Wilton Makmur Indonesia
PT Wilton Makmur Indonesia Tbk (atau disingkat Wilton saja) adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: SQMI) yang bergerak sebagai perusahaan investasi, terutama di perusahaan-perusahaan pertambangan, pengolahan dan pemrosesan emas. Berkantor pusat di Harco Mangga Dua, Jl. Mangga Dua Raya, Jakarta Barat,[1] perusahaan ini telah beberapa kali mengganti nama dan bidang usaha yang digelutinya. Manajemen
Pemegang saham
Anak usaha
PT Wilton Wahana Indonesia memiliki konsesi pertambangan emas seluas 2.878 ha di Desa Mekarjaya, Ciemas, Cihaur, Kecamatan Ciemas dan Kecamatan Simpenan, dari 2010-2030 menurut Izin Usaha Pertambangan (IUP). Sedangkan PT Liektucha memiliki konsesi serupa seluas 200 ha di Blok Pasir Manggu, Desa Mekarjaya, Kab. Ciemas dari 2008-2028 menurut IUP. Kedua konsesi ini berada di Sukabumi, Jawa Barat dan diberi nama "Proyek Emas Ciemas" (Ciemas Gold Project). Selain itu, sedang dibangun fasilitas pemrosesan flotation and carbon-in-leach untuk memproses hasil tambang emas.[1] SejarahSanex Qianjiang MotorWilton awalnya merupakan sebuah perusahaan manufaktur sepeda motor, didirikan pada 21 Maret 2000 dengan nama PT Sanex Qianjiang Motor International.[1] Kelahirannya bermula ketika di akhir 1990-an, muncul tren masuknya sepeda motor dari Tiongkok yang berharga murah (sering disebut mocin atau "motor China").[5] Saat itulah, tiga pengusaha bernama Kong Tju Yun, yang dikenal memiliki merek "Sanex" (juga bergerak di bidang elektronik dan manufaktur),[6][7] bersama Herman Jaya (pengusaha aki) dan Benny Suwandi (seorang leveransir)[8] memutuskan untuk ikut terjun dalam bisnis mocin tersebut. Maka, Kong kemudian menjalin kerjasama untuk memboyong sepeda motor Zhejiang Qianjiang Motorcycle Group Co. Ltd. (Qianjiang Motors), Tiongkok ke Indonesia, dengan target akan diproduksi di dalam negeri. Dibentuklah kemudian PT Sanex Qianjiang Motor, dengan dimiliki secara patungan oleh Kong (lewat PT Sanex International)[9] sebesar 65% bersama Qianjiang Motor, Lion Group (produsen besi Malaysia) dan CPI (pabrik motor Taiwan) sebesar 35%.[10] Perusahaan ini merupakan perusahaan patungan terbesar (saat itu) antara Tiongkok dan Indonesia. PT Ediko Mergantara[11] (yang terafiliasi dengan PT Sanex Qianjiang) kemudian mulai mengimpor 3 jenis[12] motor buatan Qianjiang yang diberi merek "Sanex" pada April 2000, sembari menunggu pabriknya di Modern Cikande Industrial Estate, Cikande, Serang selesai dibangun. Akhirnya, pabrik yang memakan biaya US$ 12 juta tersebut mulai beroperasi pada Juni 2001 dengan produksi 400-500 unit/hari (atau 2.000 unit/bulan) sepeda motor Sanex[13] (kapasitas terpasangnya sekitar 30.000 unit/bulan), memperkerjakan 500-1.000 karyawan dan diresmikan pada 20 Agustus 2001. Dengan cepat, motor Sanex yang ditawarkan dengan lebih murah dibanding sepeda motor Jepang (seperti Honda)[14] merengkuh pangsa pasar yang cukup baik di Indonesia. Motor Sanex pun berkembang dengan memiliki 43 dealer, 273 sub-dealer dengan penjualan mencapai 20.000 unit/bulan,[15] dan memiliki PT Sanex Agung Motor Indonesia (produsen komponen)[10][16] ditambah PT Sanex Motor Indonesia (distributor). Promosi masif pun dilakukan, misalnya dengan promo "Pesta Hoki Rejeki" dari Maret-Juni 2001 untuk meningkatkan penjualannya.[17] Motor-motor produksi Sanex sendiri diklaim memiliki kualitas yang tinggi serta dilengkapi kemudahan sparepart. Sepeda motor yang pernah diedarkan dan diproduksi oleh perusahaan ini, meliputi:[8][13][18][19]
Dalam perkembangannya, untuk menambah permodalan, meningkatkan awareness publik dan memperluas pemasaran, pada 15 Juli 2004 PT Sanex Qianjiang Motor Int'l resmi menjadi perusahaan publik dengan melepas 301.200.003 lembar sahamnya di Bursa Efek Jakarta seharga Rp 250/lembar.[20] Kode sahamnya adalah SQMI (diambil dari singkatan nama Sanex Qianjiang Motor International) yang masih digunakan sampai kini. Sanex Qianjiang juga mengakuisisi PT Duta Kirana Finance Tbk, sebuah perusahaan pembiayaan pada Juni 2004, ditambah kerjasama dengan sejumlah BPR dan PT Bumikusuma Multi Finance untuk membantu masyarakat membeli motor produksinya.[21] Juga di tahun 2005, perusahaan ini menargetkan ekspor sepeda motor ke Taiwan sebanyak 12.000 unit. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, minat masyarakat untuk membeli mocin mulai menurun. Hal ini dapat ditunjukkan dimana pada 2002, dari 60 merek mocin sejenis Sanex, hanya tinggal 10 yang bisa bertahan.[22] Terbukti motor-motor Tiongkok tersebut gagal merebut hati masyarakat Indonesia dengan hanya bisa merebut pangsa pasar 9%. Penjualan motor Sanex pun menurun, dengan hanya memperoleh untung Rp 2-3 juta/bulan di sejumlah dealer-nya.[23] Dari kapasitas produksi yang ada (360.000 unit/tahun atau 72.000 unit/bulan),[24] Sanex Qianjiang kemudian hanya bisa menjual sekitar 12.000 unit pada 2004 (atau pangsa pasar 1%) meskipun menawarkan harga yang lebih murah, sehingga kemudian lebih fokus ke pasar luar pulau Jawa.[20] Bahkan, di tahun yang sama, Qianjiang Motors juga ikut melepas kepemilikannya di perusahaan ini[25] (dan baru kembali ke Indonesia pada 2018 dengan merek anak usahanya Benelli),[26] serta harga sahamnya tercatat sempat menurun.[21] Semakin lama, penjualan motor Sanex semakin melorot, membuat PT Sanex Qianjiang merugi sebesar Rp 7,9 miliar pada 2006[27] dari yang sebelumnya sempat untung Rp 48 juta di November 2004.[21] Pada September 2007, tercatat PT Sanex Qianjiang Motor International Tbk dimiliki oleh PT Sanex International (60%), Smart Luck International Ltd. (15%), dan sisanya publik,[27] dan kapasitas produksinya sudah menurun drastis menjadi 72.000 unit sepeda motor/tahun.[28] Allbond Makmur UsahaDi saat kondisi sulit seperti itu, muncullah isu bahwa PT Sanex Qianjiang akan beralih menjadi perusahaan pertambangan emas dan nikel, namun dibantah. Kemudian, terungkaplah bahwa pemegang saham minoritas di perusahaan ini, Smart Luck (berbasis di British Virginia) hendak mengakuisisi PT Sanex Qianjiang sejak Juni 2007 dengan bernegosiasi bersama Kong.[27][29] Seiring rencana akuisisi ini, pada 9 Januari 2008, nama PT Sanex Qianjiang Motor Indonesia Tbk resmi berganti menjadi PT Allbond Makmur Usaha Tbk. Dalam proses ini juga, usaha perakitan sepeda motor Sanex dihentikan, menjadi fokus pada perdagangan dan pertambangan. Aset-aset eks-Sanex sendiri kemudian dijual,[30] yang terjadi pada 21 Mei 2010 ke PT Pelangi Indah Sejahtera[31] (dimana pabriknya di Cikande kemudian pada 2015 menjadi perakitan mobil DFSK di Indonesia).[32] Pelepasan aset-aset ini membuat Allbond sempat tidak memiliki pendapatan dan merugi sebesar Rp 12 miliar pada 2008, yang menyebabkan auditor memberi tanda disclaimer pada laporan keuangannya.[33] Meskipun demikian, rupanya rencana Smart Luck menjadi pemegang saham pengendali, tidak terwujud dan manajemennya awalnya tetap didominasi orang-orang lama PT Sanex.[31] Ketidakjelasan usahanya pasca melepas bisnis motornya ini sempat membuat saham SQMI disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dari 22 Agustus 2008-24 Agustus 2010.[34] Akhirnya, baru pada 11 Februari 2010, Smart Luck International Ltd. dan Kong (dalam PT Sanex International) melepas kepemilikan mayoritasnya ke Renuka Energy Resources Holdings, sebuah perusahaan investasi di Uni Emirat Arab sebesar 80%.[35] Disusul kemudian dengan tender offer seharga Rp 152/lembar saham dari 12-26 Juli 2010 yang menaikkan kepemilikan Renuka menjadi 82,97%.[34] Fokus usaha Allbond kini benar-benar di bidang pertambangan, khususnya ekspor batu bara ke India. Untuk mewujudkannya, Renuka Energy merencanakan suntikan dana ke Allbond sebesar US$ 2-3 juta dan memiliki konsesi pertambangan batubara sebanyak 13-15 juta metrik ton (MT), dengan rencana produksi 3,9 juta MT sampai tahun 2015.[36] Masuknya Renuka sebagai pemilik baru ini sempat membuat saham SQMI naik harganya pasca suspensi dibuka.[37] Renuka CoalindoTidak lama setelah akuisisi, pada 6 Desember 2010, nama PT Allbond Makmur Usaha Tbk berganti menjadi PT Renuka Coalindo Tbk.[38] Renuka sendiri kemudian langsung terjun dalam bisnis batu baranya dengan mengakuisisi PT Jambi Prima Coal di November 2011, yang memiliki konsesi batu bara sebesar 120,3 juta metrik ton di Sarolangun, Jambi.[39] Untuk membantu ekspornya, perusahaan ini juga merencanakan pembangunan dermaga.[40] Hal ini cukup berhasil meningkatkan kinerjanya, dari merugi Rp 574 miliar menjadi untung Rp 34,64 miliar dari semester pertama 2010-2011.[41] Kemudian, pada 26 Mei 2014, Renuka Coalindo lewat anak usahanya, PT Bandargah Mandiangin Internasional juga membeli PT Surya Global Makmur yang juga memiliki konsesi pertambangan di Sarolangun, Jambi seluas 2.600 ha. Produksi batubara Renuka Coalindo sendiri tercatat pada 2013 sebesar 400.000 ton, yang diniatkan menjadi 5 juta ton pada 2016.[42] Akan tetapi, menjelang pertengahan 2010-an, harga batu bara global pun anjlok, menyebabkan Renuka Coalindo harus merugi pada semester I 2013 dan 2014 yang masing-masing sebesar US$ 1,4 juta dan 942 ribu. Target produksinya pun dipangkas menjadi 600 ribu ton saja pada 2015.[43][44] Namun, kerugian justru meningkat menjadi US$ 1,465 juta pada 2015.[45] Maka, sejak 23 Desember 2016, Renuka berhenti menambang batu bara dengan menjual PT Surya Global Makmur dan PT Jambi Prima Coal ke PT Indobagus Energy. Renuka pun hanya menjadi pedagang (dalam hal ini eksportir) batu bara ke India dengan membeli dari perusahaan lain (diperkirakan 3), menyesuaikan kebutuhan induknya Shree Renuka Sugars Ltd., Mumbai, India. Meskipun demikian, hingga Juni 2017, Renuka tidak kunjung mendapat izin jual-beli tersebut.[46][47] Baru pada akhir 2017, izin itu (IUP-OPK) didapatkan meskipun masih dihambat sejumlah masalah. Laba perusahaan pun melorot dari US$ 759 ribu menjadi 95 ribu pada 2016-2017 akibat penurunan penjualan yang mencapai 92%.[48] Asetnya juga menurun dari US$ 10,94 juta menjadi 479 ribu pada periode yang sama.[49] Kerugian tetap tampak pada 2018, mencapai Rp 848 juta pada kuartal kedua.[50] Wilton Makmur IndonesiaSetelah terus mengalami kerugian, akhirnya pemilik lama memutuskan melepas PT Renuka Coalindo Tbk ke pemilik baru. Lewat skema rights issue, pada 31 Januari 2019, Renuka Coalindo dilepas kepada Wilton Resources Holdings Pte. Ltd. yang memiliki tambang emas, sehingga bisnisnya akan diganti dari pertambangan batu bara ke emas. Wilton Resources diperkirakan akan mengempit 98% dari kepemilkan SQMI dalam rights issue seharga Rp 4,7 triliun ini.[51] Saham publik pun akhirnya sempat hanya menjadi 1% pasca rights issue.[52] Skema pengambilalihan Wilton ini dapat dianggap sebagai backdoor listing, dengan aset emas Wilton Resources diserahkan kepada Renuka Coalindo.[53] Bisnis pengolahan emas Wilton sendiri diperkirakan mencapai 500 ton pada 2019 dan 1.500 ton pada 2022.[54] Beberapa bulan kemudian, nama perusahaan diganti menjadi nama saat ini, yaitu PT Wilton Makmur Indonesia Tbk.[55] Meskipun demikian, bisnis emas SQMI ini bisa dikatakan belum terlalu lancar. Memang Wilton Makmur bisa meningkatkan penjualan dari Rp 0 pada kuartal III 2019 menjadi Rp 3 miliar pada kuartal III 2020, namun masih merugi di periode tersebut sebesar Rp 44 miliar. Hal ini karena fasilitas pabrik pengolahan emas di Ciemas (tambang emas Wilton) masih belum selesai, dan malah terdampak pandemi COVID-19 yang menghentikan pembangunannya, sehingga perusahaan ini hanya bisa menjual emas dore saja (pada 2021 sekitar 1.500 gram/1,5 kg).[56][57] Akibat dari masalah tersebut, tercatat ekuitas Wilton Makmur masih negatif hingga 2021.[58] Di akhir tahun tersebut, Wilton Resources Holdings Pte. Ltd. juga melepas sebagian sahamnya, menyisakan 87,49% kepemilikan.[59] Meskipun demikian, dengan adanya rencana masuknya investor asing dan pembangunan pabrik yang diperkirakan sudah 95% (akan selesai pada awal 2023), maka harga sahamnya sempat meningkat.[60] Rujukan
Pranala luar |