Historisitas AlkitabHistorisitas Alkitab atau Keandalan Sejarah Alkitab adalah pertanyaan mengenai apakah Alkitab dapat "diterima sebagai sejarah," dalam kata-kata Thomas L. Thompson, seorang sarjana yang telah menulis secara luas tentang topik ini karena hal ini berkaitan dengan Perjanjian Lama.[1] Ini dapat diperpanjang untuk pertanyaan kepada orang Kristen mengenai Perjanjian Baru sebagai catatan yang akurat dalam hal sejarah Yesus dan Zaman Para Rasul. Banyak bidang studi meliputi Alkitab dan sejarah; seperti bidang arkeologi dan astronomi sampai linguistik dan sastra komparatif. Para sarjana juga memeriksa konteks historis ayat-ayat Alkitab, pentingnya melihat peristiwa dari sudut pandang penulis, dan kontras antara deskripsi dari peristiwa-peristiwa ini dan bukti-bukti sejarah. Banyak penemuan arkeologi sejak abad ke-19 terbuka untuk interpretasi, tapi secara garis besar mereka memberikan dukungan untuk sejumlah narasi sejarah Perjanjian Lama dan menawarkan bukti untuk menantang yang lain.[a][3][b][5] Materi dan metodeNaskah dan kanonAlkitab ada dalam beberapa naskah, tidak satupun dari mereka yang tanda tangan, dan beberapa kanon, yang tidak sepenuhnya setuju pada buku-buku yang memiliki kewenangan yang cukup untuk dimasukkan atau pesanan mereka (lihat buku-Buku dari Alkitab). Awal diskusi tentang pengecualian atau integrasi dari berbagai apocrypha melibatkan gagasan awal mengenai sejarah dari inti.[6] Pencerahan Ionian mempengaruhi para penganut awal seperti Yustinus Martir dan Tertulianus – mereka berdua melihat teks-teks Alkitab sebagai yang berbeda (dan memiliki lebih banyak historisitas dari) mitos-mitos agama-agama lain. Agustinus menyadari perbedaan antara ilmu pengetahuan dan kitab suci dan membela historisitas teks-teks alkitab misalnya terhadap klaim Faustus dari Mileve.[7] Alkitab Ibrani/Perjanjian LamaSuatu tiang penyangga utama otoritas sejarah Alkitab adalah tradisi bahwa kitab-kitabnya disusun oleh para tokoh utama atau saksi mata dari peristiwa-peristiwa yang dicatat – Taurat adalah karya Musa, Kitab Yosua oleh Yosua, dan seterusnya. Namun, Reformasi Protestan telah membawa teks-teks aktual kepada pembaca yang lebih luas, yang dikombinasikan dengan pertumbuhan iklim ragi intelektual pada abad ke-17 memunculkan awal Zaman Pencerahan yang menghasilkan ungkapan skeptis keras kepada klaim-klaim tradisional ini. Pada akhir abad ke-19 konsensus para sarjana adalah bahwa Taurat merupakan karya banyak pengarang dari tahun 1000 SM (zaman Daud) sampai 500 SM (zaman Ezra) dan disunting pada sekitar tahun 450 SM. Dengan pandangan itu maka sejarah yang termuat di dalamnya dianggap lebih bersifat polemik daripada faktual. Historisitas Kitab Samuel, Raja-raja dan Kerajaan BersatuKitab-kitab Samuel dianggap didasarkan pada baik sumber sejarah maupun legendaris, terutama untuk mengisi kekosongan dalam sejarah Israel setelah peristiwa-peristiwa dalam Kitab Ulangan. Ada pendapat bahwa Kitab-kitab Samuel memuat banyak anakronisme sehingga dicurigai telah disusun jauh setelah abad ke-11 SM, misalnya penyebutan persenjataan (1 Samuel 17:4–7, 38–39; 25:13), penggunaan onta (1 Samuel 30:17), dan kavaleri (yang dibedakan dari pasukan berkereta) (1 Samuel 13:5, 2 Samuel 1:6), tombak dan kapak besi (seakan-akan umum dipakai) (2 Samuel 12:31), teknik pengepungan yang rumit (2 Samuel 20:15). Jumlah tentara yang sangat banyak (2 Samuel 17:1), pertempuran dengan 20.000 korban (2 Samuel 18:7), dan rujukan kepada paramiliter dan hamba-hamba dari Kush, dilihat sebagai bukti tarikh yang lebih muda, yaitu saat orang-orang Kush menjadi bagian masyarakat umum, yang diperkirakan terjadi setelah Dinasti ke-26 Mesir, suatu periode pada seperempat abad terakhir dari abad ke-8 SM.[8] Kebanyakan fokus kritisisme modern adalah historisitas (keandalan sejarah) "Kerajaan Bersatu" ("United Monarchy") Israel, yang menurut Alkitab Ibrani memerintah baik Yudea maupun Samaria sekitar abad ke-10 SM. Meskipun pernah dianggap tidak ada Kerajaan Bersatu dan catatannya hanyalah karangan untuk membangkitkan semangat kesatuan, bukti-bukti arkeologis terbaru lambat laun menunjukkan bahwa Kerajaan Bersatu itu pernah berdiri dan sampai sekarang masih diperdebatkan seberapa kuat dan luas kekuasaannya. Pada Zaman Besi IIa (sezaman dengan periode Kerajaan) Yehuda rupanya hanya terbatas pada pemukiman-pemukiman kecil, kebanyakan pedesaan dan tidak berkubu di pegunungan Yudea.[9] Ini berbeda dibandingkan Samaria di utara yang sudah menjadi perkotaan. Bukti-bukti arkeologi dan kritik tekstual saat itu mengakibatkan banyak sejarawan modern menyimpulkan bahwa Israel/Samaria dan Yehuda berkembang terpisah dan sama sekali berbeda dengan pusat-pusatnya masing-masing di Sikhem dan Yerusalem, bukannya suatu kerajaan bersatu dengan ibukota di Yerusalem. Kemudian, penggalian di Khirbet Qeiyafa, suatu situs Zaman Batu yang berlokasi di wilayah Yehuda, mendukung catatan Alkitab mengenai Kerajaan Bersatu. Israel Antiquities Authority menyatakan: "Penggalian-penggalian di Khirbat Qeiyafa jelas mengungkapkan suatu masyarakat perkotaan yang sudah ada di Yehuda pada akhir abad ke-11 SM. Tidak lagi diusulkan bahwa Kerajaan Yehuda baru dikembangkan pada akhir abad ke-8 SM atau pada waktu-waktu setelahnya."[10] Status Yerusalem pada abad ke-10 SM menjadi subjek perdebatan.[9] Bagian tertua Yerusalem dan inti perkotaan aslinya adalah Kota Daud, yang tidak menunjukkan bukti aktivitas pemukiman signifikan Israel sampai abad ke-9.[11] Namun, struktur administratif unik seperti Struktur Batu Bertingkat dan Struktur Batu Besar, yang asalnya membentuk satu struktur, mengandung materi budaya bertarikh Zaman Besi I.[9] Karena tampak kurang adanya aktivitas pemukiman abad ke-10 SM, Israel Finkelstein berargumen bahwa Yerusalem dalam abad itu adalah desa kecil di pegunungan Yudea, bukan ibukota nasional, dan Ussishkin berargumen bahwa kota itu seluruhnya tidak dihuni. Amihai Mazar berpendapat jika struktur administratif bertarikh Zaman Besi I/Zaman Besi IIa di kota Daud adalah benar, (sebagaimana diyakininya) "Yerusalem adalah kota yang agak kecil dengan benteng yang sangat kukat, yang dapat menjadi pusat kekuasaan regional yang substansial."[9] Karena Yerusalem telah dihancurkan dan kemudian dibangun kembali sekitar 15 sampai 20 kali sejak zaman Daud dan Salomo, sejumlah orang berargumen bahwa kebanyakan bukti pemukiman abad ke-10 dapat dengan mudah terhapuskan. Namun, Israel Finkelstein mengamati telah ditemukan arsitektur signifikan dari Zaman Besi yang kemudian (Iron IIb). Sejak penemuan Prasasti Tel Dan yang bertarikh abad ke-9 atau ke-8 SM dan memuat b y t d w d ("Bet Dawid"), telah diterima sebagai rujukan kepada "Rumah Daud" sebagai suatu wangsa kerajaan di Yehuda[12][13] (suatu rujukan lain rupanya ada pada Mesha Stele),[14] mayoritas sarjana menerima keberadaan suatu kekuasaan yang diperintah oleh Daud dan Salomo, meskipun bukan dalam skala yang digambarkan dalam Alkitab.[15] André Lemaire menyatakan dalam Ancient Israel: From Abraham to the Roman Destruction of the Temple bahwa poin-poin utama dalam tradisi alkitabiah mengenai Salomo secara umum dapat dipercaya.[16] Perjanjian BaruHistorisitas Yesus dan Kitab-kitab InjilHistorisitas sejumlah pengajaran Yesus dalam Perjanjian Baru terus diperdebatkan oleh para sarjana. "Pencarian Yesus sebagai tokoh sejarah" dimulai pada abad ke-18, dan terus berlanjut sampai sekarang. Teks-teks Perjanjian Baru tertua yang merujuk kepada Yesus, Surat-surat Paulus, biasanya diberi tarikh tahun 50-an Masehi. Karena Paulus hanya mencatat sedikit sekali mengenai kehidupan dan aktivitas Yesus, surat-surat ini hanya sedikit membantu penentuan fakta-fakta mengenai kehidupan Yesus, meskipun memuat rujukan pada informasi yang diberikan kepada Paulus dari para saksi mata mengenai Yesus.[17] Penemuan Gulungan Laut Mati memberi terang mengenai konteks Yudea abad pertama Masehi, memuat catatan mengenai keragaman keyakinan orang Yahudi serta kemiripan pengharapan dan pengajarannya. Misalnya, pengharapan akan kedatangan Mesias, perkataan bahagia dalam Khotbah di Bukit dan banyak dari gerakan Kristen awal memang ada dalam Yudaisme apokaliptis pada periode itu.[18] Ini mengakibatkan penempatan sentral Kekristenan Awal lebih ke dalam akar budaya Yahudi dari yang sebelumnya diyakini. Sekarang diketahui bahwa Yudaisme Rabinik dan Kekristenan Awal hanyalah dua dari banyak aliran yang hidup sampai Pemberontakan orang Yahudi pada tahun 66 sampai 70 M,[19][20] lihat pula Perpecahan Kekristenan Awal dan Yudaisme. Hampir semua kritikus sejarah sepakat bahwa ada sosok sejarah bernama Yesus yang mengajar di seluruh wilayah Galilea sekitar tahun 30 M, yang diyakini oleh para pengikutnya telah melakukan perbuatan-perbuatan supranatural, dan dihukum mati oleh orang Romawi, kemungkinan karena tuduhan pemberontakan.[21] Historisitas Kisah Para RasulKeandalan sejarah Kisah Para Rasul, sumber utama mengenai Zaman Apostolik, terutama diperdebatkan dalam hal historisitas penggambaran Paulus, di mana menurut Encyclopædia Britannica, Kisah Para Rasul menggambarkan Paulus berbeda dengan bagaimana Paulus menggambarkan dirinya sendiri dalam surat-suratnya.[22] Namun, sejumlah sarjana dan sejarawan utama melihat kitab Kisah Para Rasul sangat akurat dan dapat dibuktikan oleh arkeologi, serta secara umum cocok dengan surat-surat Paulus.[23] Lihat pulaCatatan
Referensi
Pustaka tambahan
Pranala luar |