Ketika Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai presiden, banyak orang yang menjangkakan bahwa Boediono akan dipertahankan dalam jawatannya, namun posisinya ternyata ditempati Jusuf Anwar. Menurut laporan, Boediono sebenarnya telah diminta oleh Presiden Yudhoyono untuk bertahan, namun ia memilih untuk berehat dan kembali mengajar. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan perombakan kabinet pada 5 Disember2005, Boediono diangkat menggantikan Aburizal Bakrie menjadi Menteri Koordinator bidang Perekonomian. Indikasi Boediono akan menggantikan Aburizal Bakrie direspon sangat positif oleh pasar sejak hari sebelumnya dengan menguatnya IHSG serta mata wang rupiah. Kurs rupiah menguat hingga dibawah Rp 10.000 per dolar AS. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEJ juga ditutup menguat hingga 23.046 mata (naik sekitar 2 peratus) dan berada di posisi 1,119.417, berhasil menembus level 1,100[8]. Ini kerana Boediono dinilai mampu mengelola makro-ekonomi yang kala itu belum didukung pemulihan sektor riil dan kewangan.
Ketika namanya diumumkan sebagai calon naib presiden mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Mei 2009, banyak pihak yang tidak bisa menerima dengan berbagai alasan, seperti tidak adanya pengalaman politik, pendekatan ekonominya yang liberal, serta bahwa ia juga orang Jawa (SBY juga Jawa). Namun demikian, ia dipilih oleh SBY karena ia sangat bebas kepentingan dan konsisten dalam melakukan reformasi di bidang kewangan. Pasangan ini didukung Parti Demokrat dan 23 parti lainnya, termasuk PKB, PPP, PKS, dan PAN. Pada Pemilihan Umum 8 Julai 2009, pasangan SBY-Boediono menang atas dua pesaingnya, Megawati—Prabowo dan Kalla—Wiranto.
Jabatan politik
Boediono menjadi calon naib presiden 2009-2014 mendampingi calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dideklarasikan 15 Mei 2009 di Sasana Budaya Ganesha kota Bandung. Jika terpilih, dia akan menjadi naib presiden pertama yang berlatar belakang ekonomi dan non-partisan setelah Mohammad Hatta (naib presiden pertama Indonesia). Dalam acara ini dirilis sistem ekonomi moralistik, manusiawi, nasionalistik dan kerakyatan atau kemasyarakatan,[10]. Boediono berangkat ke Bandung dengan menggunakan keretapi[11][12]
Pro dan Kontra
Baik sekarang sebagai naib presiden maupun ketika masih menjawat Menteri Kewangan, Menteri Koordinator Ekonomi, ataupun Gabenor Bank Indonesia, kebijakan Boediono disikapi secara beragam oleh berbagai kalangan.
Pasar diprediksi akan sambut positif pemilihannya sebagai calon naib presiden[13][14][15].
Beberapa pengusaha merasa sangat yakin dengan kemampuan ekonominya, namun masih meragukan kemampuan politiknya[16]
Isu penentangan Boediono sebagai calon naib presiden yang lain adalah bahwa ia tidak mewakili tokoh partai, dan ia bukan pula representasi dari parti politik Islam sebagaimana Gus Dur-Mega, Mega-Hamzah Haz dan SBY-JK [17][18]
Akta Surat Berharga Syariah Negara dan Perbankan Syariah berhasil diwujudkan ketika Boediono menjawat Menteri Koordinator Perekonomian pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.[19][20]
Hendri Saparini, orang dekat Rizal Ramli[21][22], dan analis ekonomi-politik, melihat Boediono, yang pernah menjawat gabenor BI hendak membawa negara Indonesia ke arah neoliberal. Indikasinya, hutang negara secara nominal bertambah Rp 400 trilion dalam tempoh 2004-2009.[23]. Walau demikian, perlu dicatat bahawa sebenarnya nisbah hutangIndonesia turun drastik dari 100% di tahun 1999, 56% di tahun 2004, dan tahun 2009 tinggal 30-35% [24] sekalipun nominal besarnya hutang kurang lebih sama selama tempoh 2003-2008[25]
Pada saat menjawat sebagai Menteri Kewangan pada Kabinet Pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Boediono menyatakan bahwa pada dasarnya subsidi bagi rakyat harus dihapus. Ketika para petani tebu meminta perlindungan, Boediono dengan menyarankan agar petani tebu menanam komoditi lain bila tebu dinilai tidak menguntungkan, ini dinilai sejumlah kalangan bertentangan dengan orientasi kemandirian pangan. Tampaknya pendapat Boediono sejalan dengan Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang menyatakan bahwa subsidi seperti candu.[26]
Kwik Kian Gie mengatakan, Boediono memiliki peran penting dalam proses keluarnya dasar kerajaan terkait penyelesaian BLBI. Dasarnya, Boediono saat itu merupakan menteri kewangan pemerintahan Megawati yang tahu tata cara penyelesaian hutang bagi para obligor BLBI. Dia (Boediono) tahu seluk-beluk ini (BLBI)[27][28]
Sejumlah ekonom seperti Ekonom UGM, Prof. Dr. Mudrajad Kuncoro dan Chief Economist BNI, Tony Prasetiantono, menilai tuduhan kepada Boediono sebagai figur yang mengusung neoliberalisme dan titipan dari pihak asing sangatlah tidak berdasar. Boediono justeru termasuk orang yang dekat dengan almarhum Prof. Mubyarto, tokoh UGM yang terkenal dengan gagasan ekonomi kerakyatan. Sepulang dari lulus PhD di Wharton School, University of Pennsylvania, Boediono turut membantu Prof. Mubyarto mengorganisasi Seminar Ekonomi Pancasila saat Konvokesyen Khas Fakulti Ekonomi UGM di Bulaksumur, September 1980. Ketika hasil seminar ini dibukukan berjudul 'Ekonomi Pancasila' (penerbit BPFE Yogyakarta) tahun 1981, Boediono adalah editor buku tersebut. 'Ekonomi Pancasila' inilah yang bertransformasi dan dikenal sebagai 'Ekonomi Kerakyatan' belakangan ini.[29][30]
Ahli ekonomi Faisal Basri juga menganggap tudingan 'neoliberal' dan 'anak buah IMF' pada Boediono sangat tidak berdasar. Ia justeru menganggap kinerja Boediono dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti di pemerintahan Megawati cukup mengesankan dalam menstabilkan perekonomian Indonesia yang kacau kala itu. Boediono yang masuk kembali ke pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono pasca-rombakan kabinet juga dinilai berhasil menyelamatkan perekonomian Indonesia yang sempat mengalami kemunduran dalam 2 tahun pertama Kabinet Indonesia Bersatu pra-rombakan[31]
Karya dan terbitan
Mubyarto, Boediono, Ace Partadiredja. 1981. Ekonomi Pancasila. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. 2001. Indonesia menghadapi ekonomi global. BPFE. Yogyakarta.
Boediono. Strategi Industrialisasi: Adakah Titik Temu ? Prisma Tahun XV, No.1. (1986)
The International Monetary Fund Support Program in Indonesia: Comparing Implementation Under Three Presidents. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 38(3): 385-392, December 2002.
Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya?. dalam Subiyantoro dan S. Riphat (Eds.). 2004. Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep dan Implementasi. Peneribit Buku Kompas, 43-55 pp.
Professor Mubyarto, 1938-2005. Bulletin of Indonesian Economic Studies 41(2):159-162, August 2005.
Stabilization in A Period of Transition: Indonesia 2001-2004. dalam The Australian Government-The Treasury, Macroeconomic Policy and Structural Change in East Asia: Conference Proceedings, Sydney (2005), ISBN 0-642-74290-1, 43-48 pp.
Managing The Indonesian Economy: Some Lessons From The Past?. Bulletin of Indonesia Economic Studies, 41(3):309-324, December 2005.