Sidrotun Naim
Sidrotun Naim, S.Si., M.Mart.St., MS., M.S., M.P.A., Ph.D. (lahir 29 Mei 1979) adalah seorang ilmuwan dan cendekiawan muslim dari Indonesia yang berkarir di IPMI International Business School. Selain itu, dia adalah Tenaga Ahli Menteri Kesehatan, inovator diagnostik udang dari Cekolam.id; serta Wakil Sekretaris Jenderal dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama masa khidmat 2022-2027. Keterlibatan Naim di NU secara langsung dimulai saat memulai pengajian nahdliyin di Brisbane, Australia pada tahun 2004-2005. Komunitas nahdliyin di Brisbane ikut melahirkan lahirnya Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU Australia - Selandia Baru). Ketika kuliah dan bekerja di Amerika Serikat 2009-2016, Naim berkhidmat untuk PCINU Amerika Serikat - Kanada. Setelah pulang ke Indonesia, selain menjadi Wakil Sekretaris Jenderal PBNU, Naim tercatat sebagai mustasyar PCINU Amerika Serikat - Kanada. Pendidikan pada jenjang universitas dijalani di Institut Teknologi Bandung (ITB), University of Queensland (UQ), University of Arizona, Harvard University, dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (UIN Jakarta). Pendidikan yang beragam membuat Naim memiliki kepakaran di bidang kesehatan udang dan lingkungan sehingga dikenal sebagai Dokter Udang, juga di bidang Bioteknologi Kesehatan, Kepemimpinan Adaptif (Adaptive Leadership) dikaitkan dengan pengambilan keputusan (Decision Making), juga dalam bidang Pengkajian Islam khususnya interaksi antara Sains dan Agama. Naim adalah staf pengajar sekaligus menjabat sebagai Direktur Akademik (Wakil Rektor I) di Sekolah Tinggi Institut Pengembangan Manajemen Indonesia (IPMI International Business School) yang kampusnya berada di kawasan Jakarta Selatan. Dirinya menjadi bagian penting dalam pengembangan kurikulum inovasi bisnis dan manajemen bisnis pangan (Food Business Management) di IPMI. Kiprah secara profesional juga dijalaninya sebagai Tenaga Ahli (TA) Menteri Kesehatan. Sebagai Tenaga Ahli Menteri Kesehatan, dirinya terlibat aktif membantu Menteri dan jajarannya dalam merumuskan agenda Transformasi Kesehatan Indonesia 2020 - 2024. Keahliannya di bidang akuakultur juga membuatnya dipercaya menjadi dokter udang di sebuah perusahaan rintisan (start-up) bernama Cekolam.id - yang bergerak di bidang kesahatan udang dan pengembangan alat diagnostik (diagnostic kit) serta bioteknologi udang. Pengembangan teknologi ini pertama kalinya yang seratus persen buatan Indonesia. Sebelum mengajar di IPMI International Business School, Naim juga berkarir sebagai dosen dan peneliti di program studi agribisnis dan menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Budidaya Berkelanjutan dan Patologi (AquaPath) di Surya University, Tangerang, Banten. Sebagai seorang ilmuwan perempuan, Naim aktif dalam banyak kegiatan untuk memotivasi lebih banyak remaja perempuan tertarik ke bidang sains dan teknik. Di bidang kajian sosial, Naim adalah dewan pakar di lembaga think-thank untuk kajian isu dan kebijakan publik di Indonesia Strategic Institute (INSTRAT) yang berkantor di Bandung, Jawa Barat. Naim mendapatkan gelar doktornya dari Universitas Arizona di Tucson, Arizona, Amerika Serikat pada 2012, dilanjutkan dengan bekerja sebagai peneliti post-doctoral di Harvard Medical School, Boston. Naim adalah satu dari lima belas peneliti muda tingkat dunia penerima anugerah UNESCO-L’Oréal For Women in Science di markas UNESCO, Paris. Gelar Master in Public Administration dari Harvard University John F. Kennedy School of Government & Political Science diselesaikan pada tahun 2016. Pada saat wisuda, dia menjadi lulusan teladan untuk kelas angkatannya, penerima penghargaan "The Lucius N. Littauer Award for Academic Excellence and Significant Impact" karena kemampuan akademik, dedikasi dan kontribusi pemikirannya untuk memperkaya diskusi fenomena sosial menggunakan pendekatan dan perspektif scientific (sains dan matematik) yang dipahaminya. Prestasi ini melanjutkan kekonsistenannya dalam bidang akademik dan dunia profesional dengan penghargaan yang tak putus sejak 2009. Kecintaan Naim terhadap ilmu merupakan tradisi dalam keluarga selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Leluhurnya mengabdi di keraton setidaknya sejak zaman Kesultanan Demak. Setelah berubah menjadi Mataram, leluhurnya adalah ulama untuk keraton Kasunanan Surakarta secara turun temurun. Meskipun tidak melanjutkan tradisi sebagai ulama atau guru agama, Naim meneruskan tradisi keilmuwan di keluarga dengan menjadi scientist. Salah satu bagian disertasi doktornya membahas tentang bakteri berpendar di udang menggunakan pendekatan genetik dan biologi molekuler, berkolaborasi dan dibimbing oleh Professor Bonnie L. Bassler (geneticist dan molecular biologist) dari Princeton University. Naim ke Arizona untuk S3 karena Arizona adalah OIE (Office International des Epizooties/ World Animal Health Organization) Reference Lab untuk penyakit udang, di bawah pimpinan Professor Donald Lightner. Naim adalah orang Indonesia pertama yang lulus dari lab referensi ini. Selain tentang penyakit udang, selama di Arizona, Naim juga mendalami tentang biologi dan budidaya ikan nila dan mujair bersama Professor Kevin Fitzsimmons yang merupakan pembimbing utamanya, dan epidemiologi molekuler virus bersama Professor Judith Brown. Selama 3 tahun di Arizona, Naim meraih 3 gelar akademik (PhD dan dua MS) yang menjadi sejarah baru universitas sekaligus menegaskan keluasan bidang yang pernah dikaji. Selama 2 tahun di Harvard Medical School, Naim dibimbing oleh Professor Max L. Nibert (seorang dokter dan virologist) untuk memahami asal usul virus menggunakan analisis bioinformatik, model matematik yang berbeda, dan perilaku virus secara biokimia. Melengkapi keahliannya di bidang sains, selama program di Harvard Kennedy School, Naim mendalami pemikiran dan mendapat mentorship dari dua orang professor, Sheila Jasanoff (ahli matematika, linguist dan pengacara hukum lingkungan) untuk science policy, studi multidisiplin antara science, power, and democracy, dan Ronald Heifetz (psikiater, policy analyst dan pemain cello), untuk adaptive leadership (kepemimpinan dan pengambilan keputusan). Naim juga terpilih untuk program training kepemimpinan perempuan selama setahun "From Harvard Square to Oval Office" yang diselenggarakan oleh Women and Public Policy Program. Saat di Boston, Naim berinisiatif untuk mengumpulkan para diaspora dan mahasiswa Indonesia, dan ditunjuk oleh Wali kota Bandung, M. Ridwan Kamil sebagai koordinator kelompok kerja untuk memberikan gagasan inovatif untuk pembangunan Kota Bandung https://m.tempo.co/read/news/2016/05/06/079768735/ridwan-kamil-bertandang-ke-harvard-dan-mit-apa-hasilnya. Riwayat Pendidikan
Riwayat HidupSidrotun Naim dilahirkan dari bapak seorang guru agama, Abidullah dan Ibu, Siti Muslichah. Ia adalah anak ketujuh dari sebelas bersaudara. Leluhurnya adalah para ulama dan cendekiawan di Surakarta. Yang terdokumentasi misalnya K.H.Imam Rozi Singomanjat adalah penghulu perang Diponegoro (1825-1830), penyampai pesan rahasia antara Diponegoro dan Pakubuwana VI. Setelah perang berakhir, Diponegoro diasingkan ke Makassar sedangkan Pakubuwana VI ke Ambon. Keluarga besarnya vakum, menjaga jarak dengan penguasa selama masa Pakubuwana VII dan VIII. Pada masa Pakubuwana IX (anak dari Pakubuwana VI), keluarga kembali menjadi ulama keraton lewat menantu Imam Rozi, K.H.M.Zahid bin Jayan Iman bin Iman Puro. Dua putera Kyai Zahid (K.H.M. Idris dan K.H.M.Irsam/R.M.Reksodipuro, panewu Katib keraton kasunanan) membangun kembali dan mengajar di Pondok Jamsaren. Pada masa Pakubuwana X, selain menjadi ulama keraton, keduanya juga mengajar di sekolah Mambaul Ulum (dirintis 1905). Kyai Idris menjadi kepala sekolah kedua setelah Kyai Bagus Arfah. Di sekolah Mambaul Ulum, dua putera Kyai Irsam ikut mengajar, yaitu Kyai Dimyati (R.Ng.Condrowiyoto), dan K.H.Achmad Sanusi, kakek buyut dari Naim dari jalur bapak. Begitu juga K.H.Jalal Suyuti bin Kyai Kasan Dulkarim, kakek buyut dari jalur ibu. Pada masa Pakubuwana XI dan selama pendudukan Jepang (1942-1945), keraton mulai mengalami kemunduran secara politik. Achmad Junaidi Sanusi, seorang penghafal Quran berusia 22 tahun, kakek dari Naim, mengabdi di keraton sebagai pengajar Quran untuk keluarga raja. Karena pengaruh keraton makin memudar setelah Proklamasi, maka tradisi mengabdi kepada raja berhenti. Meskipun demikian, tradisi mengabdi berlanjut karena Abidullah Junaidi, bapak dari Naim, adalah PNS guru agama di Solo selama hampir 40 tahun. Ibunya adalah perempuan tangguh yang mengasuh sebelas anak dengan tangannya sendiri. Pada saat bersekolah di SMA 3 Surakarta (1994-1997), Naim diasuh oleh kakek dan neneknya dari jalur ibu, Muhammad Komar bin K.H. Jalal Suyuti dan Kusniyah binti Muhiddin. Kakeknya, pensiunan naib (penghulu), berjuang mati-matian agar bangunan sekolah bekas Mambaul Ulum tidak digusur untuk perluasan Pasar Klewer oleh Pemerintah Kota. Pada saat itulah, Naim menyaksikan bagaimana kakeknya mencari dukungan dan menggalang kekuatan. Mambaul Ulum memiliki peran penting dalam sejarah pendidikan Islam dan penyebaran Islam di Indonesia. Sekolah Islam pertama yang menggunakan sistem kelas, ada kurikulum, dan ijazah untuk mempersiapkan penghulu, ulama, dan cendekiawan muslim. Baik dari jalur ibu maupun bapak, Naim memiliki darah sebagai ilmuwan, sesederhana apapun kehidupan mereka. Bapaknya adalah aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Tumbuh dalam lingkungan NU, bapaknya bergabung sebagai kader Muhammadiyah ketika muda dan bahkan menjadi ketua Ikatan Muda Muhammadiyah di Solo. Mewarisi berbagai macam identitas yang mengalir dalam darahnya, Naim menganggapnya sebagai sebuah kekayaan untuk menghargai Islam dan Jawa. Karier Naim berawal setelah lulus ITB, ia bekerja di Freeport, Papua, di bagian bioremediasi lahan bekas tambang. Di Papua ia mulai punya ketertarikan ke laut Indonesia. Ia pun melanjutkan studinya di program master of marine studies di Universitas Queensland, Australia, 2005. Sepulang dari Australia, ia menjadi guru SD dan SMA di Bandung. Tahun berikutnya ia diajak oleh kawannya untuk memberikan pendampingan melalui program WWF Indonesia-Aceh kepada petambak udang korban tsunami di Aceh.[1] Di Aceh inilah ketertarikan pada studi penyakit udang dimulai ketika mengalami gagal panen pada tahun 2008 karena serangan penyakit. Jika tidak diatasi, penyakit udang menyebabkan kerugian ekonomi mencapai 4 triliun per tahun, bahkan lebih pada skala nasional. Kepeduliannya ini menghantarkannya untuk melamar sebagai mahasiswa program doktor ilmu lingkungan di Universitas Arizona, Amerika Serikat. Ia-pun pergi ke Arizona bersama suami dan anaknya, Elhurr, yang saat itu masih balita. Suaminya, Dedi Priadi, ikut menempuh pendidikan paska sarjana ilmu psikologi pendidikan di Universitas Arizona. Selain menyelesaikan program PhD selama tiga tahun, pada waktu bersamaan Naim juga lulus dua program master yang berkaitan, sesuatu yang tidak pernah direncanakan sebelumnya dan pertama kali dalam sejarah University of Arizona. Sepanjang 2009-2016, Naim banyak memperoleh penghargaan di Indonesia maupun di luar negeri. Di awal tahun 2012, Sidrotun Naim menjadi satu dari lima belas peneliti muda tingkat dunia yang menerima anugerah UNESCO-L’Oréal For Women in Science di markas UNESCO, Paris. Di penghujung 2012, Naim resmi menyelesaikan program doktornya dan langsung berlanjut ke program riset di Harvard Medical School, Boston. Selama di Boston, Naim juga aktif mengikuti kegiatan Harvard Kennedy School (HKS) Women and Public Policy Program, HKS Leadership Program, dan diterima di HKS Master in Public Administration Edward S. Mason Program pada tahun 2014, dan diselesaikan pada tahun 2016. Menurut Naim, ilmuwan perlu memiliki kemampuan dasar kepemimpinan, kebijakan publik, dan pemerintahan, sehingga inovasi sains dan teknologi yang dihasilkan dapat bermanfaat dalam mendorong kemajuan sosioekonomi secara nyata. Tanpa pemahaman yang memadai tentang aspek bisnis, ekonomi, dan hukum yang berlaku terkait dengan inovasi sains, maka sains tidak dapat memberikan dampak luas. Apalagi bidang yang dikajinya terkait dengan budidaya udang dan penyakitnya, berdampak langsung terhadap perekonomian masyarakat pesisir. Di penghujung 2014, Sidrotun Naim bersama 4 alumni Fulbright lainnya mewakili Fulbright Program untuk menerima untuk menerima penghargaan Prince of Asturias Award 2014. Fulbright Program adalah pemenang penghargaan Prince of Asturias untuk kategori kerja sama internasional yang diberikan di Teater Campoamor, Oviedo.[2][3] Kepada lima alumni yang mewakili Fulbright Program, Raja Felipe memberikan pin Asturias secara terpisah saat jamuan di Hotel Reconquista, diberikan secara resmi di depan bendera negara masing-masing, termasuk Sidrotun Naim di depan Sang Saka Merah Putih. Pengalaman Penelitian dan Pengabdian
Penghargaan
Riwayat Organisasi
Referensi
Pranala luar
|