Siwani Makmur
PT Siwani Makmur Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: SIMA) yang bergerak dalam bisnis usaha utama pembuatan usaha kemasan, ditambah usaha lainnya seperti jasa reparasi dan perdagangan. Berkantor pusat di Jl. Muara Baru, Jakarta Utara,[1] perusahaan ini tercatat sempat mengganti namanya beberapa kali. Saat ini, status sahamnya di Bursa Efek Indonesia masih dihentikan perdagangannya (suspend) yang sudah berlangsung sejak 17 Februari 2020.[2] Manajemen
Pemegang saham
Sejarah dan perkembanganDidirikan awalnya dengan nama PT Super Indah Makmur pada 7 Juni 1985 dengan modal Rp 960 juta,[1] PT Super Indah memproduksi berbagai kemasan baik dari plastik, nilon, aluminium, cellophane, dan lainnya.[4] Pada 3 Juni 1994, perusahaan ini (diberi kode emiten SIMA) resmi mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dengan harga perlembar Rp 2.075/lembar dan melepas 14,29% sahamnya.[1][5] Tidak lama setelah IPO, masuklah Van der Horst Ltd., sebuah perusahaan Singapura yang dimiliki oleh Johannes Kotjo bersama Bambang Trihatmodjo (sejak 1995).[6] Kotjo lalu mempergunakan Van der Horst Ltd. untuk mengakuisisi 35% saham PT Super Indah Makmur seharga Rp 43 miliar; transaksi ini dilakukan pada 21 Juni 1996.[7][8] Tidak lama kemudian, saham Van der Horst dinaikkan menjadi 49%[1] dan sejak 23 September 1996, PT Super Indah Makmur Tbk telah menyandang nama baru sebagai PT Van der Horst Indonesia Tbk.[9] Kotjo lalu mengembangkan usaha PT Van der Horst Indonesia dalam bidang infrastruktur di samping bisnis utamanya dalam bidang percetakan, dengan alasan peluang bisnisnya yang besar.[10] PT Van der Horst kemudian berhasil memperoleh hak membangun jalan tol dan pembangkit listrik sebesar US$ 50 juta. Selain itu, juga berusaha dikembangkan usaha membangun pipa minyak serta terjun ke bisnis minyak dan gas bumi.[11] Kepemilikan Kotjo tidak bertahan lama, karena pasca krisis 1997-1998, Kotjo yang berusaha menyehatkan bisnisnya dan melihat harga saham perusahaan miliknya melorot, melepas banyak usahanya. Melalui berbagai skema, jatuhlah PT Van der Horst Indonesia Tbk dan induknya, Van der Horst Ltd. Singapura ke tangan keluarga William Soeryadjaya. Dua anak William, Edward dan Edwin, mengambilalih kedua perusahaan itu. Edwin sendiri kemudian mengakuisisi Van der Horst Ltd.,[12] sementara Edward dengan lengan bisnisnya, L&M Group Investments Ltd., mengakuisisi PT Van der Horst Indonesia Tbk sebesar 51,5%,[13][14] terhitung pada 7 Agustus 2000.[9] Edward lalu mengganti nama perusahaan menjadi PT Siwani Makmur Tbk (sampai sekarang) pada November 2000,[9] dengan alasan agar lebih mudah dikenali investor.[15][16] Siwani kemudian kembali memfokuskan bisnisnya pada bisnis percetakan kemasan, dan diniatkan Edward sebagai bendera bisnisnya.[15] Meskipun demikian, jalan Edward mengembangkan bisnisnya ini cenderung fluktuatif, dengan tercatat pernah terancam delisting akibat terlambat menyampaikan laporan keuangan.[17][18] Memasuki akhir 2000-an, justru pendapatan Siwani Makmur semakin menurun[19] dan merugi pada periode 2010-2014.[20] Masuklah kemudian Roots Capital Asia Ltd. pada tahun 2012 sebagai pemegang saham mayoritas (79%)[1] meskipun Edward masih tercatat dalam posisi Presiden Komisaris pada 2014.[21] Pada tahun 2015, Siwani Makmur mengalami pukulan yang cukup berat, karena akibat banjir yang menerjang pabriknya di Muara Baru, maka 3 unit mesin cetak, 3 unit mesin laminasi dan 5 unit mesin potongnya rusak dan tidak dapat beroperasi sejak Juli 2015.[1] Akibat itulah, Siwani terpaksa beralih usaha demi mempertahankan bisnisnya dengan menjadi agen penjualan produk PT De Petroleum Internasional dalam pengolahan limbah, sejak September 2016. Siwani kemudian juga mengeksplor berbagai peluang lain, seperti menyatakan ingin terjun ke bisnis properti atau pertambangan.[1][22] Hal ini karena kondisi keuangannya terus merugi, pada 2018 mencapai Rp 13,1 miliar,[1] meskipun pernah juga mendapat untung walaupun tidak besar.[23] Nama Edward kemudian menghilang dari perusahaannya ini, dengan pada 2019 menjadi dimiliki beberapa pemegang saham perorangan seperti Vonny Yuliana Kusuma Dewi (31,6%), Agung Tobing (7,19%), Dwi Nugroho (5,70%) ditambah publik.[24] Sempat masuk juga Benny Tjokrosaputro sebagai pemegang saham sebesar 5,67% sebelum ia tersangkut kasus Jiwasraya.[25] Sejak 17 Februari 2020, akibat tidak membayar biaya pencatatan di bursa saham, pihak BEI sendiri mensuspensi perdagangan sahamnya.[26] Sebelumnya, Siwani juga sempat disuspensi perdagangannya dalam waktu singkat selama beberapa waktu.[27] Kini, suspensi itu telah memasuki lebih dari dua tahun, dan Siwani terancam di-delisting, apalagi tanpa usaha yang jelas.[2] Rujukan
Pranala luar |