Share to:

 

Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu

Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu (SDHBBSI) biasa disebut Suku Dayak Losarang atau Suku Dayak Takmad adalah sekelompok komunitas lokal yang mempercayai suatu ajaran bersama dan menetap di Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Ta'mad atau Takmad Diningrat merupakan pendiri dari kepercayaan yang ada sejak tahun 1970-an. Anggota kelompok kepercayaan ini diklaim berjumlah ribuan yang anggotanya berasal dari berbagai macam daerah, seperti Subang, Cirebon, hingga Jawa Timur. Ketika mendengar kata “Dayak” tersemat dalam nama mereka, publik pasti akan langsung mengasosiasikannya dengan Suku Dayak yang berasal dari Kalimantan. Namun demikian, SDHBBSI sama sekali tidak berhubungan dengan Suku Dayak di Kalimantan. Mereka murni terbentuk sebagai kelompok berbasis kepercayaan terhadap keyakinan atau “agama” tertentu di mana “agama” tersebut tidak termasuk dalam enam agama yang diakui negara, yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Kong Hu Cu.

Kelompok masyarakat ini secara formal tidak memiliki identitas legal seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP). Mereka tidak memiliki salah satu agama sebagaimana agama yang diakui oleh negara. Namun demikian, hal itu bukan berarti mereka menentang negara dan pemerintah. Mereka masih merasa menjadi bagian dari Negara Indonesia. Hanya saja, mereka memiliki perspektif lain dalam memandang cara hidup. Bagi kelompok ini, KTP atau tanda pengenal lain adalah sesuatu yang menyusahkan. Mereka berkeyakinan bahwa diri mereka yang mereka bawa ke mana-mana itulah tanda pengenal yang sesungguhnya. Salah satu mantan anggotanya kini berada di bekasi dan membuka sebuah kyos sanan elektronik[1]

Asal usul

Kelompok masyarakat ini telah menunjukan eksistensinya sejak akhir tahun 90-an kepada masyarakat luas. Mereka membangun komunitas dengan berpegang teguh pada spiritualitas sebagai dasar pembentukan ajarannya. Tidak jarang pula mereka menyebut kepercayaannya sebagai agama Jawa. Melalui kepercayaan ini, mereka melakukan penggalian kembali kepercayaan dan nilai-nilai spiritualitas masyarakat Jawa masa lalu, terutama pada masa prapatrimonial.[2] Mereka berpikir bahwa agama-agama besar yang ada saat ini, termasuk agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia, telah terkontaminasi kepentingan-kepentingan individu yang sarat dengan keserakahan. Hal inilah yang menyebabkan kelompok kepercayaan ini menggali kembali nilai-nilai budaya masyarakat Jawa dan membangun ulang nilai-nilai komunal.[3]

Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu tidak memiliki kaitan dengan Suku Dayak asli Kalimantan. Penamaan komunitas mereka yang panjang pun bukan tanpa alasan. Kata “Suku” diartikan sebagai kaki yang membantu manusia untuk berjalan ke tujuannya masing-masing sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya sendiri; “Dayak” berasal dari kata “ayak” atau “ngayak” yang berarti menyaring atau memilah. Maksud dari kata tersebut adalah manusia harus bisa memilih dan memilah mana yang baik dan mana yang benar. Sementara itu, “Hindu” memiliki arti bahwa setiap manusia dilahirkan dari rahim seorang ibu (perempuan); kata “Budha” berasal dari kata “wuda” yang berarti telanjang. Seluruh manusia menurut kepercayaan mereka diartikan sebagai makhluk yang terlahir telanjang. Adapun kata “Indramayu”, mengandung pengertian “In” berarti ‘inti’; “Darma” artinya orang tua, dan “Ayu” bermakna perempuan. Makna filosofisnya adalah bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber hidup, karena dari rahimnya lah semua manusia dilahirkan. Itulah sebabnya, menghormati kaum perempuan sangat dijunjung tinggi oleh komunitas kepercayaan ini. Hal itu tercermin dalam berbagai aktivitas keseharian mereka.[4]

Kelompok tersebut dianalogikan sebagai sekumpulan manusia terpilih karena tidak semua orang dapat menjalankan peraturan seperti yang telah disyaratkan oleh komunitas tersebut. Selain itu, makna “Hindu Budha” dalam pemahaman komunitas ini diartikan sebagai jiwa dan raga. Mereka yang tergabung diandaikan sebagai manusia yang baru saja dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan telanjang. Mereka yang telah menjadi Bodhisatvva sebagai wujud menyatunya diri mereka dengan makrokosmos, akan menanggalkan pakaian ala kehidupan era modern yang marak terjadi saat ini.[5] Anggota kelompok komunitas ini akan telanjang dengan hanya mengenakan celana pendek berwarna hitam-putih. Warna tersebut merupakan simbol dari kehidupan yang saling berpasangan. Selain itu, mereka juga akan mengenakan aksesoris terbuat dari kayu dan bambu sebagai bentuk kedekatan mereka dengan alam. Kemana pun anggota kelompok komunitas ini pergi, mereka akan selalu mengenakan pakaian dan aksesoris tersbut. Cara berpakaian yang demikian kemudian masyarakat “modern” sering memandang mereka sebagai kelompok orang gila.

Pendirian komunitas itu sendiri bebas dari campur tangan pemerintah. Adalah seorang Ta'mad yang memulai pembentukan komunitas ini dengan mendirikan sebuah padepokan yang bernama Padepokan Nyi Ratu Kembar di Desa Karimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Tanah tempat dibangunnya padepokan tersebut sendiri adalah warisan dari mertua Ta'mad. Sejak perenungannya berhasil melahirkan sebuah 'aliran kepercayaan' baru, pengikutnya menjadi semakin banyak dan terbentuknya kelompok masyarakat Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu.[6]

Nilai dan ajaran

Nilai dan ajaran pada Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu terbentuk pada tahun 1970-an dan diajarkan oleh Ta’mad atau Eran Takmad Diningrat Gusti Alam. Ta’mad adalah pendiri komunitas kepercayaan ini karena adanya kejenuhan yang dia alami terhadap peraturan-peraturan pemerintah. Ta’mad banyak melakukan refleksi dan introspeksi diri terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di sekitarnya. Lalu, ia meyakini bahwa kembali ke alam (back to nature) adalah ajaran terbaik bagi manusia. Mendekatkan diri kepada alam dipercaya sebagai inti dari kehidupan manusia.[3]

Wujud dari ajaran kembali ke alam tersebut tercermin dalam nilai-niali yang mereka junjung sehari-hari. Mereka sangat mengagungkan nilai-nilai alamiah seperti menghargai perempuandan anak-anak. Bagi mereka, kaum perempuan memiliki martabat dan derajat yang amat tinggi, karena dari mereka lah lahir individu-inidividu baru. Hal itu tentu tidak bisa dilakukan oleh kaum pria, di mana pun dan oleh siapa pun. Begitu juga dengan anak-anak, mereka selalu menganggap benar segala perkataan dan perbuatan anak-anak yang terlihat lugu. Para lelaki kelompok kepercayaan ini berpijak untuk mengabdi pada perempuan, termasuk ibu, istri, dan anak perempuan mereka. Tidak heran jika kemudian banyak di antara mereka yang mencari nafkah di luar rumah sekaligus mengurus rumah tangga seperti memasak, membersihkan rumah, dan pekerjaan rumah tangga lainnya.[4]

Ritual

Kelompok Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu melakukan ritual bernama “kum-kum” atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan rendaman. Ritual ini mereka lakukan untuk melatih kesabaran. Kum-kum sendiri mereka lakukan selama empat bulan dalam satu tahun tepatnya setiap pukul 23.00. Sebelum kum-kum, mereka biasanya melakukan kidung terlebih dahulu. Setelahnya, mereka akan berjalan ke sungai kecil di dekat perkampungan mereka untuk merendam diri hingga pagi hari tiba. Selama berendam, mereka tidak diperbolehkan memakai pakaian atas. Selain itu, mereka harus mampu menahan dinginnya udara malam dan air sungai berikut gigitan ikan kecil-kecil yang hidup di sungai. Hal itu memang tidak mudah untuk dilakukan; perlu pembiasaan mengingat tujuan utama dari ritual ini adalah untuk melatih kesabaran.[1]

Setelah ritual kum-kum selesai, mereka tidak lantas pulang ke rumah pada pagi harinya. Mereka harus melakukan ritual lanjutan berupa mepe atau berjemur. Mereka akan berjemur pada pagi hari hingga celana mereka kembali kering. Tujuan dari ritual ini adalah untuk mendekatkan manusia dengan alam tanah. Setelah menyelesaikan rangkaian ritual tersebut, mereka akan merasa menjadi orang baru kembali. Selanjutnya, sisa waktu delapan bulan ke depan bisa mereka pergunakan untuk mencari nafkah demi mencukupi kebutuhan hidup anak dan istrinya. Apabila nafkah mereka berlebih, mereka akan memberikannya pada komunitas yang membutuhkan. Setelah itu, empat bulan selanjutnya akan mereka manfaatkan untuk ritual dan mendekatkan diri dengan alam. Siklus ritual tersebut telah mereka kerjakan secara teratur selama bertahun-tahun.[6]

Ritual lain yang dilakukan oleh kelompok aliran kepercayaan ini juga banyak mengikutsertakan kelompok perempuan. Bertempat di Pendopo Nyi Ratu Kembar, setiap malam Jumat kliwon mereka berkumpul bersama. Beberapa laki-laki bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek hitam putih. Mereka duduk mengelilingi kolam kecil di dalam pendopo. Sementara kaum perempuan, duduk berselonjor di luar pendopo. Mula-mula, mereka akan melantunkan Kidung Alas Turi dan Pujian Alam secara bersama-sama. Bacaan tersebut dilanutnkan dalam bahasa Jawa Cirebon dan dikarang langsung oleh pendiri komunitas ini, yaitu Takmad Diningrat.[6]

Referensi

  1. ^ a b "Mengenal Suku Dayak Hindu-Budha Bumi Segandu Indramayu". www.tosupedia.com. Diakses tanggal 2017-11-07. 
  2. ^ "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-11-07. 
  3. ^ a b Perwitosari, Diyah. 2016. Hapus Kolom Agama Studi Gerakan Keagamaan Komunitas Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu. Tesis Program Studi S2 Antroplogi Universitas Gadjah Mada
  4. ^ a b "Salinan arsip" (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-11-07. Diakses tanggal 2017-11-07. 
  5. ^ Sedyawati, Edi. 2006. Budaya Indonesia (kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah). Jakarta: Rajawali Press
  6. ^ a b c Setiawan, Aditya Fajar. 2015. Kajian Fertilitas Keturunan Asli Kepala Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu dalam Perkembangannya. Skripsi Sarjana S1 Prodi Ilmu Pengetahuan Sosial Universitas Negeri Jakarta.
Kembali kehalaman sebelumnya