Share to:

 

Visum et repertum

Visum et repertum disingkat VER adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik (Lihat: Patologi forensik) atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia.

Visum et repertum kemudian digunakan sebagai bukti yang sah secara hukum mengenai keadaan terakhir korban penganiayaan, pemerkosaan, maupun korban yang berakibat kematian dan dinyatakan oleh dokter setelah memeriksa (korban).

Definisi

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk jamaknya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi, visum et repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan. Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya". Visum et repertum merupakan laporan ahli dan sambil menunjuk LN 1937 -380 RIB/306[1] melalui ketentuan Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c KUHAP. Selanjutnya, permintaan keterangan ahli dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli yang bersangkutan membuat “laporan” yang berbentuk “surat keterangan” atau visum et repertum. Dalam praktik pengadilan sepanjang pengalaman penulis maka keterangan ahli dalam bentuk visum et repertum (diatur dalam sataatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22 mei 1937 tentang visa reperta van genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam BAP (Berita Acara Pengadilan).

Adapun pendapat dari para ahli hukum tentang visum et repertum, ialah:

  1. Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum adalah suatu laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.
  2. Menurut pendapat D Tjan Han Tjong visum et repertum merupakan suatu hal yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya tanda bukti (corpus delicti), seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka tubuh si korban merupakan tanda bukti (corpus delicti).
  3. R. Atang Ranoemihardja, pengertian yang terkandung dalam visum et repertum ialah yang “dilihat” dan “ditemukan”, jadi visum et repertum adalah suatu keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan terhadap orang luka atau mayat, dan merupakan kesaksian tertulis[2]
  4. R. Soeparmono, pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata-kata “visual” yaitu melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. Sehingga visum et repertum merupakan suatu laporan tertulis dari ahli dokter yang dibuat berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya.[3]

Dari pengertian visum et repertum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa visum et repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan.

Tujuan visum et repertum merupakan untuk memberikan kepada hakim suatu kenyataan akan fakta-fakta dari bukti-bukti yang ada pada korban atas semua keadaan sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil putusan dengan tepat dengan dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat menjadi pendukung keyakinan hakim.

Jenis Visum et repertum

A. Untuk orang hidup

B. Untuk Orang Mati

Lima bagian tetap VeR

Ada lima bagian tetap dalam laporan Visum et repertum, yaitu:

  • Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.[4]
  • Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
  • Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
  • Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap hasil pemeriksaan, berisikan:
  1. Jenis luka
  2. Penyebab luka
  3. Sebab kematian
  4. Mayat
  5. Luka
  6. TKP
  7. Penggalian jenazah
  8. Barang bukti
  9. Psikiatrik
  • Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana/KUHAP".

Dasar hukum

Dalam KUHAP pasal 186 dan 187. (adopsi: Ordonansi tahun 1937 nomor 350 pasal 1)

  • Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
  • Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya.

Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan dalam KUHAP.

Melalui pendekatan yuridis visum et repertum di dalam Undang-Undang No 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana, menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu kedudukan visum et repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti surat yang kedua alat bukti ini sah menurut hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Berikut analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di indonesia:

  1. Pasal 179 KUHAP
    1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan.
    2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi saksi yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya.
  2. Pasal 180 KUHAP
    1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
    2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
    3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2)
    4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
  3. Pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b
    1) Alat bukti yang sah ialah:
    1. Keterangan saksi
    2. Keterangan ahli
    3. Surat
    4. Petunjuk
    5. Keterangan terdakwa
  4. Pasal 186 KUHAP
    Keterangan ahli sidang pengadilan ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
  5. Pasal 187 KUHAP
    Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
    1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
    2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;
    3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
    4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Berdasarkan analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia tersebut maka kedudukan visum et repertum kendatipun isinya berupa keterangan ahli yang diberikan dibawah sumpah dan di luar persidangan pengadilan, dan kualifikasinya termasuk sebagai alat bukti surat dan bukan alat bukti keterangan ahli.[5]

Akan tetapi apabila visum et repertum dihubungkan dengan Pasal 1 stb. 1937 No. 350 dapat juga dianggap sebagai keterangan ahli dan keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah dalam pasal 184 KUHAP.

Visum et repertum pada perlukaan

Visum et Repertum pada perlukaan

Derajat luka

luka derajat satu: yang tidak menyebabkan gangguan pada pekerjaan luka derajat dua: yang menyebabkan gangguan sementara pada pekerjaan luka derajat tiga: sesuai definisi luka berat pada KUHP

Visum et repertum pada korban kejahatan susila

terdapat beberapa luka pada bagian tertentu. dan terdapat beberapa ciri khusus dalam bagian-bagian tertentu korban. biasanya korban akan mengalami depresi atau tekanan jiwa.

Referensi

  1. ^ Van De Tas, Kamus Hukum Bahasa Indonesia, Cet 2 (Jakarta: Timur Mas,1981) Hal. 363
  2. ^ R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman (Forensic Science), (Bandung: Tarsito, 1981) hal. 18
  3. ^ R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum Et Repertum dalam aspek hukum acara pidana, (bandung: mandar maju, 2002) hal. 98
  4. ^ ketentuan bermeterai sesuai dengan ketentuan UURI No. 13 Tahun 2005 Tentang Bea Meterai (adopsi: Ordonansi materai tahun 1921 pasal 23) semua surat resmi untuk perkara pengadilan harus di atas kertas bermaterai atau bertuliskan “Proyustisia”
  5. ^ Eddy Hiariej, teori hukum pembuktian, (jakarta:erlangga 2012) hal. 107
Kembali kehalaman sebelumnya