Hubungan Turki dengan Uni Eropa
Hubungan Turki dengan Uni Eropa merupakan sebuah hubungan kemitraan yang saling memengaruhi satu sama lain terlebih lagi letak negara Turki yang berbatasan langsung dengan wilayah Eropa baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Hubungan ini mulai terjalin pada tahun 1959 sedangkan kerangka kerja kelembagaannya secara resmi dibentuk sejak disepakatinya Perjanjian Ankara 1963. Turki telah berupaya untuk bergabung dengan Uni Eropa selama beberapa dasawarsa terakhir. Hal ini ditandai dengan pengajuan yang dikirim pertama kali untuk bergabung dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (pendahulu Uni Eropa) pada tahun 1987.[1] Namun, negosiasi pergabungannya tidak mengalami banyak kemajuan hingga kemudian negosiasi tersebut ditutup sejak tahun 2016. Latar BelakangSejak wilayahnya ditaklukan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 395 M, Turki telah berbagi sejarah peradaban dengan negara-negara Eropa. Dibuktikan dengan berdirinya Konstantinopel yang selama Abad Pertengahan merupakan kota terbesar dan termakmur di Eropa.[2] Pada tahun 1453, penaklukan Kesultanan Utsmaniyah terhadap kota Konstantinopel menjadikan kekaisaran tersebut menjadi kekuatan besar di wilayah Eropa Tenggara dan Mediterania Timur. Keruntuhan Kesultanan Utsmaniyah pada Perang Dunia I menjadi awal dimulainya periode modern pada tahun 1923 Masehi. Pada Periode Revolusi ini Turki dipimpin oleh seorang presiden yang bernama Mustafa Kemal Atatürk. Pada masa pemerintahannya, Mustafa mengampanyekan akan memberikan arah dan tujuan bagi generasi baru negara untuk mengubah rakyat Turki menuju aspek kehidupan abad ke-20 yang kontemporer dan memulai reformasi yang drastis di semua aspek. Sehingga Mustafa melakukan modernisasi besar-besaran dengan berkiblat ke dunia Barat. Selama Perang Dunia II, Turki berusaha tetap netral hingga Februari 1945, ketika Turki bergabung dengan Blok Barat. Negara ini ambil bagian dalam Rencana Marshall 1947, menjadi anggota Majelis Eropa pada tahun 1949,[3] dan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara pada tahun 1952.[4] Selama Perang Dingin, Turki bersekutu dengan Amerika Serikat dan Eropa Barat. Kedekatan antara Turki dan Blok Barat semakin kental pada masa setelah Perang Dunia II. Dampak dari Perang Dunia II adalah perpecahan dan kemiskinan yang terjadi di negara-negara di seluruh dunia khususnya di kawasan Eropa. Pada tahun 1950, Robert Schuman—Menteri Luar Negeri Prancis—memiliki ide untuk menyatukan Eropa yang bertujuan untuk mengembalikan perekonomian negara-negara Eropa sekaligus mengurangi kemungkinan terjadinya perang kembali. Sejak itulah usaha untuk mempersatukan Eropa dimulai. Pada Juli 1952, rencana itu terwujud dengan penandatanganan perjanjian pendirian Masyarakat Batu Bara dan Baja Eropa (bahasa Inggris: European Coal and Steel Community),[5] yang dinyatakan sebagai langkah pertama dalam perhimpunan Eropa.[6] Setelah didirikan pada tahun 1993,[7] Uni Eropa kemudian maju pesat menjadi sebuah organisasi yang benar-benar menaungi anggotanya. Hal inilah yang menarik negara lain untuk bergabung menjadi anggota dan salah satunya adalah Turki. Dalam catatan sejarah, Turki selalu menunjukkan minat yang sangat besar untuk dapat bergabung dengan Uni Eropa.[butuh rujukan] Besarnya minat ini ditunjukkan dengan bergabungnya Turki ke berbagai kegiatan yang ada di Eropa. Negara ini pernah menjadi anggota Dewan Eropa pada tahun 1949, kemudian menjadi anggota asosiasi Uni Eropa pada tahun 1963. Turki juga merupakan salah satu negara pendiri Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi pada tahun 1961 dan juga Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa pada tahun 1971.[5] Hubungan dan kerja samaKetika Masyarakat Ekonomi Eropa baru saja dibentuk, tepatnya pada tahun 1959, Turki memulai kerja samanya dengan negara-negara kawasan Eropa. Kerja sama tersebut diwujudkan dalam kerangka kesepakatan perhimpunan yang dikenal sebagai Perjanjian Ankara yang ditandatangani pada 12 September 1963. Diadakannya perjanjian tersebut bertujuan untuk meningkatkan hubungan Turki dan Masyarakat Ekonomi Eropa secara berkelanjutan dalam segala bidang dengan mempercepat pertumbuhan ekonomi dan memperluas wilayah perdagangan yang harmonis serta untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antara Turki dan Masyarakat Ekonomi Eropa. Kerja sama tersebut juga menghasilkan hubungan bilateral antara Turki dengan Serikat Pabean Uni Eropa sehingga dapat meminimalkan hambatan perdagangan yang berupa pengurangan atau peniadaan bea masuk antar kedua belah pihak. Walaupun demikian, Turki menjadi pusat perhatian Dewan Eropa karena dinilai telah mengarah kepada sistem autokrasi dalam kepemerintahannya.[8][9][10] Peristiwa pentingTurki telah menjalin hubungan dengan Uni Eropa (dan pendahulunya) beberapa dasawarsa yang lalu sejak dimulainnya perjanjian bilateral hingga mengantarkan Turki untuk menjadi salah satu bagian darinya.
Kerja sama kelembagaanProses pergabungan Turki ke dalam Uni Eropa merupakan penerapan dari kesepakatan perhimpunan yang telah diadakan. Oleh karena itu, kedua belah pihak membentuk beberapa lembaga untuk memastikan dialog politik dan kerja sama selama proses persiapan keanggotaannya, di antaranya:
Kerja sama keuanganBantuan keuangan Uni Eropa kepada Turki bertujuan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan, kualitas legislasi, dan kualitas penerapan legislasi sehingga memungkinkan mengintegrasi kebijakan umum dengan mudah—seperti kebijakan sosial, pembangunan, dan kebijakan pedesaan—saat nantinya menjadi anggota penuh Uni Eropa. Anggaran bantuan keuangan tersebut meningkat secara substansial setelah diadakannya negosiasi keanggotaan pada bulan Oktober 2005. Kemudian, pada periode anggaran tahun 2007-2013, mekanisme bantuan keuangan Uni Eropa kepada negara kandidat dan calon negara kandidat dikonsolidasikan ke dalam instrumen tunggal yang disebut sebagai Instrumen untuk Bantuan Pra-Pergabungan (bahasa Inggris: Instrument for Pre-Accession Assistance (IPA)). Dengan mempertimbangkan penduduknya, anggaran 4,8 miliar Euro yang dialokasikan dalam periode tahun 2007-2013 dianggap tidak cukup bagi Turki namun Turki tetap berusaha untuk memanfaatkan anggaran tersebut dengan maksimal. Perihal persoalan seperti alokasi anggaran antara negara kandidat maupun calon negara kandidat dan komponen kerjasama keuangan memang ditentukan sepenuhnya oleh pihak Uni Eropa. Namun, metode alokasi anggaran antar komponen dengan negara bersangkutan (dalam kasus ini negara Turki), pemrograman dan implementasi komponen, dan pemantauan proyek ditentukan melalui negosiasi terlebih dahulu antara Turki dan Uni Eropa dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu Turki itu sendiri.[13] Kerja sama pendidikanSejak tahun 2004, Turki telah ikut serta dalam berbagai program yang diadakan Uni Eropa dengan tujuan untuk meningkatkan kerja sama antara negara anggota Uni Eropa dan negara kandidat dalam berbagai bidang yang sesuai dengan kebijakan Uni Eropa. Warga negara, perusahaan, organisasi non-pemerintah, dan lembaga nasional dari negara anggota maupun negara kandidat dapat ikut serta dalam program-program yang lebih luas. Program Erasmus
Beasiswa Erasmus Mundus pada program pendidikan magister untuk Turki.[14]
Salah satu programnya adalah Program Erasmus yang merupakan bagian dari program pendidikan sepanjang hayat yang berjalan dari tahun 2004 hingga 2013. Pada tahun 2014, dibentuk program baru bernama Erasmus+ yang menggabungkan rencana pendidikan, pelatihan, pemuda, dan olahraga yang dimiliki Uni Eropa. Program Erasmus adalah program pendidikan dan pelatihan yang menadahi hingga lebih dari 180.000 pelajar untuk belajar dan bekerja di luar negerinya setiap tahun. Program tersebut sangat mendukung tindakan kerja sama antar institusi pendidikan se-Eropa. Bahkan, program tersebut juga mendukung lebih dari 46.000 pelajar dan staf dari Uni Eropa untuk belajar atau mengajar di Turki. Jerman adalah tujuan paling diminati oleh pelajar Turki dari program tersebut.[15] Kesetaraan gender dalam pendidikanKerja sama berkelanjutan lainnya ialah meningkatkan jumlah pelajar pada segala jenjang pendidikan, khususnya bagi anak perempuan, yang telah menjadi tantangan penting bagi Turki. Uni Eropa telah mendanai rencana-rencana yang sangat berperan penting dalam meningkatkan jumlah pelajar, terlebih lagi teruntuk anak perempuan. Mendukung kesetaraan gender dalam pendidikan adalah prioritas Uni Eropa dalam menjalani berbagai bidang. Berbagai rencana dibuat oleh Uni Eropa dan Turki untuk mengubah klise dan pola pikir tentang gender.[16] Negosiasi keanggotaan Uni EropaLebih dari satu dasawarsa yang lalu, Turki memulai negosiasi keanggotaannya dengan Uni Eropa. Dengan demikian, sebuah babak baru telah dibuka dalam sejarah hubungan Turki dengan masyarakat negara-negara Eropa. Turki telah menandatangani Perjanjian Ankara pada tahun 1963 untuk perhimpunan dengan Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Permintaan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa telah diadakan sejak tahun 1987, tetapi tidak terwujud karena adanya permasalahan pada kepala pemerintahan. Pada masa itu, Turki berada dalam pemerintahan Recep Tayyip Erdoğan. Uni Eropa menolak permintaan Turki untuk bergabung karena Erdoğan memiliki kekuasaan yang otoriter dan mempunyai masalah terkait hak asasi manusia.[17] Dalam pandangan wacana kritis, penolakan keanggotan Turki dalam Uni Eropa juga dipengaruhi oleh menyebarnya islamofobia di pikiran masyarakat Eropa. Selain itu, masyarakat Eropa secara umum belum menerima komunitas muslim secara menyeluruh. Pandangan wacana kritis mengaitkan persoalan agama sebagai penyebab penolakan Turki dalam keanggotaan Uni Eropa. Penolakan ini juga dipengaruhi oleh perbedaan sejarah negara anggota Uni Eropa dengan sejarah Turki. Selain itu, hegemoni kekristenan di Eropa dan hegemoni demokrasi liberal menjadi faktor yang membuat Turki belum dapat diterima sebagai anggota Uni Eropa.[18] Pada tahun 1996, Turki dapat bergabung dengan Serikat Pabean Uni Eropa pada tahun 1996 hingga menjadi negara kandidat Uni Eropa pada tahun 1999. Tahun-tahun di atas menjadi tonggak penting bagi perjuangan Turki menjadi anggota Uni Eropa. Sementara itu pada tahun 2005 menjadi titik balik bagi rakyat Turki untuk menyaksikan keanggotaan Uni Eropa menjadi kenyataan. Dengan dimulainya negosiasi keanggotaannya menjadi klimaks dari perjuangannya.[19] Pemerintah Turki telah mengalami kemajuan dalam memenuhi kriteria-kriteria calon anggota yang diberikan oleh Uni Eropa, Turki menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan, tercatat sepanjang tahun 2004-2008 pertumbuhan ekonomi Turki mencapai rata-rata 7%. Turki berhasil mengadopsi bab-bab baru dalam kriteria perundang-undangan walaupun masih banyak bab lainnya yang belum menyesuaikan dengan Uni Eropa. Dalam aspek politik, Pemerintah Turki telah berupaya keras untuk menyelesaikan masalah HAM dengan orang Kurdi, orang Armenia, dan Siprus. Namun sejalan dengan upaya-upaya yang telah dilakukan Pemerintah Turki tersebut dalam pengajuannya masih terdapat banyak kendala yang akhirnya membuat pergabungan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa kembali terhambat.[5] Negosiasi keanggotaan Turki akhirnya terhenti setelah terjadinya pembersihan Turki 2016. Pada 24 November 2016, Parlemen Eropa memutuskan untuk menangguhkan negosiasi dengan Turki akibat masalah hak asasi manusia dan rule of law,[20] walaupun keputusan ini tidak mengikat secara hukum.[21] Pada 13 Desember, Dewan Uni Eropa (yang terdiri dari menteri-menteri negara anggota) menegaskan bahwa mereka tidak akan membuka bab baru dalam proses negosiasi keanggotaan Turki.[22] Setelah kemenangan Erdogan dalam referendum konstitusional Turki 2017, negosiasi keanggotaan Turki telah berhenti sepenuhnya.[23][24] Isu-isu terkiniDalam Perjanjian Pendaftaran Kembali Uni Eropa dan Turki yang ditandatangani pada bulan Maret 2017, Turki diharapkan dapat kembali menerima semua pencari suaka yang tidak beraturan yang mencapai pulau-pulau Yunani. Namun, liberalisasi visa di negara-negara zona Schengen merupakan salah satu janji penting Uni Eropa yang dibuat berdasarkan kesepakatan tersebut, yang dimaksudkan untuk meningkatkan kerja sama Uni Eropa dan Turki dalam menangani krisis pengungsi dan mempercepat perundingan pergabungan Turki.[25] Pengembangan serikat pabeanSelama 20 tahun terjalani, kontribusi Serikat Pabean Uni Eropa kepada integrasi ekonomi Uni Eropa dengan Turki telah menjadi kedaluwarsa. Pengembangan yang belum pernah dilakukan dalam perdagangan internasional, perluasan Uni Eropa yang mengarah ke timur, dan meningkatnya pengaruh negara-negara berkembang telah mengubah fungsi dari Serikat Pabean Uni Eropa. Faktor-faktor tersebutlah yang telah mendorong pemeriksaan ulang pada kerangka yang mengatur hubungan perdagangan Uni Eropa dan Turki. Dengan perjanjian perdagangan antara kedua belah pihak, modernisasi Serikat Pabean memberikan peluang bagi Turki untuk berkomitmen pada reformasi ekonomi, meningkatkan daya saingnya, dan meningkatkan potensi integrasinya terkait dengan kesepakatan perdagangan yang mendatang. Dalam konteks modernisasi Serikat Pabean, Komisi Eropa mengeluarkan rencana pada bulan Agustus 2015. Rencana ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang pilihan potensial untuk meningkatkan hubungan perdagangan bilateral dan meningkatkan Serikat Pabean antara Uni Eropa dan Turki.[26] Pada bulan Desember 2016, Komisi Eropa mengusulkan untuk memodernisasi Serikat Pabean dan lebih memperluas hubungan perdagangan bilateral ke bidang-bidang seperti pelayanan publik, pengadaan barang publik, dan pembangunan berkelanjutan. Proposal Komisi Eropa tersebut didasarkan pada pekerjaan persiapan yang komprehensif sepanjang tahun 2016, termasuk konsultasi publik dengan para pemangku kepentingan, penilaian dari dampak-dampak yang rinci, dan juga studi oleh konsultan eksternal.[27] Kerja sama Turki dengan Uni Eropa dalam penanganan imigranPeningkatan jumlah pengungsi yang datang ke kawasan Eropa telah membuat Eropa mengalami krisis pengungsi. Krisis pengungsi ini merupakan dampak dari konflik yang terjadi di Timur Tengah yang tidak kunjung mereda. Uni Eropa sebagai organisasi induk yang ada di Eropa bertanggung jawab atas semua masalah yang terjadi di kawasan Eropa. Sebagai organisasi supranasional, Uni Eropa menjalankan perannya untuk menjalin kerja sama internasional dengan negara-negara di luar negara anggota Uni Eropa dalam menghadapi masalah pengungsi. Dalam menjalin kerja sama untuk mengatasi masalah pengungsi di Eropa akhirnya Uni Eropa memilih bekerja sama dengan Turki. Turki dipilih sebagai salah satu upaya untuk menahan laju para pengungsi yang datang ke Eropa melalui pintu masuk dari Turki. Uni Eropa memilih menjalin kerja sama dengan Turki karena Uni Eropa menilai bahwa Turki memiliki nilai yang strategis untuk Uni Eropa. Salah satu nilai strategisnya adalah Turki yang berbatasan langsung dengan negara konflik seperti Suriah maka dengan bekerja sama dapat menghambat laju pengungsi yang akan masuk ke Eropa karena harus diperiksa dahulu kelengkapan para pengungsi sebelum masuk ke Eropa sehingga para pengungsi yang masuk ke Eropa nantinya adalah pengungsi yang sudah dinyatakan legal oleh Turki dan berhak masuk Eropa sesuai dengan kesepakatan antara Uni Eropa dengan Turki pada 20 Maret 2016. Kesepakatan yang resmi dijalankan pada 20 Maret 2016 ini berisi sembilan butir kesepakatan. Sembilan butir kesepakatan yang telah disepakati oleh Turki dan Uni Eropa ini meliputi:
Keputusan Uni Eropa terkait pengajuan keanggotaan TurkiPada bulan Oktober 2005, Uni Eropa meningkatkan status Turki menjadi negara kandidat sekaligus membuka perjanjian negosiasi keanggotaan. Untuk dapat mencapai keanggotaan penuh, Turki harus melaksanakan 35 bab negosiasi. Tetapi dalam perkembangannya, proses negosiasi pergabungan Turki berjalan sangat lambat. Hal itu disebabkan karena sikap Uni Eropa yang kerap menangguhkan beberapa bab dari persyaratan negosiasi dengan Turki dan keputusan beberapa negara anggota Uni Eropa khususnya pihak oposisi seperti Prancis dan Jerman yang menutup tawaran untuk keanggotaan Turki. Penentangan yang ditunjukkan oleh beberapa negara anggota Uni Eropa tersebut dapat memengaruhi pergabungan Turki karena negara-negara tersebut merupakan negara-negara penting di Uni Eropa. Ketika proses negosiasi antara Uni Eropa dan Turki melambat, ada beberapa negara anggota Uni Eropa yang memberikan dukungannya agar Turki dapat bergabung dalam integrasi Uni Eropa. Salah satunya, Jean Asselborn—Menteri Luar Negeri Luxembourg dan Urusan Eropa—menyambut baik dimulainya kembali konferensi tingkat tinggi antara Uni Eropa dan Turki. Asselborn menegaskan bahwa Turki sebagai mitra penting bagi Uni Eropa dalam menjaga stabilitas dan keamanan benua Eropa, sangat disayangkan apabila tidak ada pertemuan tingkat tinggi secara teratur dengan Turki. Hal itu disampaikan oleh Jean Asselborn dalam KTT Uni Eropa dan Turki pada 29 November 2015. Namun hingga pada tahun 2016, Turki belum juga memiliki jadwal kepastian mengenai akhir dari proses keanggotaanya setelah sepuluh tahun sejak pembukaan negosiasi pergabungannya dibuka. Terdapat beragam persoalan ke depan untuk proses pergabungan Turki, misalnya pelanggaran yang terjadi kepada Suku Kurdi dan masalah terkait peraturan hukum dalam kepemerintahan Turki. Sementara Uni Eropa sendiri cenderung menunjukkan sikap keraguan akan apa yang sebenarnya diinginkan dari hubungannya dengan Turki. Kemudian, Parlemen Eropa memungut suara untuk menangguhkan negosiasi pergabungan Turki karena akibat dari masalah pelanggaran Hak asasi manusia dan peraturan hukum.[28] Walaupun negosiasi pergabungan Turki akhirnya ditangguhkan,[29] Turki telah menerima bantuan keuangan dari anggaran belanja Uni Eropa sebagai dukungan pra-pergabungannya sebanyak 4,5 miliar Euro untuk periode 2014-2020.[30] Walaupun demikian, bantuan keuangan pada pra-pergabungan Turki ternyata tidak didukung oleh beberapa golongan dari kalangan Uni Eropa itu sendiri, salah satunya faksi Partai Aliansi Liberal dan Demokrat untuk Eropa yang dengan tegas menyuarakan agar dihentikannya bantuan keuangan pra-pergabungan Turki.[31] Lain halnya dengan pelapor Uni Eropa di Turki, Kati Piri, pada bulan April 2017, ia mengusulkan agar bantuan keuangan tersebut diubah dan dipusatkan untuk mendukung golongan yang kalah dalam Referendum konstitusi Turki 2017. Alasannya karena golongan tersebut telah membagikan nilai-nilai Eropa dan saat ini tengah berada dalam "tekanan besar".[32] Pada bulan Mei 2018, dengan dikeluarkannya proposal anggaran belanja jangka panjang Komisi Eropa untuk periode 2021-2027 termasuk Strategi Balkan Barat untuk perluasan keanggotaan Uni Eropa tanpa mempertimbangkan Turki sehingga menjadikan Turki sebagai negara tetangga bukan lagi sebagai negara kandidat.[33] Tabel perbandingan
Lihat pulaReferensi
|