Volksraad
Volksraad yang diambil dari bahasa Belanda dan secara harafiah berarti "Dewan Rakyat", adalah semacam dewan perwakilan rakyat Hindia Belanda. Dewan ini dibentuk pada tanggal 16 Desember 1916 oleh pemerintahan Hindia Belanda yang diprakarsai oleh Gubernur-Jendral J.P. van Limburg Stirum bersama dengan Menteri Urusan Koloni Belanda; Thomas Bastiaan Pleyte.[1][2] Pada awal berdirinya, Dewan ini memiliki 38 anggota, 15 di antaranya adalah orang pribumi. Anggota lainnya adalah orang Belanda (Eropa) dan orang timur asing: Tionghoa, Arab dan India. Pada akhir tahun 1920-an mayoritas anggotanya adalah kaum pribumi. Awalnya, lembaga ini hanya memiliki kewenangan sebagai penasehat.[3] Baru pada tahun 1927, Volksraad memiliki kewenangan ko-legislatif bersama Gubernur-Jendral yang ditunjuk oleh Belanda. Karena Gubernur-Jendral memiliki hak veto, kewenangan Volksraad sangat terbatas. Selain itu, mekanisme keanggotaan Volksraad dipilih melalui pemilihan tidak langsung. Pada tahun 1939, hanya 2.000 orang memiliki hak pilih. Dari 2.000 orang ini, sebagian besar adalah orang Belanda dan orang Eropa lainnya. Selama periode 1927-1941, Volksraad hanya pernah membuat enam undang-undang, dan dari jumlah ini, hanya tiga yang diterima oleh pemerintahan Hindia Belanda. Sebuah petisi Volksraad yang ternama adalah Petisi Soetardjo. Soetardjo adalah anggota Volksraad yang mengusulkan kemerdekaan Indonesia. Bahasa Indonesia dalam sidang VolksraadDominasi kolonial pada masa itu hampir mencakup semua aspek, sampai pada forum-forum resmi harus menggunakan Bahasa Belanda, padahal sejak Kongres Pemuda II (1928) bahasa Indonesia disepakati sebagai bahasa persatuan yang menjadi salah satu alat perjuangan kalangan pro-kemerdekaan. Untuk itulah Mohammad Hoesni Thamrin mengecam pedas tindakan-tindakan yang dianggap mengecilkan arti bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Indonesia dalam sidang-sidang Volksraad diperbolehkan sejak Juli 1938. Moeharam Wiranatakoesoemah Tahun 1923, Bupati Bandung, Moeharam Wiranatakoesoemah diangkat menjadi anggota Volksraad. Di hadapan dewan persidangan, ia berpidato dengan panjang lebar, dan menekankan dua permasalahan yang akan dihadapinya. Pertama, mengenai politik di tanah jajahan. Kedua, tentang pergerakan rakyat kaum Pribumi. Dalam soal pajak ia menyatakan, bukan hanya dirinya yang terlalu keberatan, kewajiban membayar pajak membebani pula kaum pribumi yang penghasilannya relatif kecil. Apalagi, iuran pajak tersebut terus mengalami kenaikkan. Baik pajak bumi, maupun pajak-pajak lainnya yang berpengaruh pada kelonjakan harga bahan makanan. Untuk mengetahui berapa besaran pajak yang dibayar oleh kelompok petani itu harus disesuaikan dengan kapasitas garapan yang mereka kerjakan agar tidak terlalu memberatkan (Kaoem Moeda 20 Juli 1923). Raden Otto Iskandar di Nata Otto Iskandar di Nata (Otista) menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) untuk periode 1931-1934, 1935-1938, dan 1939-1942. Pada pembukaan sidang Volksraad/Dewan Rakyat tahun 1931-1932, Otto berpidato dengan keras : "Tetapi saya percaya, bahwa Indonesia yang sekarang dijajah pasti akan merdeka. Bangsa Belanda terkenal sebagai bangsa yang berkepala dingin, hendaknya tuan-tuan bangsa Belanda memilih di antara dua kemungkinan: menarik diri dengan sukarela tetapi terhormat, atau tuan-tuan kami usir dengan kekerasan." Karena pidatonya itu, Otto dipersilahkan oleh ketua Volksraad turun dari mimbar. Otto tak kapok memperjuangkan nasib bangsanya. Dalam sidang lain, Otto kembali menyampaikan pidatonya bahwa Indonesia akan merdeka. "Banyak orang yang mengatakan, bahwa tanpa adanya paksaan, tidak mungkin Nederland mau melepaskan Indonesia, karena memiliki Indonesia itu besar sekali manfaatnya bagi Nederland. Tetapi, biarpun banyak sekali yang mengatakan demikian, saya percaya bahwa suatu waktu bila sudah tiba waktunya, negeri Belanda tentu akan melepaskan Indonesia dengan ikhlas demi keselamatannya." Jahja Datoek KajoPerkecualian berbahasa Indonesia diperoleh Jahja Datoek Kajo, yang menjadi anggota Volksraad pada tahun 1927. Sejak 16 Juni 1927, dalam semua pidato-pidatonya di Volksraad, Jahja selalu menggunakan bahasa Indonesia. Jahja meminta kepada para hadirin yang mau menyela pembicaraannya agar menggunakan bahasa Indonesia. Dia berterus terang bahwa di dalam sidang majelis Volksraad lebih suka dengan bahasa Indonesia karena merasa seorang Indonesier. Pidatonya yang berapi-api dengan bahasa Indonesia di Volksraad membuat wakil-wakil Belanda marah. Atas keberaniannya itu, koran-koran pribumi memberinya gelar "Jago Bahasa Indonesia di Volksraad".[4] TokohTokoh-tokoh yang dikenal aktif di Volksraad antara lain
Lihat pula
Daftar pustaka
Rujukan
|