Soedjono AJ
Kolonel TNI (Purn.) Soedjono Anton Joedhotedjoprawiro[1] (EYD: Sujono Anton Yudhotejoprawiro, 15 September 1928 – 31 Oktober 1994), biasa disingkat Soedjono A.J. atau A.Y., adalah wali kota Samarinda yang pertama dan ketiga di Yogyakarta. Soedjono awalnya bertugas di Kodam VII/Brawijaya, sebelum kemudian ditugaskan di Kodam IX/Mulawarman pada masa Pangdam Brigjen Soehario Padmodiwirio.[2] Kehidupan dan karir awalTidak banyak yang dapat diketahui dari kehidupan awal Soedjono selain tanggal kelahirannya. Berdasarkan keterangan pada makamnya, dapat diketahui bahwa Soedjono menjadi kadet Militaire Academie (MA) Yogyakarta (kini menjadi Akademi Militer) saat Perang Kemerdekaan berlangsung. Seusai perang, dia bertugas di Kodam VII/Brawijaya, sebelum akhirnya dipindahkan ke Kodam IX/Mulawarman.[2] Wali Kota SamarindaPada tanggal 20 Januari 1960, Daerah Istimewa Kutai dibubarkan dan wilayahnya dipecah menjadi tiga daerah tingkat II, yakni Kotapraja Balikpapan, Kotapraja Samarinda, dan Kabupaten Kutai.[3] Meskipun posisi Bupati Kutai dan Wali Kota Balikpapan diduduki oleh bangsawan Kutai, tetapi Soehario berhasil menekan Gubernur Pranoto agar menempatkan Soedjono sebagai Wali Kota Samarinda.[4] Akhirnya, pada hari yang sama, Pranoto menerima sumpah jabatan dari Soedjono, disusul dengan serah terima kewenangan dari Sultan Aji Muhammad Parikesit selaku Kepala Daerah Istimewa Kutai kepada dirinya selaku wali kota pada hari berikutnya. Meski demikian, Soedjono baru resmi dilantik pada tanggal 17 Februari 1960.[5] Soedjono hanya menjabat sebagai wali kota selama 20 bulan. Pada bulan Agustus 1961, ia digantikan oleh Letkol Ngoedio, yang juga sesama perwira Kodam Brawijaya (dan nantinya Mulawarman), atas instruksi Soehario.[2][6] Meski demikian, dia sempat membuat sebuah surat keputusan mengenai lambang Kota Samarinda dengan semboyan "Tata Nirbaya Ananta Boga" yang berarti "tertib dan teratur, tiada bahaya, dan tiada kekurangan sandang dan pangan".[7] Wali Kota YogyakartaSoedjono diangkat menjadi Wali Kota Yogyakarta pada bulan Januari 1966, menggantikan Soedarisman Poerwokoesoemo. Selain menjadi wali kota, dia juga merangkap sebagai ketua Fraksi Golongan Karya di DPRD DIY setidaknya per bulan Oktober 1966.[8] Salah satu langkah pertama yang dilakukannya sebagai wali kota adalah memperingatkan pengurus Kelenteng Fuk Ling Miau untuk memperbaiki kondisi kelenteng yang terpuruk, sebab kelenteng akan diambil alih oleh pemerintah daerah jika dibiarkan tidak terurus. Peristiwa tersebut mengilhami pembentukan sebuah yayasan untuk mengelolanya.[9] Selama menjabat sebagai wali kota, Soedjono sukses membuat Kota Yogyakarta menjadi lebih ramai. Berbagai langkah dilakukan untuk memajukan infrastruktur kota, seperti pelebaran dan pembangunan jalan, serta perbaikan prasarana air dan listrik.[10] Dia juga memulai pembangunan gedung balai kota baru di kawasan Timoho, Umbulharjo, untuk menggantikan balai kota lama yang bertempat di Ndalem Poenakawan atau Ndalem Ngabean. Pembangunan gedung tersebut dimulai pada tahun 1972.[11] Walau demikian, dirinya tidak lepas dari kontroversi. Salah satu kebijakannya yang kontroversial ialah pemugaran Jalan Malioboro yang dimulai pada tahun 1973. Rencana pemugaran tersebut melibatkan arsitek dari Fakultas Teknik UGM dan beberapa instansi lain seperti Bappeda (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah) DIY. Rencana pemugaran tersebut meliputi berbagai hal, seperti penataan ulang ruas jalan sehingga memberi ruang lebih bagi pedagang kaki lima, pembuatan jalur pemisah yang ditanami pohon palm, dan pembangunan air mancur pada ujung selatan jalan.[12][13] Namun, setelah dipugar, kondisi lalu lintas di Malioboro malah memburuk. Jalur lambat yang berada di sisi timur, kini diperuntukkan untuk parkir saja. Alhasil, semua kendaraan lambat seperti andong, becak, dan sepeda, hanya mampu menggunakan jalur lambat di sisi barat, di mana mereka harus berebut ruang dengan para tukang becak yang mangkal di sana. Kondisi jalur cepat juga menjadi terlalu padat karena sudah dipangkas untuk lahan parkir. Pelaksanaan pemugaran dinilai terburu-buru karena ingin mengejar penyambutan Konferensi PATA (Pacific Area Travel Association) yang akan diselenggarakan pada tahun 1974.[14][15] Kontroversi lainnya berkaitan dengan perannya sebagai pemrakarsa penyelenggaraan Loda (Lotto Daerah), semacam lotre yang berstatus legal, di Kota Yogyakarta. Loda kemudian dinyatakan terlarang sejak tanggal 5 Januari 1972 akibat banyaknya tindak kriminal yang terjadi karenanya. Pelarangan tersebut diinstruksikan oleh Wakil Gubernur DIY saat itu, Paku Alam VIII. Soedjono tunduk, tetapi mengusulkan kontrol yang ketat terhadap pelaksanaan Loda "seperti di Monako". Akibatnya, dia mendapat kritik dari Pelajar Islam indonesia (PII). Delegasi PII mengirimnya sejumlah "hadiah", seperti sebuah kaca mata plastik, sebuah obat telinga, sebuah obat sakit kepala, dan sebotol jamu kuat.[16] Pada masa jabatannya pula, anggota-anggota Buppenda (Badan Usaha Pembiayaan Pembangunan Daerah) Kota Yogyakarta diduga melakukan korupsi uang hasil lotre dalam skala besar.[17] Soedjono juga terlibat konflik dengan pihak kraton karena telah menjual tanah-tanah sultan kepada warga kota secara sepihak, khususnya di kawasan sekitar benteng keraton atau yang biasa disebut "tanah jagang". Hal ini ditentang keras oleh pihak kraton, sehingga mereka melayangkan surat protes kepadanya. Soedjono kemudian mengundang Pengageng Wahono Sarto Kroto Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat untuk mendiskusikan masalah ini, tetapi undangan tersebut ditolak mentah-mentah.[18][19] Dia digantikan oleh H. Ahmad sebagai wali kota pada bulan November 1975. Pasca wali kotaSetelah berhenti menjabat sebagai wali kota, Soedjono kembali bertugas di Kalimantan Timur dan menjabat sebagai Kepala Direktorat Sosial Politik (Kadit Sospol) Tingkat I Kalimantan Timur. Dia juga ditunjuk sebagai sekretaris Panitia Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) Tingkat I Kaltim pada tahun 1981 untuk mempersiapkan pemilihan umum tahun 1982.[20] Akhir kehidupanSoedjono meninggal dunia pada tanggal 31 Oktober 1994 di usia 66 tahun. Ia dimakamkan di Taman Pejuang 45 di Desa Balecatur, Kapanewon Gamping, Kabupaten Sleman.[21] Dia meninggalkan seorang istri bernama Soemiyati yang juga dimakamkan di sana dan beberapa orang anak, salah satunya adalah sang sulung yang bernama Setia Budi.[22] PenghargaanNamanya diabadikan menjadi nama ruas jalan yang menjadi akses utama menuju Jembatan Achmad Amins (sebelumnya bernama Jembatan Mahkota II) yang terletak di Kelurahan Sungai Kapih, Kecamatan Sambutan, Kota Samarinda.[23] Galeri
Referensi
Daftar Pustaka
|