The Da Vinci Code
The Da Vinci Code adalah sebuah novel detektif misteri karya Dan Brown. Novel ini menceritakan simbolog Robert Langdon dan kriptolog Sophie Neveu setelah suatu peristiwa pembunuhan di Museum Louvre di Paris, ketika mereka menjadi terlibat dalam pertarungan antara Biarawan Sion dan Opus Dei terkait kemungkinan bahwa apakah Yesus Kristus menikahi Maria Magdalena. Judul novel ini antara lain merujuk pada temuan korban pembunuhan pertama di Museum Louvre dengan kondisi telanjang dan posisi seperti Vitruvian Man, gambar terkenal Leonardo da Vinci, serta sebuah pesan tersembunyi yang ditulis di samping tubuhnya dan sebuah pentagram tergambar di dadanya dengan darahnya sendiri. Novel ini mengeksplorasi suatu alternatif sejarah religius dengan titik plot sentralnya yaitu bahwa para raja Prancis dari Dinasti Meroving termasuk dalam garis keturunan Yesus Kristus dan Maria Magdalena, yang mana gagasan-gagasan ini berasal dari The Templar Revelation (1997) karya Clive Prince dan buku-buku karya Margaret Starbird. Novel ini juga merujuk pada The Holy Blood and the Holy Grail (1982) kendati Dan Brown menyatakan bahwa buku tersebut tidak digunakan sebagai bahan penelitian. The Da Vinci Code memicu ketertarikan populer dalam spekulasi terkait legenda Piala Suci (Cawan Suci) dan peranan Maria Magdalena dalam sejarah Kekristenan. Namun novel ini telah dikecam secara luas oleh banyak denominasi Kristen sebagai suatu serangan terhadap Gereja Katolik Roma, dan secara konsisten dikritik karena berbagai ketidakakuratan ilmiah dan historis. Meski demikian novel ini menjadi salah satu buku terlaris[1] di dunia dengan penjualan 80 juta kopi pada tahun 2009[2] dan telah diterjemahkan ke dalam 44 bahasa. Novel ini menggabungkan genre detektif, thriller dan fiksi konspirasi, serta merupakan novel kedua Dan Brown yang menyertakan karakter Rober Langdon: yang pertama yaitu Angels & Demons (2000). Pada bulan November 2004 Random House menerbitkan suatu Edisi Khusus Bergambar dengan 160 ilustrasi. Pada tahun 2006, suatu adaptasi dalam film dirilis oleh Columbia Pictures milik Sony. Ringkasan plotJacques Saunière, kurator Museum Louvre dan Grand Master Biarawan Sion, ditembak mati pada suatu malam di museum tersebut oleh seorang rahib Katolik albino bernama Silas yang melakukannya atas nama seseorang yang hanya dikenalnya dengan sebutan Guru, yang mana berkeinginan untuk menemukan lokasi sebuah barang penting yang disebut "batu kunci" dalam rangka pencarian Piala Suci (Cawan Suci). Setelah jenazah Saunière ditemukan dengan pose Vitruvian Man, polisi memanggil seorang profesor Harvard bernama Robert Langdon yang sedang berada di kota tersebut untuk urusan pekerjaan. Kapten Polisi Bezu Fache memberitahunya bahwa ia dipanggil untuk membantu polisi memecahkan kode rahasia yang ditinggalkan Saunière pada menit-menit terakhir menjelang kematiannya. Pesan tersebut berisi suatu deret Fibonacci yang tidak beraturan. Langdon menjelaskan kepada Fache bahwa Saunière adalah seorang otoritas terkemuka dalam subjek karya seni dewi dan bahwa pentakel yang digambar Saunière dengan darahnya sendiri merupakan suatu kiasan untuk sang dewi dan bukan "pemujaan setan" sebagaimana disampaikan oleh Fache. Sophie Neveu, seorang kriptografer kepolisian, diam-diam menjelaskan kepada Langdon bahwa ia adalah cucu jauh Saunière, dan bahwa Fache berpikir Langdon adalah pembunuhnya karena pesan kakeknya menyebutkan "P.S. Cari Robert Langdon", yang mana telah dihapus oleh Fache sebelum kedatangan Langdon. Neveu merasa gelisah karena kenangan tentang keterlibatan kakeknya dalam suatu kelompok pagan rahasia. Namun Neveu memahami bahwa kakeknya mengharapkan Langdon untuk menguraikan kode tersebut, yang mana temuannya dan Langdon mengarahkan mereka ke sebuah kotak simpanan di Bank Penyimpanan Zürich cabang Paris. Neveu dan Langdon meloloskan diri dari aparat kepolisian tersebut dan mengunjungi bank ini. Dalam kotak simpanan itu mereka menemukan batu kunci yang dicari: sebuah cryptex berupa silinder genggam dengan lima lempeng pemutar yang konsentris dan bertuliskan huruf-huruf. Ketika kelimanya disusun dengan benar maka perangkat tersebut akan terbuka. Saat cryptex ini dibuka paksa, sebuah botol cuka yang tertutup pecah dan melarutkan pesan di dalam cryptex yang tertulis pada papirus. Boks yang berisi cryptex memuat petunjuk-petunjuk tentang kata sandinya. Langdon dan Neveu membawa batu kunci tersebut ke rumah Sir Leight Teabing, seorang teman Langdon dan ahli dalam hal Piala Suci. Di sana Teabing menjelaskan bahwa Piala Suci bukanlah sebuah cawan tetapi sebuah makam yang berisi tulang-tulang Maria Magdalena. Mereka bertiga kemudian meninggalkan negara tersebut dengan pesawat pribadi Teabing, di mana mereka menyimpulkan bahwa kombinasi yang tepat dari huruf-huruf itu adalah "SOFIA", yakni nama pemberian Neveu. Setelah membuka cryptex tersebut, mereka menemukan sebuah cryptex yang lebih kecil di dalamnya, bersama dengan teka-teki lain yang akhirnya mengarahkan kelompok ini ke makam Isaac Newton di Westminster Abbey. Selama penerbangan menuju Britania, Neveu mengungkapkan sumber kerenggangan hubungannya dari sang kakek pada sepuluh tahun sebelumnya. Saat tiba di rumah secara tidak terduga dari universitas, Neveu secara sembunyi-sembunyi menyaksikan suatu ritual kesuburan musim semi yang diadakan di ruang bawah tanah rahasia di dalam rumah kakeknya. Dari tempat persembunyiannya, ia terkejut saat melihat kakeknya berhubungan seks dengan seorang wanita di bagian tengah ritual yang dihadiri oleh para pria dan wanita yang mengenakan topeng dan menyanyikan pujian kepada sang dewi. Ia melarikan diri dari rumah tersebut dan memutuskan hubungan dengan Saunière. Langdon menjelaskan bahwa apa yang ia saksikan adalah suatu upacara kuno yang dikenal dengan istilah Hieros gamos atau "perkawinan sakral". Saat mereka tiba di Westminster Abbey, terungkap bahwa Teabing adalah Guru untuk siapa Silas bekerja. Teabing berharap dapat memanfaatkan Piala Suci, yang diyakininya berupa serangkaian dokumen yang menetapkan bahwa Yesus menikahi Maria Magdalena dan melahirkan keturunan, untuk menghancurkan Vatikan. Ia memaksa Langdon dengan todongan senjata untuk memecahkan sandi cryptex kedua, yang dipahami Langdon adalah "APPLE" ("APEL"). Langdon diam-diam membuka cryptex tersebut dan mengeluarkan isinya sebelum menghancurkannya di hadapan Teabing. Teabing ditangkap oleh Fache yang sekarang mengetahui bahwa Langdon tidak bersalah. Uskup Aringarosa, menyadari bahwa Silas telah dimanfaatkan untuk membunuh orang yang tidak bersalah, bergegas membantu polisi untuk menemukannya. Ketika polisi menemukan Silas bersembunyi di suatu Pusat Opus Dei, ia mengasumsikan bahwa mereka berada di sana untuk membunuhnya, dan ia bergegas keluar, secara tidak sengaja menembak Uskup Aringarosa. Sang uskup dapat terselamatkan tetapi ia diberitahu bahwa Silas ditemukan tewas akibat luka tembakan. Pesan terakhir di dalam batu kunci kedua mengarahkan Neveu dan Lagdon ke Kapel Rosslyn, yang mana pemandunya ternyata adalah saudara Neveu yang telah lama hilang. Dahulu Neveu diberitahu bahwa saudaranya itu telah meninggal saat masih kecil dalam kecelakaan mobil yang juga menewaskan orang tuanya. Penjaga Kapel Rosslyn, yaitu Marie Chauvel Saint Clair, ternyata juga adalah nenek Neveu yang telah lama hilang. Sehingga terungkap bahwa Neveu adalah keturunan Yesus dan Maria Magdalena. Biarawan Sion selama ini menyembunyikan identitas Neveu untuk melindunginya dari kemungkinan adanya ancaman atas hidupnya. Arti sebenarnya dari pesan terakhir itu adalah bahwa Piala Suci dikuburkan di bawah piramida kecil tepat di bawah piramida kaca terbalik (La Pyramide Inversée) Louvre. Di sana juga terdapat "Garis Mawar", implikasi dari "Rosslyn". Langdon memahami bagian terakhir teka-teki tersebut di halaman-halaman terakhir novel ini, tetapi tampaknya ia cenderung tidak ingin memberitahu siapa pun tentang hal tersebut. Ia menelusuri Garis Mawar sampai pada La Pyramide Inversée, di mana ia berlutut di depan sarkofagus tersembunyi Maria Magdalena, sebagaimana dahulu dilakukan oleh para ksatria Templar. Karakter
Rahasia Piala SuciDalam novel ini, Sir Leigh Teabing menjelaskan kepada Sopie Neveu bahwa sosok di sisi kanan Yesus dalam lukisan Perjamuan Terakhir karya Leonardo da Vinci bukanlah Rasul Yohanes tetapi Maria Magdalena. Teabing mengatakan bahwa tidak adanya sebuah piala atau cawan dalam lukisan Leonardo berarti Leonardo mengetahui kalau Maria Magdalena adalah pembawa darah Yesus dan Piala Suci (Holy Grail) yang sebenarnya. Ia menjelaskan bahwa gagasan ini didukung oleh huruf "V" yang dibentuk posisi tubuh Yesus dan Maria Magdalena, yang mana "V" dianggap sebagai simbol perempuan suci. Tidak adanya Rasul Yohanes dalam lukisan tersebut dijelaskan dengan pengenalan bahwa Yohanes juga disebut "Murid yang Dikasihi Yesus", yang mana menjadi sebuah kode untuk Maria Magdalena. Novel ini juga mencatat bahwa skema warna busana mereka dibalik. Menurut novel ini, rahasia Piala Suci (Cawan Suci) yang disimpan oleh Biarawan Sion adalah sebagai berikut:
Menurut novel ini, rahasia-rahasia Piala Suci berhubungan dengan karya Leonardo da Vinci:
ReaksiPenjualanThe Da Vinci Code meraih kesuksesan besar pada tahun 2003 dan penjualannya hanya terkalahkan oleh Harry Potter and the Order of the Phoenix karya J. K. Rowling.[3] Ketidakakuratan sejarahNovel ini mengakibatkan banyak kritik ketika pertama kali diterbitkan karena deskripsi yang tidak akurat terkait aspek-aspek inti Kekristenan serta deskripsi arsitektur, sejarah, dan seni Eropa. Novel ini kebanyakan mendapat ulasan negatif dari kalangan Katolik dan komunitas Kristen lainnya. Banyak kritikus mempermasalahkan tingkat penelitian yang dilakukan Dan Brown saat menulis cerita dalam novelnya. Laura Miller, seorang penulis The New York Times, mencirikan novel ini sebagai "didasarkan pada suatu pemberitaan palsu dengan reputasi buruk", "benar-benar omong kosong", dan "palsu", mengatakan bahwa novel ini sangat didasarkan pada karangan Pierre Plantard, yaitu orang yang menegaskan telah menciptakan Biarawan Sion pada tahun 1956. Para kritikus menuduh Brown memutarbalikkan dan mengarang sejarah. Marcia Ford menulis:
Richard Abanes menulis:
Novel ini dibuka dengan klaim oleh Dan Brown bahwa "Biarawan Sion–sebuah masyarakat rahasia di Prancis yang didirikan pada 1099–adalah organisasi nyata". Penegasan ini diperdebatkan secara luas. Beberapa kritikus mengklaim bahwa Biarawan Sion adalah sebuah hoax yang diciptakan pada tahun 1956 oleh Pierre Plantard. Sang penulis juga mengklaim bahwa "semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen... dan ritual-ritual rahasia dalam novel ini adalah akurat", tetapi klaim ini dibantah oleh banyak pakar akademik dari berbagai bidang.[5] Dan Brown sendiri mengemukakan gagasan bahwa beberapa aspek yang lebih kontroversial adalah fakta di dalam situs webnya, dengan menyatakan bahwa halaman "FAKTA" di awal novel ini hanya menyebutkan "dokumen, ritual, organisasi, karya seni dan arsitektur", tetapi bukan satu pun teori kuno yang dibahas oleh para karakter fiktif, dengan menyatakan bahwa "Penafsiran gagasan-gagasan tersebut diserahkan kepada pembaca". Brown juga menyebutkan, "Adalah keyakinan saya bahwa beberapa teori yang dibahas karakter-karakter ini mungkin memiliki kelayakan" dan "rahasia di balik The Da Vinci Code juga terlalu baik didokumentasikan dan signifikan bagi saya untuk mengabaikannya."[6] Dalam berbagai wawancara pada tahun 2003, ketika mempromosikan novel ini, Brown ditanya bagian-bagian sejarah mana dalam novelnya yang benar-benar terjadi. Ia menjawab, "Mutlak semua itu." Dalam suatu wawancara pada tahun 2003 dengan Martin Savidge dari CNN, ia kembali ditanya seberapa besar latar belakang sejarah dalam novelnya yang benar. Ia menjawab, "99% benar... latar belakangnya semua benar." Elizabeth Vargas, dalam sebuah program spesial ABC News, bertanya apakah novel ini akan berbeda jikalau ia menulisnya sebagai nonfiksi dan ia menjawab, "Saya tidak berpikir itu akan [berbeda]."[7] Pada tahun 2005 Tony Robinson, seorang tokoh dari UK TV, menyunting dan membuat narasi suatu bantahan terperinci argumen-argumen utama Dan Brown dan para penulis buku The Holy Blood and the Holy Grail, yaitu Michael Baigent, Richard Leigh, dan Henry Lincoln, dalam sebuah program bernama The Real Da Vinci Code di TV Britania Channel 4. Program tersebut menampilkan wawancara panjang dengan banyak tokoh utama yang dikutip Brown sebagai "fakta mutlak" dalam The Da Vinci Code. Arnaud de Sède, putra Gérard de Sède, menyatakan dengan tegas bahwa ayahnya dan Pierre Plantard telah menciptakan eksistensi Prieuré de Sion (Biarawan Sion) yang menjadi landasan teori garis keturunan Yesus, katanya: "sesungguhnya itu omong kosong".[8] Timbulnya teori ini diawali dari seorang sejarawan dan rahib Sistersian abad ke-13 bernama Pierre dari Vaux de Cernay yang melaporkan kalau kaum Katar meyakini bahwa sisi 'jahat' dan 'duniawi' Yesus Kristus memiliki hubungan dengan Maria Magdalena dengan menggambarkannya sebagai selir Yesus (dan bahwa 'Kristus yang baik' adalah tidak berwujud dan hadir secara rohaniah dalam tubuh Paulus).[9] Program The Real Da Vinci Code juga menyinggung keraguan mengenai hubungan antara Kapel Rosslyn dengan Piala Suci dan cerita terkait yang lain seperti dugaan keberadaan Maria Magdalena di Prancis. Menurut The Da Vinci Code, Kaisar Romawi Konstantinus I menekan paham Gnostisisme karena menggambarkan Yesus sebagai murni manusia. Novel ini berargumen bahwa Konstantinus ingin agar Kekristenan bertindak sebagai agama pemersatu untuk Kekaisaran Romawi dan ia berpikir bahwa Kekristenan hanya akan menarik bagi kaum pagan jika menampilkan sosok setengah dewa yang serupa dengan para pahlawan pagan. Menurut novel ini, Injil Gnostik menampilkan Yesus hanya sebagai seorang nabi insani, bukan setengah dewa. Oleh karena itu, untuk mengubah citra Yesus, Konstantinus menghancurkan Injil Gnostik dan mempromosikan Injil Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes, yang mana menggambarkan Yesus sebagai sosok ilahi atau semiilahi.[10] Namun demikian Gnostisme tidak menggambarkan Yesus sebagai manusia.[11] Semua tulisan Gnostik menggambarkan Yesus sebagai sosok yang murni ilahi, tubuh manusia Yesus dianggap sebagai suatu ilusi saja (lih. Doketisme).[12] Sekte-sekte Gnostik melihat Yesus dengan cara demikian karena mereka memandang hal-hal materi sebagai sesuatu yang jahat, dan karena itu mereka meyakini bahwa roh ilahi tidak akan pernah mengambil rupa suatu tubuh jasmaniah.[11] Kritik litererThe Da Vinci Code mendapatkan penilaian positif maupun negatif dari para kritikus, dan telah menjadi subjek berbagai penilaian negatif atas penggambarannya mengenai sejarah. Akurasi sejarah dan tulisannya mendapat ulasan negatif dari The New Yorker,[13] Salon.com,[14] dan Maclean's.[15] Janet Maslin dari The New York Times mengatakan, "[The Da Vinci Code] secara ringkas menyampaikan semacam antusiasme ekstrem yang dengannya thriller cerdas yang menyenangkan, pemecahan kode, dan dipenuhi teka-teki ini dapat direkomendasikan. Kata [yang tepat] yaitu wow. Penulisnya adalah Dan Brown (sebuah nama yang akan Anda inginkan untuk mengingatnya). Dalam novel menegangkan yang cerdas dan menyenangkan ini, Mr. Brown mengambil format yang telah ia kembangkan melalui tiga novel sebelumnya dan mengadaptasikannya dengan baik menuju kesempurnaan buku laris."[16] David Lazarus dari San Francisco Chronicle mengatakan, "Kisah ini begitu berliku-liku–semuanya memuaskan, kebanyakan tidak terduga–sehingga berdosalah jika mengungkapkan terlalu banyak alurnya di awal. Anggap saja bahwa jika novel ini tidak membuat jantung Anda berdebar, Anda perlu memeriksa kesehatan Anda."[17] Ketika mewawancarai Umberto Eco dalam sebuah edisi The Paris Review tahun 2008, Lila Azam Zanganeh mencirikan The Da Vinci Code sebagai "sebuah cabang kecil yang aneh" dari novel Eco yang berjudul Foucault's Pendulum. Eco menanggapi, "Dan Brown adalah sebuah karakter dari Foucault's Pendulum! Saya menemukannya. Ia berbagi pesona karakter saya—konspirasi dunia akan Rosikrusian, Mason, dan Yesuit. Peranan Kesatria Templar. Rahasia hermetik. Prinsip bahwa segala sesuatu berhubungan. Saya menduga Dan Brown mungkin bahkan tidak ada."[18] Stephen Fry menyebut tulisan-tulisan Brown sebagai "benar-benar air tinja cair" dan "[tahi] dari jenis terburuk".[19] Dalam suatu obrolan daring pada 14 Juli 2006, ia menjelaskan, "Saya hanya benci semua buku mengenai konspirasi Katolik dan kaum Mason dan Piala Suci dan semua yang [menetes dari bokong]. Maksud saya, ada jauh lebih banyak lagi yang menarik dan memikat hati dalam seni dan dalam sejarah. Hasrat untuk berpikir yang terburuk dari masa lalu dan hasrat untuk merasa lebih unggul atasnya dengan beberapa cara konyol memainkan peran yang paling buruk dan paling malas dalam kemanusiaan."[20] Stephen King mengumpamakan karya Dan Brown sebagai "Lelucon atas Yohanes", dan menyebut literatur semacam itu "ekuivalensi intelektual dari Keju dan Makaroni Kraft".[21] The New York Times, sembari mengulas filmnya berdasarkan novel ini, menyebut novel ini sebagai "buku terlaris Dan Brown tentang bagaimana tidak menulis sebuah kalimat dalam bahasa Inggris".[22] Anthony Lane, seorang pengulas dari The New Yorker, menyebut novel ini sebagai "sampah sejati" dan mencela "kekasaran gayanya yang hancur-hancuran".[13] Ahli linguistik Geoffrey K. Pullum dan yang lainnya mengepos beberapa entri kritis terkait tulisan Dan Brown di Language Log dengan menyebut Brown sebagai salah satu "penata prosa terburuk dalam sejarah sastra" dan mengatakan bahwa "tulisan [Brown] tidak hanya buruk; itu sangat mengejutkan, ceroboh, tanpa dipikirkan, hampir-hampir buruk dengan cerdiknya".[23] Roger Ebert mendeskripsikannya sebagai sebuah "karangan picisan yang ditulis dengan sedikit karunia dan gaya", meskipun ia mengatakan bahwa novel ini "menyajikan suatu plot yang memikat".[24] Dalam ulasannya atas film National Treasure, yang mana plotnya juga terkait berbagai konspirasi kuno dan pemburuan harta karun, ia menulis: "Saya harus membaca karangan picisan seperti The Da Vinci Code sekali-sekali, hanya untuk mengingatkan diri saya sendiri bahwa hidup ini terlalu singkat untuk membaca buku seperti The Da Vinci Code."[24] Gugatan hukumLewis Perdue menuduh Dan Brown melakukan plagiat atas kedua novel karyanya, yaitu The Da Vinci Legacy (1983) dan Daughter of God (2000). Ia berupaya memblokir distribusi buku dan film The Da Vinci Code. Namun Hakim George Daniels dari Pengadilan Distrik AS di New York memutuskan untuk membatalkan gugatan Perdue, katanya, "Seorang pengamat awam biasa yang sewajarnya tidak akan menyimpulkan bahwa The Da Vinci Code secara substansial mirip dengan Daughter of God. dan bahwa "Elemen apapun yang agak mirip berada dalam tingkatan gagasan umum atau hal lainnya yang tanpa perlindungan."[25] Perdue mengajukan banding, namun Pengadilan Banding AS Sirkuit ke-2 menguatkan keputusan awal tersebut dengan mengatakan bahwa argumen-argumen Perdue "tidak berdasar".[26] Pada awal tahun 2006 Baigent dan Leigh mengajukan gugatan terhadap Random House, penerbit karya-karya Brown. Mereka menuduh bahwa sejumlah signifikan bagian dalam The Da Vinci Code menjiplak Holy Blood, Holy Grail sehingga melanggar hak cipta mereka.[27] Selama kasus pengadilan tersebut, Brown mengkonfirmasikan bahwa ia menamakan pakar utama Piala Suci dalam ceritanya dengan nama Leigh Teabing, yaitu anagram dari "Baigent Leigh", di hadapan dua penggugatnya. Untuk menanggapi dugaan bahwa Henry Lincoln juga disebut dalam novel ini—karena ia memiliki masalah kesehatan yang menyebabkan kepincangan parah—sebagaimana karakter Leigh Teabing, Brown menyatakan bahwa ia tidak menyadari kalau Lincoln sakit dan korespondensi tersebut merupakan suatu kebetulan.[28] Karena Baigent dan Leigh menyajikan kesimpulan mereka sebagai penelitian sejarah, bukan sebagai fiksi, Hakim Peter Smith yang memimpin persidangan menganggap bahwa seorang novelis seharusnya bebas menggunakan ide-ide tersebut dalam suatu konteks fiksi, dan memutuskan untuk membatalkan gugatan Baigent dan Leigh. Smith juga menyembunyikan suatu kode rahasia dalam putusan tertulisnya, dalam bentuk huruf-huruf tercetak miring yang tampaknya acak, di mana sepertinya menguraikan suatu pesan. Smith mengisyaratkan bahwa ia akan mengkonfirmasi kode tersebut jika seseorang dapat memecahkannya.[29] Baigent dan Leigh mengajukan banding ke Pengadilan Banding Inggris dan Wales, tetapi tidak berhasil.[28] Pada bulan April 2006 Mikhail Anikin, seorang sejarawan seni dan ilmuwan Rusia yang bekerja sebagai peneliti senior di Museum Pertapaan di Sankt-Peterburg, menyatakan niatnya untuk mengajukan terhadap Dan Brown dengan anggapan bahwa ia adalah orang yang menciptakan frasa yang digunakan sebagai judul novel ini dan salah satu gagasan terkait lukisan Mona Lisa yang digunakan dalam alur ceritanya. Anikin menafsirkan Mona Lisa sebagai suatu alegori Kristen yang terdiri dari dua citra, Yesus Kristus ditampilkan pada setengah kanan gambar dan Perawan Maria membentuk setengah kirinya. Menurut Anikin, ia mengungkapkan gagasan ini kepada sekelompok ahli dari Museum Houston dalam suatu pameran pada tahun 1988 oleh René Magritte di Museum Pertapaan; dan ketika salah seorang dari mereka meminta izin untuk menyebarkannya ke seorang teman, Anikin mengabulkan permohonan tersebut dengan syarat bahwa namanya harus disebutkan di dalam buku apa pun yang menggunakan penafsirannya itu. Anikin akhirnya melakukan kompilasi penelitiannya ke dalam Leonardo da Vinci or Theology on Canvas, sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 2000, tetapi The Da Vinci Code yang diterbitkan tiga tahun kemudian tidak menyebutkan nama Anikin dan sebaliknya menyatakan bahwa gagasan tersebut merupakan suatu "opini terkemuka dari sejumlah ilmuwan".[30][31] Parodi
FilmSony Columbia Pictures mengadaptasi novel ini ke dalam film, dengan skenario yang ditulis oleh Akiva Goldsman, dan sutradara peraih Academy Award, Ron Howard. Film ini dirilis pada 19 Mei 2006, dibintangi oleh Tom Hanks sebagai Robert Langdon, Audrey Tautou sebagai Sophie Neveu, dan Sir Ian McKellen sebagai Sir Leigh Teabing. Selama akhir pekan pembukaannya, para penonton bioskop diperkirakan menghabiskan sekitar $77 juta di Amerika, dan $224 juta di seluruh dunia.[32] Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luarWikiquote memiliki koleksi kutipan yang berkaitan dengan: The Da Vinci Code.
|