Covid-19 dan kehamilanPengaruh COVID-19 pada kehamilan belum dapat diketahui secara pasti.[1] Hal ini disebabkan oleh sedikitnya informasi tepercaya yang dapat ditemukan.[2][3] Meski mungkin ditemukan kasus peningkatan risiko pada ibu hamil dan janin, hal ini belum tentu dapat dikonfirmasi. Penelitian menunjukkan bahwa wanita hamil lebih berisiko mengalami infeksi akut saat tertular penyakit infeksi serupa, misalnya SARS dan MERS.[1] Oleh karenanya, di masa pandemi COVID-19, perempuan hamil dipandang lebih rentan terhadap infeksi parah.[1] Namun, sejauh ini studi menemukan bahwa karakteristik radang paru-paru akibat COVID-19 pada ibu hamil tidak berbeda dengan orang dewasa biasa.[4] Perubahan fisiologis selama kehamilan memengaruhi sistem imunitas, sistem pernapasan, fungsi kardiovaskular, dan koagulasi.[1] Secara umum, respon imunitas terhadap infeksi virus dapat menyebabkan gejala yang lebih parah, terutama bila penularan terjadi pada triwulan ketiga kehamilan. Hal yang sama juga berlaku pada infeksi COVID-19.[2] Sejauh ini belum ditemukan data mengenai kaitan infeksi COVID-19 dengan peningkatan risiko keguguran. Infeksi virus yang terjadi sebelumnya, SARS dan MERS, tidak menunjukkan adanya korelasi antara infeksi dan keguguran.[5] Penelitian di Kanada juga menyatakan bahwa pandemi COVID-19 tidak memengaruhi pada angka keguguran triwulan pertama awal pada pasien tanpa gejala.[6] Saat ini, belum diketahui apakah masalah kesehatan yang muncul saat kehamilan, seperti diabetes melitus, gagal jantung, hiperkoagulabilitas (pengentalan darah) dan tekanan darah tinggi merupakan faktor risiko tambahan untuk wanita hamil seperti halnya yang terjadi pada wanita tidak hamil.[4] Penelitian mengenai kehamilan di masa pandemi COVID-19Dampak terhadap perempuan hamilRoyal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG) dan Royal College of Midwives (RCM) di Inggris melaporkan data yang didapat dari Sistem Pengawasan Obstetri Britania Raya (UKOSS). Data tersebut tentang 427 wanita hamil dan bayinya.[7] Sejumlah 4,9 wanita hamil per 1000 mendapatkan perawatan COVID-19 di rumah sakit dan 1 dari 10 di antaranya dirawat secara intensif.[7] Temuan ini menguatkan penelitian terdahulu bahwa perempuan hamil tidak berisiko lebih besar untuk mengalami sakit parah dibanding mereka yang tidak hamil. Faktor risiko yang sama juga berlaku di sini, mereka yang harus dirawat di rumah sakit umumnya memiliki faktor kesehatan yang lain, di antaranya usia lanjut, kegemukan, kehamilan di usia di atas 35 tahun, dan memiliki riwayat penyakit penyerta, di antaranya diabetes dan tekanan darah tinggi.[8] Dari laporan yang sama ditemukan sebanyak lima pasien meninggal, tapi tidak dapat dipastikan apakah virus penyebabnya.[7] Risiko lebih besar mungkin dihadapi oleh perempuan hamil di triwulan pertama karena studi ini menemukan mereka lebih rentan untuk mengalami sakit yang parah. RCOG dan RCM merekomendasikan mereka untuk melakukan pembatasan sosial. Sebanyak 55% wanita hamil yang dirawat di rumah sakit merupakan perempuan kulit hitam, Asia, dan minoritas etnis lainnya (BAME).[7] Sebanyak 43 perempuan yang positif COVID-19 di New York menunjukkan pola yang mirip dengan orang dewasa lainnya yang tidak hamil. Sebanyak 86% merasakan gejala ringan, 9.3% sakit parah, dan 4.7% dalam kondisi kritis.[9] Studi yang lain tentang kasus radang paru-paru pada ibu hamil dengan COVID-19 menunjukkan para perempuan tersebut hanya merasakan gejala ringan dan kemudian pulih dengan normal.[10] Penelitian pada sembilan perempuan hamil triwulan pertama dan positif terinfeksi di Wuhan, Tiongkok, menemukan bahwa mereka menderita demam (enam dari sembilan orang), nyeri otot (tiga orang), radang tenggorokan (dua orang), dan malaise (dua orang). Kasus gawat janin ditemukan dalam dua orang. Tidak ada wanita yang dilaporkan merasakan gejala pneumonia COVID-19 parah ataupun sampai meninggal. Semuanya merupakan kehamilan lahir hidup dan tidak ada laporan mengenai asfiksia neonatorum. Untuk memastikan kondisi kesehatan pasien, dilakukan uji pada sampel ASI, cairan ketuban, darah tali pusat, dan uji swab tenggorokan neonatorum. Hasilnya negatif.[11] Studi lain di Wuhan menunjukkan adanya perubahan metabolik dan imunologis dari 16 wanita hamil dengan COVID-19. Selama trimester ketiga dan peripartum, infeksi COVID-19 meningkatkan risiko terjadinya komplikasi metabolik, termasuk ketonuria, hiperkoagulabilitas, dan hiperfibrinolisis. Perempuan hamil dengan COVID-19 disarankan untuk memantau kadar glukosa dalam darah dan keton dalam urine, serta memberikan suntikan glukosa dan heparin.[12] Pengaruh pada janinBelum ada hasil studi yang mengkonfirmasi adanya peningkatan risiko keguguran atau keguguran dini terkait dengan COVID-19.[13] Namun demikian, pengaruh tidak langsung mungkin dapat terjadi, seperti infeksi pada ibu hamil yang mungkin memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin.[14] Pembatasan sosial yang ketat mungkin saja memengaruhi kondisi kesehatan dan psikologis wanita hamil.[14] Selain itu, kondisi tidak menentu juga akan memengaruhi ketersediaan layanan kesehatan.[14] Kadar stres yang tinggi pada wanita hamil terbukti memiliki efek signifikan pada perkembangan otak janin yang nantinya bisa meningkatkan risiko kesehatan mental, serta gangguan kognitif dan perilaku.[14] TransmisiTransmisi vertikal (penularan penyakit dari ibu ke bayi) pada triwulan ketiga kemungkinan tidak terjadi atau sangat jarang terjadi.[4] Belum ditemukan bukti mengenai penularan vertikal ini di awal kehamilan.[4] Namun, studi lebih baru menemukan adanya kemungkinan penularan di beberapa kasus.[15][16][17] Penelitian awal menemukan dua neonatus terinfeksi COVID-19, tetapi penularan diduga terjadi setelah kelahiran.[18] Studi terbaru dengan lingkup lebih kecil menemukan kemungkinan adanya transmisi vertikal. Di New Delhi, wanita hamil berusia 24 tahun sempat terindikasi positif COVID-19, sebelum akhirnya melahirkan dengan kondisi telah dinyatakan negatif dua hari sebelum persalinan. Persalinan dilakukan dengan normal dengan ibu yang memakai masker bedah. Masa transisi lancar dan pemeriksaan klinis tidak menunjukkan kelainan bawaan yang serius. Setelah lahir, bayi dan ibu tidak melakukan kontak fisik. Uji swab faring dari spesimen yang diambil 16 jam setelah kelahiran menyatakan bayi tersebut positif dan tes antibodi IgG kualitatif yang dilakukan dari serum bayi juga positif infeksi COVID-19. Namun, uji antibodi IgM kualitatif yang dilakukan dari serum bayi negatif. Untuk memastikan kasus ini bukan penularan horizontal, seluruh petugas medis yang merawat bayi dites swab faring, dan hasilnya negatif.[19] PrediksiPengaruh COVID-19 pada kehamilan kemungkinan sama dengan SARS dan MERS. Pada 1 Februari hingga 31 Juli 2003, dilakukan penelitian terhadap 12 perempuan hamil dengan SARS di Hong Kong. Hasilnya empat dari tujuh perempuan mengalami keguguran spontan pada triwulan pertama, dua dari lima mengalami gangguan pertumbuhan janin pada triwulan kedua, dan empat dari lima mengalami kelahiran prematur. Tiga wanita meninggal selama kehamilan. Tidak ada bayi yang terdeteksi dengan SARS.[20] RekomendasiOrganisasi Kesehatan Dunia meminta perempuan hamil untuk mengikuti protokol kesehatan sebagaimana orang lain pada umumnya, seperti menutup mulut saat bersin, menghindari interaksi dengan orang sakit, mencuci tangan, dan menjaga jarak.[21] Wanita hamil juga disarankan untuk tetap secara teratur memeriksakan kehamilannya, kecuali jika masuk kriteria untuk karantina (merasakan gejala COVID-19 ataupun melakukan kontak langsung dengan orang yang positif). Layanan kesehatan juga harus menyediakan layanan yang memungkinkan ibu hamil melakukan konsultasi jarak jauh.[13] Daftar referensi
|