Share to:

 

Teologi kerajaan


Teologi Kerajaan adalah sebuah bentuk teologi yang menyoroti posisi seorang raja dalam hubungan dengan ketaatan terhadap Tuhan.[1] Konsep ini secara khusus berkembang dalam kajian terhadap Alkitab, khususnya pada bagian Perjanjian Lama.[1]

Kedudukan raja di Asia timur kuno sering kali diposisikan sebagai sosok yang harus disembah.[2] Dalam teologi kedudukan tersebut merupakan persoalan utama dalam teologi kerajaan.[1] Dalam tradisi Israel, teologi kerajaan muncul sehubungan dengan fakta bangsa Israel adalah bangsa teokrasi yang diperintah oleh seorang raja.[3] Maka, teologi kerajaan menekankan peran raja sebagai pemegang mandat Allah atas umat.[1] Seperti Allah menghendaki suatu pemerintahan yang adil.[4]

Penantian seorang raja yang adil mengarah pada pengharapan mesianik yang memainkan peran besar dalam hal kepercayaan umat para nabi pada zaman raja-raja.[1] Sejarah tersebut dimulai kurang lebih lima abad dari pergumulan konteks para nabi di Kanaan.[1] Dimulai dari pengangkatan Saul pada tahun 1020 SM dan diakhiri dengan kematian Yoyakhin pada masa pembuangan di Babel pada tahun 550 SM.[1]

Melalui kehadiran raja dan kerajaan kehidupanan umat akan berhubungan dengan kultus, solidaritas keumatan dan bangsa, dan masalah-masalah sosial yang dipengaruhi kebudayaan.[5] Dampak pendirian Kerajaan dapat dilihat dari sisi positif yang membangun, dan sisi negatif yang menimbulkan kemerosotan terhadap totalitas kehidupan umat.[5] Dampak tersebut tergantung pada ketaatan sang raja terhadap Yahweh yang mengangkat dan meneguhkan raja lewat orang pilihannya maupun rakyat.[2][5]

Peta Bagian Israel

Terminologi Raja

Terminologi raja מֶלֶךְ adalah perbandingan menurut Theological Dictionary of the Old Testament,[6] New International Dictionary of Old Testament and Exegesis[7] dan A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament.[8]

Simbol Raja

Kata Raja dalam bahasa Ibrani מֶלֶךְ artinya raja, menjadi raja, memerintah, atau menjadi ratu (lihat ratu Sebah dari Persia dalam 1 Raja-Raja 10, Mazmur 45:9, dan Yeremia 7:18). Bentuk kata benda feminim kata 'melek' berubah menjadi 'malak' dan diterjemahkan sebagai 'kerajaan'. Sementara itu, bentuk kata benda maskulin dari kata 'melek' berarti 'raja'. Kata melek dipakai secara meluas dalam dunia semetik barat, seperti bahasa Ugarit, Moab, Mesha, dan Akkadia. Pada awalnya, kata raja ditemui dalam budaya Mesir, Mesopotamia, Asyur, Babilonia, Kanaan, Palestina, Edom, Moab, dll.

Dalam Targum kata raja, seperti dalam Keluaran 1: 8, dan Keluaran 2: 37, disebut raja di atas segala raja. Di Persia kata 'melek' diterjemahkan raja atau kerajaan. Di Akadian kata malak merupakan penasihat yang mengangkat raja. Kata benda “raja”, muncul dari akar kata malak yang berkaitan erat dengan monarki pemerintahan yakni kota, tanah, teritorial. Formulasi kerajaan pertama dalam kitab suci ditemukan dalam Habakuk 9: 2, dan 1 Samuel 8: 11-17. Maka, metaphorik dari kata 'melek' juga digunakan bagi Allah Israel. Selanjutnya diadopsi oleh Mesopotamia, Mesir, Suriah, misalnya 2 Samuel 3: 21 dan Nehemia 2: 3. Dengan demikian, penggunaan kata raja dalam Perjanjian Lama maupun dalam budaya sekitar Kanaan merupakan sebuah totalitas pemerintahan kerajaan seyogianya imam merangkap raja. Kerajaan berkaitan erat dengan raja dan sistem pemerintahan.

Selanjutnya kata benda 'malak' dalam Mikha 5: 1 dan Yesaya 14: 5, secara negatif mengacu pada pemerintahan monarki. Walaupun tidak ada konteks spesifik yang menunjukkan makna negatif terhadap kata malak. Maka, dalam kebudayaan dunia pemerintahan saat itu kata melek diartikan sebagai pemerintahan sebagai seorang raja, menjadi raja, dan menyebabkan pemerintahan. Dalam kebudayaan Asia Timur kuno kata kerja malak berarti (raja) memberi nasihat, sedangkan bentuk kata kerja malak mengarah pada kerajaan Yahweh.

Konsep Raja Dan Kerajaan Dalam Budaya Timur Kuno

Perhatian khusus Asia Timur kuno terhadap keadilan sosial adalah latar belakang posisi raja.[9] Bangsa-bangsa di Asia Timur kuno mempunyai kepercayaan bahwa masalah keadilan dan masalah sosial mempunyai hubungan yang erat dengan ilah-ilah misalnya, di Mesopotamia dikenal Dewa Utala yang Dewa Matahari dan keadilan.[9] Selain itu, Dewa Nase yang peka terhadap penindasan.[9] Di Mesir, Dewa Maad sebagai dewa peraturan dan keadilan.[9] Dewa ini mendelegasikan tugas pada Firaun yang disebut penjelmaan dewa Maad.[9] Oleh karena itu, raja mempunyai kuasa untuk menerapkan undang-undang kepada rakyat termasuk peraturan yang berhubungan dengan keadilan sosial.[9] Selain Firaun, raja Hamurabbi dianggap sebagai jelmaan Dewa Shamash (dewa matahari di Babilonia) yang menerima kuasa mutlak untuk menetapkan dan menerapkan undang-undang.[9]

Ketika raja menjelmaan menjadi dewa, maka raja mempunyai kuasa mutlak atas penetapan dan pelaksanaan undang-undang.[9] Raja juga disebut sebagai anak Allah secara biologis.[9] Raja tidak berada di bawah hukum, melainkan berada di atas hukum.[9] Bahkan para pembantu raja pun tidak terjangkau oleh hukum.[9] Hukum-hukum hanya ditujukan pada rakyat jelata.[9] Dalam tradisi Yerusalem, jabatan raja dikombinasikan dengan jabatan imam.[9] Menurut tradisi Yebus, raja dianggap bukan hanya pemimpin politis melainkan juga pemimpin kultus.[9]

Bukti-Bukti Arkeologi

Beberapa penemuan para Arkeolog yang menguatkan keterangan Alkitab, misalnya penemuan benteng kecil di kota Gibeah ibu kota kerajaan Saul, benteng pertahanan Salomo di Megido dan sisa-sisa bangunan di Ezion Geber, dan di Laut Merah.[1] Selain itu, pelabuhan, tambang, galangan, kapal dagang Salomo di Ezion Geber, bait Allah di Suriah dan Kanaan dan perabotan kerajaan Salomo seperti yang diuraikan dalam 1 Raja-raja.[1][10]

Prasasti di Moab

Selain itu, ditemukan tulisan-tulisan kuno tentang sejarah kerajaan Israel dalam hubungan bilateral saat itu, seperti di Mesir, Asyur dan Babel (2 Raja-raja 1: 1, 3:4).[1] Selanjutnya, batu prasasti di Moab yang didirikan oleh Raja Mesha.[1][1] Sementara di Palestina ditemukan dua prasasti yang tertulis dalam bahasa Ibrani Siloam yang ditulis oleh para penggali saluran air pada zaman raja Hizkia (2 Raja-raja 20: 20).[1] dan surat-surat dari Lakhesis yang merupakan korespondensi antara para perwira tentara Yehuda.[1] Ketika bangsa Israel mempertahankan kota Lakhis dan Yerusalem dari serangan kerajaan Babel.[1] Selanjutnya penelitian arkeologi bekas reruntuhan kota Samaria kuno yang dibangun oleh raja Omri ditemukan beberapa hiasan gading.[1] Tetapi perhiasan gading itu diduga berasal dari istana raja Ahab (pengganti raja Omri pada abad 9 SM (1 Raja-raja 22: 39).[1]

Konsep Raja Dan Kerajaan

Kronologi Dan Perkembangan Pemilihan Raja

Raja Daud
Raja Israel
Patung Daud oleh Nicolas Cordier, di basilica Santa Maria Maggiore, Roma
BerkuasaYehuda 1010 SM-1003 SM; Yehuda dan Israel 1003-970 SM
PendahuluSaul (Yehuda), Ish-bosheth (Israel)
PenerusSolomo

Kebangkitan sejarah Israel merupakan latar pembentukan monarki Israel.[11] Kedaulatan Raja Daud merupakan titik awal dari periode kedua dalam perkembangan Yahwisme, sejak kerajaan Saul yang terlalu singkat.[11] Maka pemerintahan Raja Daud disebut masa transisi.[11] Perubahan yang secara mutlak dilakukan oleh raja Daud berdasarkan sifat-sifat pribadinya sebagai seorang pemimpin.[9] Status Raja Daud lebih tinggi dibanding seorang hakim.[9]

Selanjutnya raja Salomo, keadaan berubah secara radikal.[3] Bangsa Israel yang sebelumnya memiliki sistem semi nomadis atau pertanian menjadi kerajaan modern yang sangat kuat.[3] Banyak kota-kota dan benteng dibangun dan Yerusalem sebagai ibu kota (1 Raja-raja 9: 15).[3] Kerajaan diperlengkapi perangkat kerajaan seperti pejabat istana, tentara dengan kereta kuda, dan pasukan sewaan.[9] Dalam aspek materi, pembangunan tambang emas, sistem pajak, industri dan perdagangan yang berkembang luas.[9] Dalam aspek seni, kesenian dan ilmu pengetahuan berkembang dengan cepat.[9]

Pengaruh perkembangan atas agama Israel sangat revolusioner.[3] Israel mempelajari kepustakaan mazhab hikmat, sehingga mereka menjadi sadar akan unsur kemanusiaan universal dan perbendaharaan pemikiran manusia.[9] Berdasarkan perkembangan itu, Yahweh dipandang sebagai Tuhan seluruh umat manusia.[9] Sepert teori Sumber Y Yahwis menggambarkan Yahweh sebagai Allah sejak awal kejadian atau penciptaan.[9] Konsep penciptaan kemudian disesuaikan dari teologi El Elyon di Yebus dan dimasukkan ke dalam struktur keimanan Yahwis, sehingga disadari bahwa semesta alam bergantung pada Yahweh.[9]

Dengan demikian, kerajaan Salomo berkembang sejajar dengan perkembangan negara.[9] Kerajaan dimutlakkan dengan berbagai sumber tradisi dan upacara di Kanaan, Mesir, dan Fenisia, bahkan mendapat warna keagamaan seperti tradisi-tradisi Yebus.[9] Bangsa Israel menekankan beradaan Yahwe sebagai Allah berbeda di negara tetangga yang mengangap raja sebagai oknum ilahi seperti di Mesir dan di Babel, raja mewakili ilah di Babel.[12] Bangsa Israel percaya bahwa raja hanya sebagai anak Allah atau hamba agung Yahweh (Mazmur 2: 7 dan 110).[12] Dalam Mazmur 110, penobatan raja berarti imam sejati.[12] Imam menjadi sumber keadilan yang agung yang menyelamatkan kaum tertindas dan kedamaian.[12]

Peranan Raja Dalam Kultus

Peran raja dalam kultus adalah pengantara Yahweh dengan Israel.[9] Raja berperan sebagai wakil Allah dan bangsa dalam mempersembahkan korban (Mazmur 110: 4).[12] Secara prinsip raja dianggap sebaga imam agung dalam negara.[12] Raja bukan hanya membangun bait suci, tetapi juga memimpin upacara-upacara peresmian bait suci termasuk pembacaan syair-syair dan ratapan (1 Raja-raja 8: 5,14,22,54).[9][13]

Peran raja dalam kultus juga tampak pada pemerintahan yang menyiksa seperti sistem rodi.[14] Kesalahan Daud dan Salomo adalah menyebabkan timbulnya faktor disentegrasi kesatuan bangsa atau kerajaan.[14] Perkembangan dimulai dari kerajaan Rehabeam tahun 928 SM yang diwarnai pergantian raja yang silih berganti.[14] Kemudian runtuhnya kerajaan Yehuda pada masa pembuangan terakhir tahun 582 SM (Yeremia 52: 30).[14] Pada masa pembuangan, para nabi menyuarakan pengharapan mesianik agar mengembalikan eksisitensi serta substansi raja dan kerajaan yaitu menghadirkan kasih, keadilan, dan damai sejahtera dalam totalitas hidup dengan dasar ibadah yang benar pada Yahweh.[14]

Pandang Kitab Terhadap Raja dan kerajaan

Pandangan Sejarah Deuteronomis Terhadap Raja Dan Kerajaan

Kerajaan Daud

Pada Kitab Samuel dan Raja-raja diuraikan tentang pemerintahan Daud dan Salomo.[14] Sesuai sejarah Deuteronomis dalam 2 Samuel 7:11; 23:5 dan teologi Sion dalam Mazmur 132, terdapat sebuah perjanjian kekal antara Tuhan dengan Raja Daud.[14] Tuhan memilih Daud menjadi raja dan membangun kerajaannnya serta memelihara keturunannya.[14] Raja Daud dilihat sebagai anak Allah.[14] Akan tetapi, Raja Daud berada di bawah kuasa Allah dan tindakan yang dilakukan adalah dibawah hukum Allah.[14] Maka, krygma kerajaan Daud adalah ketaatan dan penegakan keadilan dan kebenaran.[14]

Konsep ideologi, Allah sebagai raja, maka Daud sebagai raja berada di sebelah kanan Allah.[14] Seperti sejarah Deuteronomis, berpengharapan akan kehadiran sosok mesianik dalam keselamatan Allah yang holistik atas dunia dan umatNya.[14] Sejarah Deutronomis memaparkan akan totalitas raja, di mana raja turut berperang dalam pendirian kultus, misalnya cerita Daud dan Salomo.[14]

Sementara kerajaan Allah dalam Perjanjian Lama merupakan tema sentral teologi Perjanjian Lama.[14] Di mana konsep raja dan kerajaan bangsa Israel selalu berhubungan erat dengan pemahaman akan kerajaan Allah.[14] Mowinkel melihat bahwa konsep kerajaan Allah terikat dengan kultus dan bentuk-bentuk ritual umat Israel.[15] Menurut N. Lohfink, bahwa konsep kerajaan Allah terikat dengan konsep aplikasi sosial dalam sejarah perjalanan umat Israel.[16] Maka, transformasi pembentukan kerajaan berhubungan erat dengan konsep Yahweh bagi umat.[16] Pembentukan kerajaan tidaklah lepas dari kultus dan mite budaya dunia timur kuno, karena umat bergumul di tengah-tengah budaya tersebut.[16]

Dengan demikian, kultus Israel yang dipengaruhi oleh budaya bangsa lain menerapkan konsep raja dan kerajaan Allah.[14] Di mana umat yang bergumul untuk membangun suatu bentuk kultus dan hukum-hukum yang sesuai dengan keyakinan monoteisme.[14]

Pandangan Sejarah Tawarikh Terhadap Raja Dan Kerajaan

Dalam 1 Tawarikh 10-29 dan 2 Tawarikh 1-9 diuraikan sumber-sumber utama perpecahan kerajaan Israel seperti dalam 1 Raja 12- 2 Raja 25.[14] Cerita-cerita dalam bagian ini ditulis berdasarkan kebudayaan saat itu.[14] Sumber yang lain adalah 2 Tawarikah 10-36, menguraikan narasi dari kitab Raja-raja.[14] Namun Tawarikh lebih fokus pada penonjolan Daud dan Salomo sebagai pendiri kultus.[14] Tawarikh menekanan pada perjanjian Daud.[14]

Berbicara tentang kerajaa Daud dalam Tawarikh berarti penunjukan sebuah kerajaan kekal yang didemonstrasikan oleh Allah dalam memberkati Daud sebagai peerwakilan bangsa Israel (Tawarikh 9: 35-10: 14). Selai itu, peran Daud dalam pembangunan kultus atau peribadahan dan pendirian Bait Suci (Tawarikh 22: 2-19; 29: 1-9; 23: 1-32).[17] Dengan kata lain, Raja Daud hanya diizinkan oleh Allah untuk merencanakan pendirian bait suci, sedangkan yang membangunnya adalah anaknya, Salomo.[14]

Pandangan Nabi-Nabi Terhadap Raja Dan Kerajaan

Yesaya menerima wahyu oleh Benjamin West (1782, Bob Jones University Museum dan Gallery).

Dalam Yesaya 1-39, Hosea, Amos dan Mikha menguraikan keterangan dalam bidang agama, budaya dan sosial bangsa Israel.[18] Nabi Yesaya lebih terfokus pada hubungannya dengan pelayanan pemerintahan para raja (Yesaya 1:1).[18] Sejarah Deuteronomis dan Tawarikh memaknai kembali keadaan masa lampau bangsa Israel dan hadir sesuai konteksnya.[18]

Sikap kritis yang tampak di dalam kalangan profetis para nabi adalah menyatakan keberatannya terhadap aturan–aturan sosial dan agamani yang ditetapkan Salomo.[18] Tindakan raja Yerobeam I yang menaruh patung lembu di kuil Betel dan simbol Yahweh (1 Raja-raja 12: 28), telah memberi jalan pada gerakan sinkretisme sampai masa sebelum pembuangan.[18] Hal ini mengakibatkan perlawanan raja dan nabi yang setia pada Yahweh.[18]

Gulungan Laut Mati - naskah kuno

Dalam masa Nabi-nabi, perkembangan raja dan kerajaan banyak disoroti akibat penyalahgunaan kekuasaan raja yang mengakibatkan kerajaan tercemar, bahkan berdampak negatif terhadap perkembangan kultus dan tindakan praksis sosial umat seperti pembuangan.[19] Maka setelah pembuangan, kerajaan Yahweh dikembalikan melalui tindakan pembebasan dan pemulihan relasi Allah dengan umat, dan rekonsiliasi kerajaan Utara dan Selatan.[19]

Teologi Kerajaan

Konsep malak atau pemerintah di Israel berakar pada sistem politik Kanaan pada abad pertengahan dan abad kemudian.[19] Salah satu asumsi adalah transisi dari masa kepemimpinan kahrismatik militer, Daud kepada dinasti kerajaan dengan administrasi sentral, Salomo.[19] Hal ini menjelaskan bahwa tradisi telah dievaluasi dari masa kerajaan monarkhi Israel berakhir pada periode anarkhi.[20] Sesuai dengan tradisi Deuteronomis dan Tawarikh perkembangan kerajaan Israel merupakan masa yang sakral.[20] Samuel mengakat Saul dan Daud dengan penekanan pada pemilihan Allah dan perjanjian Allah (bdk 1 Samuel 9 and 16).[20] Dalam suku Yehuda menerima legitimasi kudus dari pemilihan Yahweh akan dinasti Daud melalui perjanjian Daud. Oleh karena itu, sangat ditekankan akan ketaatan pada Yahweh (1 Raja-raja 2:4; 3:6; 6:12; 8:25; 1 Samuel 12:14-25; 2 Tawarikh 12:1; 16:7-9; 20:35-37; 21:4-7; 26:16-21).[20]

Allah dalam relasiNya rela menjalin relasi kepada manusia. Allah di dalam keilahianNya tidak dipisahkan dengan umat (1 Tawarikh 13: 9-10).[21] Allah dalam tindakannya yang kudus tidak hanya membuka relasi dalam ciptaanNya, tetapi turut bertindak dan menyertai, misalnya kesuksesan Raja Daud yang diyakini sebagai kuasa Yahweh.[21] Allah di dalam tahtaNya, (1 Tawarikh 17: 20; 2 Tawarikh 2: 5).[21] Sejarah Alkitab dan nabi-nabi melihat bahwa Allah itu nyata dirinya dalam tindakannya (pekerjaannya).[21] Mereka dilihat tidak hanya sebagai inisiator pemberi perintah tentang proses perkembangan sejarah, tetapi nyata dalam pemilihan, pembebasan, penyelamatan.[21]

Raja Daud di antara hikmat dan kebijaksanaan

Monarkhi Israel merupakan fenomena yang kompleks karena tidak hanya berhubungan dengan politik kenegaraan, tetapi juga berhubungan dengan institusi religius.[22] Maka, penekanan substansi raja dan kerajaan perlu fokus pada perkembangan kultus yang terefleksi secara nyata dalam tindakan-tindakan sosial umat baik secara individu, keumatan dan juga solidaritas kebangsaan atau kenegaraan dengan bangsa sekitar.[22] Hal ini merupakan esensi dari pemilihan dan pembentukan raja serta kerajaannya, yang berkaitan erat dengan rencana agung penyelamatan Allah yang bersifat holistik.[22] Orietasi ini digambarkan oleh Eichrodt sebagai efek dari kerajaan tersebut.[22] Adapun efek dari monarkhi Israel adalah pertama Allah yang bertindak lewat raja, kedua adanya perkembangan kehidupan keagamaan.[22] Kekudusan kerajaan sangat penting sebagaimana ditekankan oleh pemikiran Deoteronomis (1 Samuel 8: 7; 12: 12).[20] Dalam Teologi Perjanjian Lama jelas bahwa konsep kerajaan Yahweh adalah sentral dan dasar bagi Perjanjian Lama. Preuss menyatakan bahwa Yahweh disebut sebagai Raja atas segala raja dan juga segala dewa-dewa (Mazmur 47: 3-8).[20] KuasaNya melebihi segala yang ada di bumi (Mzm 103: 19). Dia adalah Raja atas segala bangsa, tetapi Dia juga adalah Raja atas umatNya.[20] Konsep-konsep pengagungan akan Yahweh tidak terlepas dari tindakan kasih setia Tuhan dalam memelihara umatNya yang dilakukan oleh Raja yang dipilih oleh Tuhan.[20]

Lihat Pula

Referensi

  1. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q (Indonesia) Wismoady Wahono. Di Sini Kutemukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2009. Hal.145, 130, 127-143
  2. ^ a b (Indonesia) Robert P. Borrong. Berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 1998. Hal.60-61, bdk 44
  3. ^ a b c d e (Indonesia) David L. Baker. Theologia Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008. Hal.50, 68
  4. ^ (Indonesia) Ch.Barth. Theologia Perjanjian Lama 2. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2008. Hal.62-63
  5. ^ a b c (Indonesia) Dianne Bergant, Robert J. Karris. Tafsir Alkitab Perjanjian Lama. Yogyakarta: Kanisus. 2002. Hal.215
  6. ^ (Inggris) G. Johannes Botterweck, dkk, (ed). king. Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. IX. Michigan: Grand Rapids. 1998.
  7. ^ (Inggris) William. A. Van Gemeren, (ed). king'. New International Dictionary of Old Testament and Exegesis, Vol III Grand Rapids, Michigan: Zondevan. 1997.
  8. ^ (Inggris) Francis Brown, S.R. Driver, and Charles Briggs. king. A Hebrew and English Lexicon of the Old Testament. Oxford, England: Clarendon Press. 1906.
  9. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x y z aa (Indonesia) Th. C. Vriezen. Agama Israel Kuno. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2000. Hal. xviii, 193, 190, 191, 243.
  10. ^ (Indonesia) Lembaga Alkitab Indonesia. Jakarta: LAI. 2010.
  11. ^ a b c (Inggris) Yohanan Aharomi. The Land Of The Bible. London: Burns & Oates. 1926. Hal. 286, 288.
  12. ^ a b c d e f (Inggris) Gerhald von Rad. Theology of The Old Testament. Edinburgh and London: Oliver & Boyd. 1962. Hal. 308-318.
  13. ^ (Inggris) Cynthia Pearl Maus. The Old Testament and The Fine Arts. New York: Hapher & Brother Publisher. 1954. Hal. 225-230.
  14. ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t u v w x (Inggris) John Bright. A History of Israel. Blomsbury Street London: SCM Pres LTD. 1960. Hal. 317-319, 437, 162.
  15. ^ (Indonesia) H.h.Rowley. Worship in ancient Israel. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. Hal. 153.
  16. ^ a b c (Indonesia) Saut Hamonangan Sirait. Politik Kristen di Indonesia: suatu tinjauan etis. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2006. Hal. 235.
  17. ^ (Inggris) Paul R. House. Old Testament Theology. Illinois: IVP Downers Grove. 1998. Hal 527-528.
  18. ^ a b c d e f (Indonesia) David F. Hinson. Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2004. Hal 140.
  19. ^ a b c d (Inggris) Dr. Paul Heinisch. Theology of The Old Testament. St Paul: North Central Publishing Company. 1955. Hal 311-315.
  20. ^ a b c d e f g h (Inggris) Horst Dietric Preuss. Old Testament Theology Vol 1. Edinberg: T&T Clark. 1991. Hal 154, 155-159.
  21. ^ a b c d e (Inggris) Roy B. Zuck, ed. Eugene H. Merrill, Darrell L. Bock. A Biblical Theology of the Old Testament. Chicago: Moody Press. 1991. Hal 159-160, 161.
  22. ^ a b c d e (Inggris) Walter Eichrodt. Theology of the Old Testament Vol 1. Bloomsbury Street, London: SCM Press LTD. 1961. Hal 436, 452-456.
Kembali kehalaman sebelumnya