Surat Lampung
Surat Lampung, juga disebut Aksara Lampung, adalah sekumpulan aksara tradisional Indonesia yang berkembang di pulau Sumatra bagian selatan.[2] Aksara ini digunakan untuk menulis rumpun bahasa Lampung dan bahasa Melayu.[1] Surat Lampung merupakan turunan dari aksara Kawi. Surat Lampung aktif digunakan dalam tulisan sehari-hari masyarakat Lampung sejak pertengahan abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20 sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di Provinsi Lampung sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.[3][4] Surat Lampung adalah aksara abugida yang terdiri dari tiga unsur, yaitu kĕlabay surat (19 aksara dasar), bĕnah surat (10 diakritik), dan tanda baca. Seperti aksara Brahmi lainnya, setiap konsonan merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren [a], [ə], dan [o] yang dapat diubah dengan pemberian diakritik tertentu. Arah penulisan surat Lampung adalah dari kiri ke kanan. Aksara ini termasuk dalam rumpun aksara Sumatra bagian selatan (Surat Ulu). Rumpun aksara ini memiliki ciri khas, yaitu bentuknya lebih sederhana daripada keturunan aksara Kawi di Jawa dan Bali serta tidak memiliki pasangan.[5] SejarahPara ahli umumnya meyakini bahwa surat Lampung merupakan salah satu turunan aksara Brahmi, berdasarkan studi perbandingan bentuk aksara-aksara Nusantara yang pertama kali dijabarkan oleh Holle dan Kern.[6][7] Namun begitu, sejarah evolusi surat Lampung tidak dapat dirunut dengan pasti karena surat Lampung sejauh ini hanya ditemukan pada materi yang umurnya tidak lebih dari 400 tahun. Surat Lampung lazim ditulis pada media yang rentan rusak di iklim tropis, dan tidak ada prasasti atau peninggalan tua lainnya yang disetujui sebagai purwarupa langsung surat Lampung.[8] Kerabat paling dekat dari surat Lampung adalah rumpun surat Ulu seperti aksara Rejang dan aksara Incung. Baik rumpun surat Batak maupun rumpun surat Ulu berkembang di wilayah pedalaman Sumatra yang relatif lambat menerima pengaruh luar. Karena itu, ketika Sumatra menerima pengaruh Islam yang signifikan sejak abad ke-14, kedua wilayah tersebut mempertahankan penggunaan aksara turunan Brahmi selagi wilayah pesisir mengadopsi penggunaan abjad Jawi. Diperkirakan surat Lampung pertama kali berkembang di daerah hulu Sungai Komering tempat mayoritas penutur bahasa Komering bermukim. Hal ini tampak dari kemiripan antara bentuk surat Lampung dengan surat Ulu di Sumatera Selatan. Dari Komering, surat Lampung menyebar ke arah selatan dan timur hingga menyentuh pesisir Selat Sunda.[butuh rujukan] Salah satu deskripsi dan tabel surat Lampung paling awal oleh penulis asing dapat ditemukan dalam buku History of Sumatra oleh William Marsden yang dicetak pada 1784.[9] Namun selain itu, tidak banyak yang diketahui mengenai bahasa, sastra, dan surat Lampung di luar masyarakat Lampung sendiri hingga pertengahan abad ke-19. Pada 25 Agustus 1868, atas dukungan dan izin dari Lembaga Penginjil Belanda, ahli bahasa Herman Neubronner van der Tuuk tiba di Pelabuhan Telukbetung. Dari Telukbetung, ia menempuh perjalanan ke pedalaman selama tiga bulan hingga akhirnya ia sampai di Desa Lehan.[10] Di sana, ia mempelajari bahasa dan surat Lampung. Aktivitasnya menelusuri pedalaman Lampung berlangsung hingga tahun 1869. Berdasarkan studi dan pengalamannya dengan masyarakat asli Lampung, Van der Tuuk menghasilkan materi komprehensif mengenai tradisi lisan dan tulis Lampung.[11] MediaSurat Lampung secara tradisional ditulis di sejumlah media, di antaranya yang paling lumrah adalah bambu, kulit kayu, tanduk binatang, rotan, dan kertas. Naskah dengan media-media tersebut dapat ditemukan dalam ukuran dan tingkat kerajinan yang bervariasi. Tulisan sehari-hari umum digurat pada permukaan bambu, rotan, atau tanduk dengan pisau kecil (lading lancip). Tergantung dari warna dasar media, guratan ini kemudian dilumuri untuk meningkatkan keterbacaan. Bila warna dasar media adalah putih, maka guratan akan dilumuri kemiri bakar. Bila warna dasar media adalah coklat/hitam, maka guratan akan dilumuri kapur sirih (hapul).[12] Kebanyakan naskah Lampung Kuno yang ditemukan pada abad ke-18 dan 19 menggunakan kulit kayu sebagai media. Salah satunya adalah naskah milik Jo. Trefusis yang diserahkan kepada Perpustakaan Bodleian di Oxford pada 1630. Naskah ini diyakini sebagai naskah bersurat Lampung Kuno tertua yang pernah ditemukan.[1] Cara pembuatan naskah dengan media ini serupa dengan pembuatan pustaha di Sumatera Utara. Untuk membuatnya, kulit dalam pohon gaharu (Aquilaria malaccensis) dipotong sesuai keinginan. Setelah itu, dijemur beberapa saat dan kemudian diamplas dengan daun yang keras supaya halus. Terakhir. kedua permukaan (depan dan belakang) kulit dalam itu dilumuri dengan air beras. Berbeda dengan naskah bambu, rotan, dan tanduk, naskah kulit kayu ditulis dengan tinta menggunakan pena dari rusuk daun aren (Arenga pinnata) yang disebut kemasi. Tinta kemasi terbuat dari campuran buah deduruk (Melastoma malabathricum L.), arang, dan getah kayu kuyung (Shorea eximia).[13] Kertas baru umum digunakan pada abad ke-19. Kebanyakan kertas yang dipakai saat itu merupakan kertas Eropa yang ditoreh menggunakan pena biasa.[14] Walau begitu, bambu, tanduk, rotan, dan kulit kayu terus digunakan sebagai media utama penulisan surat Lampung hingga abad ke-20 ketika tradisi tulis surat Lampung berangsur-angsur mulai menghilang. PenggunaanPada masa prakemerdekaan Indonesia, masyarakat suku Lampung telah fasih membaca dan menulis surat Lampung. Banyak diantaranya yang menguasai banyak variasi surat Lampung. Mereka menggunakan surat Lampung untuk berbagai hal, mulai dari sarana komunikasi, sarana pergaulan, hingga penulisan surat-surat penting. Oleh karena itu, tingkat melek huruf suku Lampung sangat tinggi di masa itu.[15] Surat Lampung utamanya digunakan sebagai sarana komunikasi sesama penutur rumpun bahasa Lampung. Bahkan saat itu, orang Lampung akan merasa sangat malu bila tidak fasih membaca dan menulis surat Lampung.[15] Selain sebagai sarana komunikasi, surat Lampung juga digunakan sebagai sarana pergaulan muda-mudi Lampung. Pemuda dan pemudi Lampung tidak bisa bergaul secara bebas karena pertemuan mereka diatur secara adat. Adat yang mengatur pertemuan mereka disebut manjaw muli. Dalam aturan adat ini, ada sebuah acara di mana muda-mudi Lampung bisa bersua ria di tempat orang yang sedang mengadakan upacara adat. Acara ini dinamakan miyos damaw. Acara ini biasa diikuti secara beramai-ramai oleh muda-mudi Lampung. Dalam acara ini, para bujang dan gadis dapat saling bercakap-cakap, sindir menyindir, dan bersurat-suratan. Tidak jarang pula acara ini menjadi arena untuk saling menguji kepandaian bersastra, baik secara lisan maupun secara tertulis. Acara ini menjadi sangat menarik ketika mereka saling adu kepandaian menulis dan membaca surat Lampung. Bahkan ada beberapa cara menulis surat Lampung yang harus dikuasai para bujang dan gadis agar tidak menanggung malu dalam acara istimewa tersebut.[16] Dalam dunia kesastraan Lampung, surat Lampung juga digunakan untuk menulis mantra, mĕmang,[a] hukum adat, dan surat-surat penting seperti surat jual beli dan surat perjanjian.[17] Pada zaman penjajahan Belanda, surat Lampung digunakan untuk menulis surat-surat resmi, seperti Surat Keputusan Pengangkatan Kepala Kampung, surat keterangan kelahiran dan kematian, serta surat resmi lainnya. Hal ini tidak terlepas dari tingginya angka melek huruf suku Lampung saat itu.[18] Penggunaan dewasa iniPascakemerdekaan Indonesia, surat Lampung tidak lagi digunakan untuk baca tulis secara fungsional. Fungsi surat Lampung secara de facto tergantikan oleh aksara Latin. Usaha untuk membangkitkan kembali penggunaan surat Lampung dilakukan oleh para pemuka adat dengan menggelar musyawarah pembakuan surat Lampung pada tanggal 23 Februari 1985.[19] Hasil musyawarah tersebut hingga hari ini masih menuai perdebatan dan ketidaksetujuan dari beberapa pihak, khususnya karena absennya ahli aksara atau filolog dalam musyawarah tersebut. Surat Lampung bisa dijumpai pada lambang kabupaten/kota/provinsi, plang nama jalan, plat nomor rumah, dekorasi rumah, surat undangan pesta adat, hingga usaha ekonomi kreatif seperti jam tangan.[20] Pasanggiri menulis dan membaca surat Lampung mulai rutin digelar, baik oleh pihak pemerintah daerah maupun swasta.[21][22][23][24] Semua sekolah di Provinsi Lampung diwajibkan mengajarkan muatan lokal Bahasa dan Surat Lampung.[4] Kedepannya, surat Lampung diharapkan bisa digunakan di media elektronik seperti ponsel cerdas dan komputer jinjing/meja.[b] BentukAksara dasarAksara dasar (kĕlabay surat) dalam surat Lampung merepresentasikan satu suku kata dengan vokal inheren [a], [ə], atau [o].[c] Terdapat 19 aksara dasar dalam surat Lampung, sebagaimana berikut:
Pada musyawarah pemuka adat Lampung tahun 1985, terdapat satu huruf yang ditambahkan dengan menambah variasi dari huruf [ra], yaitu [gha/kha/gra].[19] Walau begitu, huruf tambahan ini masih menjadi kontroversi. Setiap sumber sekunder memiliki persepsi yang berbeda terkait nama maupun bagaimana huruf ini diucapkan.[d]
DiakritikDiakritik (bĕnah surat) adalah tanda yang melekat pada aksara utama untuk mengubah vokal inheren aksara utama yang bersangkutan dan/atau menutup suatu suku kata dengan konsonan. Terdapat 10 diakritik dalam surat Lampung, sebagaimana berikut:[28]
Pada musyawarah pemuka adat Lampung tahun 1985, terdapat 2 diakritik yang ditambahkan agar surat Lampung dapat digunakan untuk menulis bahasa Indonesia.[19]
AngkaSurat Lampung tidak memiliki angka tersendiri. Angka yang digunakan dalam naskah dan cap bersurat Lampung adalah angka Arab.[29] Tanda BacaSurat Lampung hanya memiliki 2 tanda baca: bulatan matahari dan bulan. Keduanya berfungsi sebagai tanda bermula dan berakhirnya paragraf/teks. Pada musyawarah pemuka adat Lampung tahun 1985, terdapat 4 tanda baca baru yang ditambahkan.[19]
OrtografiPenulisan bĕnah surat konsonanApabila kombinasi bĕnah surat vokal dan konsonan berada di atas anak surat, bĕnah surat konsonan ditulis terlebih dahulu.[30] Penerapannya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Penulisan suku kata tertutupPada penulisan suku kata tertutup yang berpola konsonan-vokal-konsonan, diakritik vokal yang normalnya berada di atas anak surat pertama ditempatkan ulang agar berada di antara anak surat pertama dan kedua.[30] Penerapannya dapat dilihat sebagaimana berikut:
Contoh teksBerikut adalah sebuah cerita berbahasa Lampung mengenai Harun Ar-Rasyid pada kertas Eropa dari koleksi Koninklijke Joh. Enschedé (1907).[31]
Berikut adalah pi'il pusanggiri, pantun yang sering digunakan untuk menggambarkan sifat bangsa Lampung.[32] Galeri
Lihat pulaCatatan
Rujukan
Daftar pustaka
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Lampung script.
|