Kerajaan TamiangKerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang, atau Benua Tunu merupakan salah satu kerajaan Islam tertua di Aceh, Indonesia, setelah Kesultanan Perlak.[1] Wilayah Kerajaan Tamiang ini berada di ujung paling timur dari Provinsi Aceh Darusalam saat ini. Wilayah Tamiang tersebut juga merupakan perbatasan antara Provinsi Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara. Pada saat sekarang ini Kerajaan Tamiang berada dalam kawasan administratif dari Kabupaten Aceh Tamiang yang resmii berdiri pada tahun 2002 dan merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Tamiang atau Kesultanan Banua Tamiang juga merupakan kerajaan Islam yang berdiri di Aceh jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Kerajaan Tamiang ini pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia.[2][3] SejarahNama dari Kerajaan Tamiang tersebut pada awalnya diambil dari sebuah kata "Tamiang" yang juga berasal dari kata "te-miyang". Nama tersebut diambil dari sebuah legenda yang berasal dari wilayah tersebut yang berarti tidak gatal-gatal atau kebal terhadap miang bambu. Hal tersebut juga berhubungan dengan cerita sejarah tentang Raja Tamiang yang bernama Pucook Sulooh. Ketika masih bayi, raja tersebut ditemui dalam rumpun bambu Betong atau betung (istilah Tamiang ” bulooh ”). Raja yang menemukannya ketika itu bernama Tamiang Pehok, ia kemudian mengambil dan membawa bayi tersebut. Setelah dewasa kemudian ia dinobatkan menjadi Raja Tamiang dengan gelar ” Pucook Sulooh Raja Te-Miyang “, yang artinya seorang raja yang ditemukan di rumpun rebong tetapi tidak kena gatal atau kebal dari gatal-gatal.[4][2] Sebelum Islam masuk ke Tamiang, wilayah ini pada umumnya masih dalam pengaruh Hindu-Budha kala itu. Hal ini ditandai dengan adanya penjelasan tentang Kerajaan Tamiang yang terdapat pada Prasasti Sriwijaya.[2] Pada Awal abad ke-14 sekelompok da'i atau disebut juga dengan pengkhotbah Islam dikirim ke Tamiang oleh Sultan Samudra Pasai. Raja yang berkuasa di Tamiang ketika itu beranama Po dinok. Raja tersebut tidak mendukung kedatangan kelompok pendakwah Islam tersebut masuk ke wilayahnya. Ia kemudian menyerang kelompok tersebut, tetapi kalah dan akhirnya meninggal. Setelah penaklukan tersebut maka terjadi proses islamisasi masyarakat Kerajaan Tamiang pra islam menjadi masuk kedalam ajaran agama Islam. Proses islamisasi ini berlangsung secara damai sehingga terpilihlah Raja Muda Sedia (1330-1352 M) sebagai raja pertama Kerajaan Islam Tamiang. Pada masa Raja Muda Sedia (1330- 1366 M) sistem pemerintahan Kerajaan Islam Tamiang adalah sistem pemerintahan berdasarkan pewarisan atau turun termurun. Struktur pemerintahan Kerajaan Islam Tamiang dipengaruhi oleh Samudera Pasai dan Aceh Darussalam. Bentuk peradaban yang dibangun oleh raja untuk Kerajaan Islam Tamiang bertujuan untuk memenuhi kepentingan rakyat Tamiang. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan kekuatan militer dan pelayaran serta perdagangan yang menunjukkan bahwa kekuasaan para raja untuk tindakan yang mengarah kepada kemaslahatan rakyat Tamiang. Peradaban yang dihasilkan oleh Kerajaan Islam Tamiang tidak hanya di bidang militer dan perdagangan saja melainkan di bidang kebudayaan dan sarana ilmu pengetahuan seperti; meunasah, bahasa Tamiang, pakaian dan kesenian.[5][6] Kerajaan Tamiang pernah menjadi kerajaan terkenal yang mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raja Muda Sedia yang memerintah pada tahun 1330 -1366M. Pada saat itu wilayah kekuasaan kerajaan Tamiang meliputi kawasan Aceh bagian timur dengan batas-batas sebagai berikut: di sebelah utara berbatas dengan Sungai Raya atau Selat Malaka, di sebelah berbatasan dengan Besitang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Kemudian di sebelah timur juga berbatasan dengan Selat Malaka dan di sebelah barat berbatas dengan Gunung Segama (Gunung Bendahara/Wilhelmina Berte). Akhir masa pemerintahan Raja Muda Sedia diwarnai dengan cerita tentang serangan Kerajaan Majapahit terhadap Kerajaan Benua Tamiang. Setelah kondisi kerajaan kembali pulih, Muda Sedinu memerintah di sana dan memindahkan pusat pemerintahan ke Pagar Alam, di sekitar Simpang Jernih. Selanjutnya Muda Sedinu digantikan oleh Raja Po Malat (1369--1412).[5] Pada sekitaran tahun 1500-an Kerajaan Tamiang mengalami berbagai macam kemunduran. Kerajaan Tamiang tersebut mengalami kemunduran disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, serangan yang dilakukan oleh tentara Majapahit terhadap wilayah Tamiang. Kedua, wilayah kekuasaan kerajaan yang selalu berpindah-pindah. Ketiga, kelemahan para penguasa Kerajaan Islam Tamiang. Keempat, merosotnya ekonomi Kerajaan Islam Tamiang. Dengan terjadinya kejadian-kejadian tersebut maka hal tersebut membuat berakhirnya puncak kejayaan Kerajaan Islam Tamiang pada tahun 1558 M.[6] Daftar penguasa
PeninggalanPada masa pemerintahan Raja Muda Sedia, Kerajaan Tamiang juga terbagi ke dalam dua kerajaan kecil yaitunya Kerajaan Karang dan Kerajaan Benua Tunu. Keberadaan Kerajaan Karang tersebut berawal dari diperolehnya pengakuan status kerajaan dari Sultan Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Aceh Darussalam. Walaupun saat itu terdapat dua kerajaan kecil namun kedua kerajaan kecil tersebut tetap tunduk dan patuh kepada Kerajaan Tamiang. Kedua kerajaan tersebut juga memiliki peninggalan yang sangat penting yaitunya istana. Kerajaan Benua Tunu memiliki sebuah istana yang dikenal dengan nama Istana Benua Raja. Istana tersebut saat ini berada di Desa Benua Raja. Lokasi istana ini hanya berjarak 5 kilometer dari pusat Kota Kuala Simpang. Saat ini Istana Benua Raja didiami oleh ahli waris kerajaan tersebut.[7] Peninggalan lainnya ialah peninggalan dari Kerajaan Karang yaitunya Istana Karang. Istana Karang ini berlokasi di Gampong Tanjung Karang, Kecamatan Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang. Kerajaan Karang yang merupakan bagian dari Kerajaan Tamiang sendiri berdiri pada tahun !558M, dengan raja pertamanya yang bernama Fromsyah. Jika dilihat secara keseluruhan, Istana Karang tersebut mempunyai bentuk bangunan yang menunjukkan bangunan tersebut berarsitektur Eropa. Gaya arsitektur Eropa melekat pada bangunan Istana Karang. Hal tersebut dapat terlihat pada konstruksi beton, bata, dan semen yang menjadi bahan dasar konstruksinya,[8][5] Referensi
|