sekitarnya. Pada tanggal 22 Desember, Mao Zedong memerintahkan Peng Dehuai, "Jangan dulu menyatakan serangan berakhir. Chiang Kai-shek sedang pada puncaknya melancarkan propaganda antikomunis dan kita membutuhkan pengaruh Pertempuran Seratus Resimen untuk mengalahkan propaganda."[10] HasilTentara Kedelapan memberikan dua laporan yang keduanya didasarkan pada statistik sebelum tanggal 5 Desember. Laporan pertama mengklaim membunuh/melukai 12.645 tentara Jepang dan 5.153 tentara boneka; menangkap 281 tentara Jepang dan 1.407 tentara boneka; 7 tentara Jepang dan 1.845 tentara boneka membelot; 293 benteng diambil alih. Laporan lainnya menyatakan 20.645 tentara Jepang dan 5.155 tentara boneka terbunuh/terluka; 281 tentara Jepang dan 18.407 tentara boneka ditahan; 47 tentara Jepang dan 1.845 tentara boneka membelot; 2.993 benteng diambil alih. Kedua laporan ini didasarkan pada angka yang sama, namun terpisah menjadi dua laporan berbeda dengan alasan yang belum diketahui. Jika dijumlahkan, keduanya melaporkan korban di pihak lawan masing-masing 21.338 dan 46.000 tentara. Pada tahun 2010, sebuah artikel berbahasa Tionghoa karya Pan Zeqin menyatakan korban di pihak lawan mencapai lebih dari 50.000 tentara. Tidak ada laporan angka total korban dalam catatan militer Jepang, namun hanya melaporkan 276 orang gugur dari Brigade Campuran Independen ke-4[5] dan 133 gugur dan 31 hilang dari Brigade Campuran Independen ke-2.[11] Sumber barat mencatat korban 20.900 tentara Jepang dan sekitar 20.000 orang kaki tangan.[2] Tiongkok juga mencatat 474 km jalur kereta api dan 1.502 km jalan disabotase, 213 jembatan dan 11 terowongan diledakkan, serta 37 stasiun dihancurkan. Namun, catatan pihak Jepang menyatakan 73 jembatan, 3 terowongan, dan 5 menara air meledak; 20 stasiun terbakar, serta sabotase 117 jalur kereta api (mencapai 44 km). Kerusakan terhadap sistem komunikasi mencakup 1.333 diputus dan 1.107 tiang listrik tumbang, dan kabel terputus mencapai 146 km. Satu lokasi tambang dari Pertambangan Batu Bara Jingxing juga berhenti beroperasi selama setengah tahun.[12] AkibatKetika Jenderal Yasuji Okamura mengambil alih komando Tentara Wilayah Tiongkok Utara pada musim panas 1941, diterapkan strategi baru yaitu "Serba Tiga", yang berarti "bunuh semua, bakar semua, dan hancurkan semua" di seluruh wilayah tempat kekuatan-kekuatan anti-Jepang. KontroversiPeng dan Mao berselisih paham mengenai cara langsung untuk menghadapi pasukan Jepang setidaknya sejak Konferensi Lushan pada bulan Agustus 1937, ketika Mao mengkuatirkan kekalahan-kekalahan Komunis dari pasukan Jepang yang perlengkapannya lebih baik. Setelah beridirinya Republik Rakyat Tiongkok, Mao diduga mengatakan kepada Lin Biao bahwa "mengizinkan Jepang untuk menduduki lebih banyak wilayah adalah satu-satunya cara untuk mencintai negerimu. Jika tidak, akan menjadi sebuah negeri yang mencintai Chiang Kai-shek."[13] Karenanya, Serangan Seratus Resimen menjadi yang terakhir dari dua pertempuran frontal besar Komunis terhadap Jepang selama perang. Terdapat kontroversi bahwa Peng tidak diberikan otorisasi, bahkan serangan tersebut tanpa sepengetahuan Komite Militer Pusat dan Mao Zedong. Tuduhan serangan dilancarkan tanpa memberitahu Mao muncul pada Konferensi Tiongkok Utara tahun 1945.[14] Pada masa kampanye Lompatan Jauh ke Depan, temperamen buruk Peng mendorong kejatuhannya dan kemudian dilancarkannya serangan tersebut menjadi suatu aksi kriminal dalam Revolusi Kebudayaan. Pada tahun 1967, kelompok Pengawal Merah dari Universitas Tsinghua, dengan dukungan Komite Revolusi Kebudayaan Pusat mengeluarkan selebaran yang mengatakan "Peng yang bodoh, bersama Zhu De, telah melancarkan serangan untuk membela Chiang Kai-shek... Ia menolak instruksi Ketua Mao dan memobilisasi 105 resimen dalam suatu dorongan petualangan riskan... Ketua Mao mengatakan 'Bagaimana bisa Peng Dehuai melakukan pergerakan sebesar itu tanpa berkonsultasi dengan saya? Kekuatan pasukan kita benar-benar terekspos. Akibatnya bisa sangat buruk.'"[15] Peng mengakui dalam memoarnya 《彭德怀自述》,ia memerintahkan serangan itu pada akhir Juli, tanpa menunggu lampu hijau dari Komite Militer Pusat dan ia menyesalinya. Tetapi, Pan Zeqin mengatakan bahwa ingatan Peng tidak benar, tanggal mulai yang benar secara resmi adalah 20 Agustus, sehingga Peng sebenarnya telah diberi lampu hijau.[16] Nie Rongzhen membela Peng dengan menyatakan "ada legenda bahwa serangan tersebut tanpa sepengetahuan Komite Militer Pusat. Setelah investigasi, kami mengetahui bahwa Markas Besar Tentara Kedelapan mengirim laporan ke pimpinan atas. Laporan tersebut menyebutkan kita akan menyerang dan menyabotase Jalur Kereta Api Zhentai. Sabotase satu atau beberapa jalur kereta api adalah hal yang sangat umum dalam perang gerilya, jadi merupakan pekerjaan rutin kami. Ini bukanlah isu strategis dan Komite tidak mungkin tidak mengizinkannya". Ia tidak menyebutkan secara pasti tanggal serangan.[17] Konsensus di Tiongkok setelah Revolusi Kebudayaan pada umumnya mendukung pertempuran tersebut. Tetapi artikel Tionghoa modern menulis bahwa "Liu Bocheng memiliki beberapa opini mengenai serangan Peng yang sewenang-wenang."[18] Meskipun serangan tersebut berhasil, Mao bahkan mengaitkannya sebagai pendorong utama munculnya Kebijakan Serba Tiga Jepang yang menghancurkan kemudian dan menggunakannya untuk mengkritik Peng pada Konferensi Lushan. Referensi
Rujukan
Pranala luar |