Talas belitung
Talas belitung, kimpul atau bentul (Xanthosoma sagittifolium) adalah spesies tumbuhan berbunga tropis dari genus Xanthosoma yang menghasilkan umbi-umbian berpati yang dapat dimakan. Tanaman ini termasuk suku talas-talasan (Araceae) yang berasal dari Amerika tropis, tetapi kini telah tersebar di berbagai bagian dunia.[5] Di Bolivia, tanaman ini disebut dengan walusa, di Kolombia disebut dengan bore, di Kosta Rika tiquizque atau macal, di Meksiko mafafa, di Nikaragua quequisque, dan di Panama otoy. Dibawa masuk ke Asia pada sekitar abad ke-19,[5] tanaman ini dikenal di Indonesia dengan pelbagai nama seperti kimpul, génjlong (Btw., Sd.); kimpul, glitung, bisono, busil, bentul, bothe, linjik (Jw.); dilago gogomo (Hal.).[6] Ada pula saudaranya dari genus yang sama yaitu X. violaceum. Tangkai dan daunnya berwarna ungu, dan karenanya ia disebut kimpul hideung atau kimpul wulung (Sd., Jw.) PengenalanHerba yang menahun, dengan semacam umbi palsu (Ingg., corm) yang tumbuh di bawah tanah, darinya muncul anak-anak umbi (Ingg., cormels; Jw., enthik) yang dapat dipanen nantinya. Daun-daun berukuran besar, menerna, bertangkai panjang yang muncul tegak dari (umbi) batang, helai daun bentuk perisai seperti mata panah, tinggi hingga 1-2 meter.[7] Perbungaan tersusun dalam tongkol yang terlindungi oleh seludang, 12-15 cm panjangnya, terbagi dua atas seludang bagian atas yang terbuka dan bagian bawah yang menggembung dan tertutup. Tongkol sedikit lebih panjang dari seludang, dengan bunga-bunga betina duduk pada bagian bawah, bunga-bunga jantan pada bagian atas, di antarai oleh bagian berisi bunga-bunga steril; tongkol jarang menjadi buah. Anak-anak umbi (enthik) biasanya dapat dipanen setelah berumur 9-11 bulan.[7] Orang suka sekali mencampurkan antara talas dengan kimpul ini. Kimpul dan talas (biasa) dibedakan berdasarkan bentuk umbi dan daun. Talas belitung ini dimakan umbi anaknya, dan talas bogor dimakan umbi induknya. Umbi talas belitung rasanya agak berlendir, dan tak seenak talas bogor.[8] Ekologi dan persebaranKimpul diperkirakan berasal dari benua Amerika Selatan bagian utara. Telah dibudidayakan sejak zaman kuno, tanaman ini kemudian menyebar ke Kepulauan Antillen dan Amerika Tengah. Ketika bangsa Eropa tiba di Amerika, talas yang secara lokal disebut tannia atau yautia ini telah ditanam orang sejak wilayah Meksiko selatan hingga ke Bolivia, tetapi kemungkinan lebih intensif ditanam di Kep. Antillen.[7] Pada masa perdagangan budak, talas belitung ini dibawa oleh penjelajah Eropa ke Afrika dan berkembang baik di Afrika Barat, di mana umbinya disukai orang dan menggantikan talas yang telah dikembangkan lebih dulu.[5][7] Belakangan, pada abad ke-19 hingga awal abad ke-20 kimpul menyebar ke seluruh wilayah Oseania dan Benua Asia.[5] Talas belitung tercatat sampai ke Indonesia pada tahun 1864 dari Amerika Tengah.[8] Xanthosoma adalah jenis tumbuhan dari wilayah hutan hujan tropika. Secara alami, tumbuhan ini hidup di bawah naungan tajuk hutan, tetapi dalam kultivasi ia dapat tumbuh baik di lahan-lahan pertanian terbuka dengan sinar matahari penuh.[7] Umumnya Xanthosoma merupakan tanaman wilayah dataran rendah dan membutuhkan rata-rata temperatur harian di atas 21 °C. Curah hujan tahunan rata-rata sekitar 1400 mm, tetapi lebih disukai 2000 mm, yang merata di sepanjang tahun, dengan kelembaban tanah cukup.[5] Meskipun cukup tahan dengan tanah yang mengandung garam,[5] Xanthosoma tidak tahan terhadap penggenangan dan memerlukan tanah yang berdrainase baik.[7] Tingkat naungan dan kadar air tanah dinilai berpengaruh terhadap kadar klorofil total pada daun kimpul. Kombinasi naungan sebesar 75% dan kadar air tanah 40% kapasitas lapangan memberikan hasil terbaik pada peningkatan kadar klorofil.[9] ManfaatKimpul ditanam orang untuk dipanen umbinya, dan juga untuk dimanfaatkan daun-daunnya yang muda sebagai sayuran.[5][6] Sebagai bahan makanan, umbi dapat diolah dengan berbagai cara: direbus, dibakar, dikukus, dibuat bubur atau digoreng dan digunakan dalam sup, sup kental, atau dibuat salad; dapat juga diolah menjadi tepung untuk dijadikan kue-kue kering atau puding.[5] Kimpul baik pula untuk dijadikan keripik.[10] Data produksi kimpul di Indonesia tahun 2013 adalah sekitar 825 ton, yang diperoleh dari lahan seluas 55 ha yang tersebar di 6 kabupaten/kota (Deptan dalam Jatmiko & Estiasih 2014).[11] Dalam pengobatan tradisional di Malaysia, daun-daun besar dari Xanthosoma nigrum dimanfaatkan sebagai selimut untuk pasien yang mengalami demam karena rasanya yang dingin dan memberikan kenyamanan yang temporer. Pasien juga berendam dengan air rebusan tanaman tersebut. Di Palawan, Filipina, getah dari perbungaan digunakan untuk menyembuhkan luka dan sebagai penawar racun untuk gigitan dan sengatan serangga.[5] Di Indonesia, umbi Xanthosoma violaceum dianggap berkhasiat sebagai obat sakit bisul.[12] Kandungan karbohidrat dari kimpul selanjutnya dapat diolah untuk menghasilkan bioetanol[13] KandunganKimpul termasuk salah satu komoditas sumber karbohidrat.[5] Selain itu, umbi kimpul mengandung protein, lemak, vitamin, dan mineral.[11] Daun dan umbi Xanthosoma violaceum mengandung saponin dan flavonoida; daunnya juga mengandung alkaloida dan polifenol.[12] Umbi kimpul juga ditengarai memiliki kandungan senyawa bioaktif diosgenin, golongan saponin alami yang banyak ditemukan pada kacang-kacangan dan umbi Dioscorea spp. Senyawa diosgenin diketahui bermanfaat sebagai anti kanker, menghambat proliferase sel, dan memiliki efek hipoglikemik. Selain itu umbi kimpul juga mengandung Polisakarida Larut Air (PLA) yang berfungsi untuk melancarkan pencernaan, meningkatkan populasi bifidobacterium dalam usus besar. Selain mengandung senyawa gizi, kimpul juga mengandung senyawa anti gizi yaitu kalsium oksalat. Kalsium oksalat inilah yang menyebabkan rasa gatal ketika dikonsumsi. Densitas kristal kalsium oksalat pada umbi diperkirakan lebih dari 120 ribu/cm, sedangkan dalam daun lebih tinggi lagi.[11] KulinerDi Brazil, daunnya dijual dengan nama taioba. Umbinya disebut nampi atau malanga, juga digunakan dalam kuliner di berbagai negara. Tanaman ini sering ditanam secara tumpang sari di wilayah reforestasi untuk mengendalikan gulma dan menyediakan naungan bagi pohon yang sedang dalam masa awal pertumbuhan. Dalam masakan Puerto Riko, tanaman ini disebut dengan malanga atau yautía. Pada pasteles-nya Puerto Riko, yautia digerus bersama dengan pisang hijau menjadi adonan untuk dioleskan ke daging babi atau ham, dan direbus di dalam daun pisang. Di Karibia Spanyol, tanaman ini dan umbinya disebut yautia, dan biasanya dijadikan masakan rebusan, sup, atau cukup direbus biasa seperti kentang. Tanaman ini digunakan dalam masakan setempat, pasteles, alcapurrias, sancocho, dan mondongo. Republik Dominika memiliki versi lain dari makanan ini yang juga mengandung daging sapi cincang atau suwiran daging ayam. Pada alcapurrias, umbi tanaman ini juga digerus dengan pisang hijau dan dijadikan gorengan kroket yang mengandung daging sapi cincang atau campuran ham cincang dan daging babi. Sancocho adalah sup dan mondongo adalah masakan rebusan (stew). Yautia juga dikonsumsi sebagai purée. Di Suriname dan Belanda, tanaman ini disebut dengan tayer. Parutan umbinya dipanggang dengan ayam, jus buah, daging asin, dan rempah-rempah untuk dijadikan masakan populer Suriname yaitu pom. Dapat dimakan bersama dengan nasi atau roti, dan makanan ini umum disajikan dalam acara kumpul keluarga atau aktivitas lain. Catatan taksonomisSebagian penulis membedakan Xanthosoma violaceum (sin. Xanthosoma nigrum) yang perawakan tumbuhannya berwarna keunguan atau kehitaman (yakni, kimpul hideung) dari Xanthosoma sagittifolium yang keputih-putihan (kimpul bodas, kimpul hejo).[5] Namun umumnya taksa yang pertama dianggap sebagai sinonim yunior dari taksa yang akhir.[3] Referensi
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Xanthosoma sagittifolium.
|