Slamet Suradio
Slamet Suradio (lahir 18 Agustus 1939[1]) adalah mantan masinis kereta api di Indonesia. Ia merupakan terdakwa atas kasus Tragedi Bintaro tanggal 19 Oktober 1987 yang mengakibatkan 139 korban tewas dan sekitar 254 orang luka parah.[2][3] Peristiwa nahas ini sontak menjadi perhatian publik dunia pada waktu itu karena kecelakaan kereta api tersebut merupakan kecelakaan paling mengerikan dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Namun menurutnya, ia sama sekali tidak bersalah, karena mengaku mendapatkan Semboyan 40 dari PPKA yang menandakan bahwa lintasan rel yang akan dilalui KA 225 tersebut dalam keadaan aman. Selain itu ia juga telah mendapatkan Surat PTP (pemindahan tempat persilangan) yang berarti bahwa kereta KA 225 harus berjalan melintasi rel lebih dahulu dan kereta KA 220 diperbolehkan melintasi rel saat kereta KA 225 telah sampai tujuan.[3] KarierAwal karierSlamet Suradio mulai mengabdi di Perkeretaapian Indonesia Pada tahun 1964 dan mengawali kariernya menjadi masinis pada tahun 1971.[4] Pria lulusan SMP[1] ini memulai kariernya di Perusahaan Negara Kereta Api (kini PT Kereta Api Indonesia) sejak ia berumur 25 tahun. Ia diterima bekerja sebagai pegawai perkeretaapian di Inspeksi Jakarta. Mulanya, Slamet Suradio bertugas melakukan perawatan terhadap kereta sebelum diberangkatkan. Pada tahun 1966, ia mengikuti ujian menjadi asisten masinis dan lulus; lima tahun berikutnya menjadi masinis berpangkat pengatur muda.[5] Tragedi Bintaro IPada tanggal 19 Oktober 1987, pada pukul 06.45 pagi itu, terjadi tabrakan berhadapan antara KA 225 dan 220 di Pondok Betung, Bintaro, Pesanggrahan, Jakarta Selatan. KA 225 ditarik lokomotif BB306 16 dengan Slamet Suradio sebagai masinis, Soleh sebagai asisten masinis, dan Adung Syafei sebagai kondektur. Sementara itu, KA 220 ditarik lokomotif BB303 16 dan dimasinisi oleh Amung Sunarya, dengan asistennya, Mujiono.[6]
Berbeda dengan tudingan di pengadilan dan laporan akhir PJKA bahwa Slamet Suradio memberangkatkan sendiri kereta apinya tanpa izin, Slamet Suradio mengatakan dengan tegas bahwa dirinya "sama sekali hanya mengikuti instruksi dari PPKA Sudimara menggunakan PTP tersebut." Bahkan Slamet Suradio berkali-kali menegaskan bahwa tudingan tersebut adalah sebuah "kebohongan besar". Ia juga menegaskan bahwa tak ada hal apa pun yang dikhawatirkan karena ia merasa tak melihat semboyan apa pun yang diterimanya.[7] Saat terjadi tabrakan, Slamet Suradio juga meluruskan apa yang diberitakan di media, termasuk dalam koran Pembaruan yang pertama kali membahas mengenai Tragedi Bintaro 1987 yang menulis "masinis lompat" pada koran tersebut. Ia menanggapi: "Kaki saya ngesot-ngesot tidak bisa jalan, akhirnya saya merambat melalui jendela." Saat terjadi tabrakan, Slamet Suradio tergencet oleh badan lokomotif dalam keadaan bersimbah darah dan dijemput oleh seorang wanita dengan mobilnya ke rumah sakit. Dalam keadaan PTP masih memiliki bekas bercak darah, Slamet Suradio berhasil membuktikan kepada hakim bahwa dirinya tergencet dan tidak melompat, dan menuding bahwa orang yang menuliskan berita tersebut adalah "orang fitnah."[7] Sanksi dan pemecatanPada tahun 1988, Slamet Suradio divonis hukuman 5 tahun penjara dan harus kehilangan pekerjaannya sebagai masinis.[8] Ia ditahan di Lapas Cipinang dan bebas setelah hukumannya diremisi menjadi 3,5 tahun.[9] Setelah bebas dari penjara, Slamet Suradio sempat hanya apel di kantornya karena sudah dibebastugaskan. Pada tahun 1996, ia dipecat secara tidak hormat oleh Departemen Perhubungan Indonesia dengan terbitnya Surat Keputusan No. 4/KP.602/Pnb-96. Ia pun tidak mendapatkan uang pensiun.[10] Kehidupan kiniSetelah dipecat dari Perumka, Slamet Suradio akhirnya memilih kembali ke kampung halamannya, di Kabupaten Purworejo. Kini, dia menjadi pedagang rokok[11] di Kutoarjo.[4] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |