Thaksin ShinawatraThaksin Shinawatra (bahasa Thai: ทักษิณ ชินวัตร, IPA: [tʰáksǐn tɕʰinnawátⓘ; lahir 26 Juli 1949) adalah seorang politikus Thailand. Ia adalah Perdana Menteri Thailand dari tahun 2001 hingga 2006 dan Ketua Partai Thai Rak Thai yang populer. Pada 4 April 2006, menyusul protes atas dirinya dan pemilu sepihak yang dimenangi partainya secara mayoritas,[3] ia menyatakan mundur dari jabatannya sebagai perdana menteri. Meskipun begitu, ia masih akan terus menjabat hingga penggantinya dilantik. Ia lalu digulingkan lewat sebuah kudeta pada 19 September 2006 yang dilaksanakan oleh angkatan bersenjata Thailand. Shinawatra saat itu sedang berada di Amerika Serikat untuk menghadiri Sidang Umum PBB. Sebelum terjun ke dalam dunia politik, Thaksin adalah pendiri Shin Corporation yang salah satu bagian dari perusahaannya adalah operator telepon seluler terbesar Thailand Advanced Info Service. Ia juga adalah orang terkaya di Thailand. Ia menikah dengan Khunying Potjaman Shinawatra (Damapong) dan ayah tiga anak: Panthongtae, Pinthongtha, dan Praethongtharn. BiografiThaksin lahir di rumah kayu bertingkat dua di depan pasar di Desa Sankamphaeng di provinsi Chiang Mai (sebelah utara Thailand) pada 26 Juli 1949. Ia anak seorang pedagang di pasar dan tetap tinggal serta bersekolah di desa itu hingga usia 15 tahun. Ia masuk Monfort College di Kota Chiang Mai. Karena usianya, dia terpaksa langsung masuk ke kelas III. Di sekolah itu, ia menghadapi persoalan. Ia tidak pernah belajar bahasa Inggris, padahal di sekolah itu bahasa Inggris diajarkan sejak kelas I. Terpaksalah dia belajar ekstra keras hingga akhirnya dapat menamatkan sekolah dengan baik. Meskipun dikenal sebagai murid yang pandai, tetapi ia sama sekali bukan seorang kutu buku. Ia sempat menajamkan naluri bisnis dari keluarga terutama dari ayahnya yang mengelola warung kopi dan kebun buah-buahan. Setelah menamatkan sekolah menengah atas (SMA), ia masuk Akademi Kadet Polisi dari angkatan di Kelas 26 dan lulus yang pertama (1973) dengan nilai yang terbaik dan menjadi seorang polisi. Setahun kemudian, dia memperoleh beasiswa dari pemerintah untuk mengambil gelar S-2 untuk jurusan peradilan (Criminal Justice) di Eastern Kentucky University (Amerika Serikat) dan lulus tahun 1975. Tahun 1978, ia kembali ke Amerika Serikat untuk mengambil S-3 di Sam Houston State University. Dalam periode ini Thaksin bertemu dan menikah dengan Potjamarn Damapong dan belajar komputer. Sekembalinya ke Thailand, dia meneruskan karier di kepolisian. Bahkan, ia membantu dan memodernisasi gudang data (database) kejahatan yang dimiliki polisi serta mengembangkan penggunaan komputer dalam memproses nomor mobil. Bersama isterinya, pada tahun 1982, ia mendirikan perusahaan komputer. Karena ia bertugas di kepolisian, perusahaan dikelola sepenuhnya oleh istrinya. Perusahaan itu menyewakan komputer kepada instansi-instansi pemerintah dan secara bertahap berkembang menjadi Perusahaan Komputer Shinawatra. Tahun 1987, dalam usia 38 tahun, Thaksin yang berpangkat Mayor Polisi mengundurkan diri dari kepolisian dan memusatkan perhatian pada perusahaan. Perusahaannya mulai merambah bidang-bidang baru seperti peralatan signal SOS, radio hiburan untuk digunakan di bus, radio panggil (pager), menjual dan menjadi operator telepon seluler, televisi kabel, dan bisnis satelit. Dengan keluwesan sikapnya dan jaringan pergaulannya yang luas terutama di kalangan pejabat pemerintah, ia pun mampu menjadikan dirinya seorang konglomerat. Perusahaan telekomunikasi yang dimiliki kemudian merambah ke negara tetangga, yakni Laos dan Kamboja. Nama perusahaannya kemudian diubah dari Shinawatra Corp menjadi Shin Corporation pada tahun 2000. Nama perusahaan Shinawatra Satelite juga diubah menjadi Thaicom Satellite. Bersama isterinya, ia menguasai 50% saham perusahaan tersebut, sehingga menjadi orang terkaya di Thailand. Di bawah pemerintahan Perdana Menteri Chuan Leekpai, ia menjabat Menteri Luar Negeri (1994) untuk Partai Palang Dharma. Tahun 1995, ia diangkat menjadi Deputi Perdana Menteri pada pemerintahan Perdana Menteri Nai Banharn Silpa-Archa. Tahun 1997, ia kembali diangkat Deputi Perdana Menteri pada pemerintahan Perdana Menteri Chavalith Yongchaiyudh. Pada tahun 1998, ia mendirikan Partai Thai Rak Thai ("Rakyat Thai Mencintai Sesama Rakyat Thai") dan mulai berkampanye melawan tuduhan korupsi politikus Thai lainnya. Selain juga menjadi anggota parlemen pada tahun tersebut. Pemilu 6 Januari 2001 yang merupakan pertama berlangsung di bawah konstitusi reformis sejak didengungkan tahun 1997 memenangkan partai pimpinannya. Ia pun kemudian diangkat menjadi Perdana Menteri pada 9 Februari 2001. Kepopuleran ketokohannya menghantarkannya menerima mandat kedua kali melalui pemilu 6 Februari 2005. Pada pemilu 2005 tersebut, partai yang dipimpinnya meraih 364 dari 500 kursi parlemen. Berbagai kritikan media yang diarahkan kepadanya ditanggapi dengan sangat sensitif, sehingga menimbulkan suatu jarak yang tidak sehat. Titah atau petuah (suara) Raja Bhumibol Adulyadev diperlukan guna meredam pertikaian berlanjut. Mundur Untuk KembaliPerseteruan antara dirinya dan Partai Thai Rak Thai (TRT) dengan tiga partai oposisi besar (Partai Demokrat, Partai Chat Thai, dan Partai Mahashon) bermula dari kekecewaan kaum kelas menengah pada kepemimpinannya yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan. Dimotori antara lain oleh pengusaha penerbitan pers Sondhi Limthongkul yang membentuk aliansi anti-Thaksin bernama Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD). Sejak Desember 2005, mereka menggelar berbagai aksi demonstrasi. Gelombang unjuk rasa di Bangkok makin marak setelah mantan pemimpin Partai Palang Dharma dan mantan Gubernur Bangkok (Chamlong Srimuang) bergabung dan ikut menuntut Thaksin mundur. Gelombang protes jalanan mencapai puncaknya menyusul terungkapnya kasus penjualan saham perusahaan Shin Corp oleh Phantongtae (anak Thaksin) kepada perusahaan asal Singapura bernama Temasek Holdings, dengan harga 1,9 miliar dollar AS. Dianggap sebagai salah satu aset bangsa bernilai strategis, perusahaan telekomunikasi raksasa milik keluarga Thaksin itu tak seharusnya dikuasai perusahaan asing. Apalagi dibebaskan dari kewajiban membayar pajak penjualan dari transaksi raksasa yang dilakukan. Di bawah tekanan berbagai kelompok yang menuntutnya mundur, Thaksin membubarkan majelis rendah (27 Februari 2006) dan memutuskan menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) yang dipercepat (snap election) pada 2 April 2006. Pemilu yang diselenggarakan tiga tahun lebih cepat dari jadwal sebenarnya ini diyakini bisa membuktikan dukungan mayoritas rakyat terhadapnya, sekaligus membungkam kaum oposisi yang terus menuntutnya mundur. Memang, kemudian ia menang. Partai TRT berhasil meraih 51 persen suara rakyat pengguna hak pilih. Persoalannya, pemilu ini diboikot ketiga partai oposisi utama yang sama sekali tak mengajukan calon-calon legislatornya untuk duduk dalam parlemen yang baru. Seruan boikot juga menghasilkan sekitar 10 juta suara abstain dan tidak sah, kemudian dimenangi partai Thaksin. Akibatnya, pemilu tak mampu menghasilkan para legislator dalam jumlah yang cukup untuk mengisi seluruh 500 kursi yang ada di parlemen. Aksi penggembosan oleh partai-partai oposisi membuat di banyak daerah pemilihan para calon legislator (caleg) TRT maju sebagai calon tunggal. Akibatnya, mereka sulit meraih dukungan sampai 20 persen—jumlah suara minimum yang harus diraih seorang caleg tunggal yang maju tanpa pesaing. Sampai akhir penghitungan suara masih ada 38 kursi wakil rakyat yang kosong. Masih ada juga satu kursi lain yang kosong akibat ada caleg tunggal TRT yang didiskulifikasi. Meski sempat mengklaim memenangi pemilu, Thaksin kemudian menyatakan mundur pada 4 April 2006, sesaat setelah ia beraudensi dengan Raja Bhumibol Adulyadej di Istana Hua Hin. Keputusan mengundurkan diri dilakukan di tengah ancaman PAD untuk melanjutkan aksi-aksi protesnya. Pemilu yang diulang di 39 daerah pemilihan pada 23 April 2006 bertujuan mengisi kursi parlemen yang masih kosong juga tak membuahkan hasil karena tetap diboikot partai-partai oposisi. Pemerintahan yang baru pun tak bisa dibentuk karena menurut konstitusi, parlemen bisa mulai bersidang memilih perdana menteri dan membentuk pemerintahan baru hanya jika seluruh kursinya terisi. Thailand makin tenggelam dalam krisis politik dan konstitusional akibat tak berfungsinya parlemen dan kevakuman kepemimpinan nasional. Titik terang mulai terlihat setelah Raja Bhumibol meminta tiga lembaga peradilan tertinggi, yaitu Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Agung Tata Usaha Negara segera bertindak untuk menyelesaikan krisis. Harapan semakin nyata setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan pemilu 2 April 2006 tidak sah dan memerintahkan diselenggerakan pemilu yang baru. Delapan hakim menyatakan pemilu 2 April itu melanggar konstitusi, sedang enam hakim menyatakan sebaliknya. Mahkamah Konstitusi turun tangan setelah Raja Bhumibol Adulyadej menolak campur tangan. Pada 23 Mei 2006, Thaksin kembali menjabat Perdana Menteri setelah posisinya digantikan Wakil Perdana Menteri Chidchai Wannasathit. Langkah ini dinilai membingungkan dan sekaligus berpotensi menciptakan kerusuhan. Kudeta militer September 2006Pada malam hari 19 September 2006, ketika Thaksin sedang berada di New York City, AS untuk menghadiri Sidang Umum PBB dan berbicara di depan Dewan Hubungan Luar Negeri, sebuah kudeta dilancarkan oleh militer yang dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat Thailand, Jend. Sonthi Boonyaratkalin dan menguasai ibu kota Bangkok. Di Wisma Pemerintah, sekitar 50 tentara memerintahkan sekitar 220 polisi di kompleks itu untuk meletakkan senjata mereka. Pasukan-pasukan juga mengepung stasiun satelit penerima Thaicom yang stasiun televisi pemerintah, Saluran 11. Pagi harinya, 20 September, tank-tank dan kendaraan-kendaraan militer yang dipersenjatai dengan senapan-senapan mesin ditempatkan di Wisma Pemerintah, Plaza Kerajaan dan satuan-satuan pemerintah di sepanjang Rajdamnoen Avenue.[4] Laporan-laporan media massa mencatat bahwa pasukan-pasukan yang ikut serta dalam kudeta ini berasal dari Wilayah Militer Pertama dan Ketiga, Komando Operasi Keamanan Dalam Negeri, Pusat Tempur Khusus dan satuan-satuan Militer di provinsi Nakhon Ratchasima dan Prachin Buri serta bagian-bagian dari Angkatan Laut.[5] Menurut pimpinan kudeta, Panglima AD Sonthi Boonyaratkalin, para pemimpin kudeta telah menahan Wakil PM Chitchai Wannasathit dan Menteri Pertahanan Thammarak Isaragura na Ayuthaya.[6] Pasukan-pasukan yang tersisa yang menolak ikut serta dalam kudeta mengambil sikap netral dan tidak melakukan apa-apa untuk menahan kudeta. Pihak militer, yang menyebut dirinya Dewan Pembaruan Demokratis, mengeluarkan pernyataan, yang menyebutkan bahwa pemerintahan Thaksin telah menghina raja, mencampuri badan-badan pemerintahan, dan menciptakan perpecahan di masyarakat sebagai alasan-alasan kudeta.[7] Dikatakan pula bahwa Raja adalah kepala negara Thailand, dan bahwa pemilu akan segera dilaksanakan untuk memulihkan demokrasi di seluruh negeri. Militer menyebutkan bahwa tindakannya dapat dibenarkan karena korupsi telah merebak dalam pemerintahan Thaksin.[8]
Referensi
Pranala luar |